Rabu, 10 Juni 2015

Meneguhkan Kurikulum Pendidikan Pancasila

Meneguhkan Kurikulum Pendidikan Pancasila

Ali Usman  ;   Dosen Pancasila-Kewarganegaraan Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
BULAN Juni diperingati sebagai `Bulan Soekarno', sebab pada bulan ini memiliki momen bersejarah bagi masyarakat Indonesia. Pertama, pada 21 Juni 1970, sang proklamator berpulang keribaan sang Pencipta. Kedua, tepat 1 Juni 1945, Soekarno memperkenalkan konsep Pancasila pada pidato hari ke-4 Sidang BPUPKI I sebagai dasar negara. Soekarno menjadi juru kunci dalam mengarsiteki basis epistemologi negara, menegaskan arti penting persatuan, nasionalisme, permusyawaratan, dan yang tak kalah penting dalam pidatonya itu selalu memompa semangat masyarakat Indonesia untuk berjiwa optimistis dengan pekikan: merdeka!

Soekarno memang dikenal sebagai orator ulung yang mampu membius alam bawah sadar pendengarnya untuk bergerak; ia sangat terampil menyampaikan bahasa-bahasa `provokatif-positif', sampai-sampai suatu waktu dalam pidato 24 September 1955 saat menyampaikan amanat di depan Kongres Rakyat Jawa Timur di Surabaya, Soekarno mengatakan “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara Republik Indonesia berjumpa dengan warga negara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik ‘Merdeka’! Jangankan di surga, di dalam neraka pun!”.

Dalam konteks itulah, pembelajaran Pancasila di semua jenjang pendidikan menjadi sangat relevan dan perlu untuk terus digalakkan. Di perguruan tinggi, misalnya, kurikulum Pancasila menjadi mata kuliah umum dan wajib masuk ke dalam SKS. Hal ini tentu saja tidak dimaksudkan sebagai bentuk doktrinasi ideologi Pancasila secara eksklusif—sebagaimana pernah diterapkan oleh Orde Baru lewat P4—tetapi sebaliknya inklusif, yaitu mempelajari segala aspek tentang Pancasila yang disertai dengan sikap kritis dan transformatif.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) Pasal 2 dan Pasal 3 dikatakan bahwa “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”.

Kehadiran kurikulum pendidikan Pancasila berupaya menanamkan sikap kepada warga negara Indonesia umumnya dan generasi muda bangsa khususnya agar pertama, memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta Tanah Air sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara; kedua, memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka memperkuat integrasi nasional.

Ketiga, memiliki wawasan, kesadaran, dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter. Keempat, memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil dan tidak diskriminatif. Kelima, berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi yang bersumber pada Pancasila. Keenam, memiliki pola sikap, pola pikir, dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional Indonesia, serta mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa.

Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan bernegara dapat diartikan sebagai suatu konsensus warga negara tentang nilai-nilai dasar yang ingin diwujudkan dengan mendirikan negara. Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat, dan lain sebagainya. Karena itu, sebagai generasi bangsa, menolak Pancasila, berarti tidak menghargai jasa-jasa pahlawan, founding fathers kita; sebagai umat muslim, jika kita menolak Pancasila berarti mengingkari keputusan para tokoh muslim yang juga ikut terlibat dalam perumusannya.

Pancasila merupakan `perjanjian luhur', sebuah `piagam' yang harus dihormati dan dijalankan, sebagaimana perintah dalam agama Islam awfu bi al-'uqud (jalankanlah apa yang sudah menjadi kesepakatan/perjanjian) (QS AlMaidah: 1). Pancasila dapat dipahami sebagai `perjanjian suci' yang disepakati oleh founding fathers yang harus ditaati segenap rakyat--sebagaimana dalam peradaban Islam dikenal `Piagama Madinah', dan oleh M Yamin, pada perumusan awal Pancasila disebut `Piagam Jakarta'.

Pancasila dikenal sebagai ideologi terbuka. Bukanlah itu berarti bahwa nilai dasarnya dapat diubah atau diganti dengan nilai dasar yang lain. Jika itu terjadi, sama artinya dengan meniadakan Pancasila atau meniadakan identitas/jati diri bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar daripada Pancasila itu dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman.

Sebaliknya, Pancasila tidak menjadi semacam ideologi yang tertutup atau kaku yang hanya bersifat doktriner seperti halnya yang terdapat pada negara yang berpaham otoriter, di samping juga bukan sebagai ideologi yang bersifat utopia atau hanya terdapat dalam angan-angan belaka, melainkan bahwa ide-ide atau gagasan-gagasan dasarnya tersebut dapat dilaksanakan. Pancasila mencerminkan ciri ideologi pada umumnya, yang mempunyai derajat tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.

Padmo Wahjono (1999) memberikan arti pandangan hidup ini sebagai `prinsip' atau asas yang mendasari segala jawaban terhadap pertanyaan dasar, yakni untuk apa seorang itu hidup? Pandangan hidup berkenaan dengan sikap manusia di dalam memandang diri dan lingkungannya.Hubungan antara kehidupan individu atau kelompok yang satu dan kelompok lainnya melahirkan suatu pandangan hidup bangsa.

Pandangan hidup bangsa dapat didefinisikan sebagai segenap prinsip dasar yang dipegang teguh suatu bangsa, guna memecahkan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapinya (Al Marsudi, 2003: 5). Pancasila disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, karena nilai-nilai yang terkandung dalam silasilanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.

Artinya, Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari, dan dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kehidupan, baik agama, kesusilaan sopan santun, maupun norma hukum yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar