Menubuhkan,
bukan Menumbuhkan Pancasila
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2015
To be playful and
serious at the same time is possible, and it defines the ideal mental
condition (John Dewey).
ADA banyak harapan dan keinginan dari para
petinggi negara saat ini untuk menjadikan ingatan kolektif masyarakat-bangsa
tertuju pada Pancasila sebagai ideologi negara. Kampanye dan sosialisasi,
baik melalui workshop maupun
seminar, mulai lagi orang bicarakan terkait dengan Pancasila sebagai
satu-satunya ideologi yang pas dan dapat menaungi seluruh masyarakat
Indonesia yang sarat dengan keragaman etnik, tradisi, budaya, dan agama. Akan
tetapi, pertanyaan mendasarnya ialah bagaimana strategi pendidikan kita dalam
merancang dan melakukan proses ideologisasi Pancasila ini dalam proses
belajar-mengajar di sekolahsekolah?
Seperti kutipan John Dewey di atas, saya kira
akan sangat pas jika pengenalan Pancasila sebagai dasar negara dapat
dilakukan kepada para siswa melalui medium afeksi. Caranya? Dengan
menyisipkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke dalam seluruh mata
ajar di sekolah. Model semacam ini akan sangat mungkin lebih efektif karena
Pancasila pernah gagal ketika disajikan sebagai mata ajar di era Orde Baru.
Yang diperlukan saat ini ialah melatih pemahaman guru-guru secara benar
tentang Pancasila, dengan cara meningkatkan keterampilan pedagogis mereka
dalam mengajar.
Mengapa Pancasila harus ditubuhkan ke dalam
semua mata ajar yang ada di sekolah? Ada beberapa contoh yang bisa
dikemukakan di sini. Misalnya, meskipun sila ketiga menggambarkan perlu dan
pentingnya ‘persatuan Indonesia’, beban bahasa yang disandangnya terlalu
berorientasi pada heroisme. Tak secara eksplisit dikatakan bahwa Indonesia merupakan
ragam budaya, tradisi, bahasa, dan adat istiadat. Lagi, meskipun ada kalimat
‘Bhinneka Tunggal Ika’ di bawah kaki garuda, dalam praktik bersekolah yang
ada hanya kesemuan pemahaman tentang keragaman karena kebijakan pendidikan
tidak pro pada keragaman, melainkan pro pada keseragaman.
Lihatlah seragam sekolah, seragam kurikulum,
seragam pengawasan, hingga seragam warna sekolah. Hampir tak ada lagi sekolah
yang dihuni ragam etnik seperi dulu; Melayu, Tiongkok, India, Arab, hingga
keturunan Portugis. Orang Tionghoa, Arab, dan India sekarang ini secara
eksklusif memiliki sekolah untuk lingkungan masing-masing. Mereka seperti
enggan untuk singgah di sekolah dasar milik negara yang sepenuhnya dimiliki
negara, bukan milik masyarakat sekitar. Anak-anak Tionghoa, India, dan Arab
lebih senang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang mereka dirikan
sendiri meski jaraknya puluhan kilometer dari tempat tinggal mereka.
Kesalahan dalam mengenalkan Pancasila sebagai
ideologi bernegara yang tertutup telah dilakukan Orde Baru. Karena takut
dibilang tak reformis dan cenderung menghindari kata Pancasila secara terbuka
dalam muatan kurikulum, otoritas pendidikan kita menggantinya dengan PPKN
atau pendidikan kewarganegaraan. Karena itu, kita terus khawatir, sebagai
ideologi yang seharusnya terbuka dan anak kandung semua bangsa, Pancasila akhirnya
seperti musuh dalam selimut yang tak harus diajarkan secara terbuka.
Pancasila hanya sekumpulan teks yang harus dihafal para siswa ketika upacara,
tanpa tafsir yang jitu ke dalam tubuh semua mata ajar yang ada.
Fakta keragaman
Dalam terminologi pendidikan modern, penting
ditimbang untuk memasukkan nilai-nilai Pancasila sebagai substansi lintas
kurikulum. Cross-curricular approach,
dengan demikian, harus lebih berani diskemakan dalam proses belajar-mengajar
di sekolah. Mengapa cross-curricular
approach nilai-nilai Pancasila menjadi penting bagi proses pengembangan
kepribadian berbangsa dan bernegara?
Pertama, hampir semua bidang studi atau mata
ajar di sekolah seperti sains, ilmu sosial, seni, bahasa, dan olahraga pada
dasarnya memiliki karakteristik hibrida. Karena itu, hampir dapat dipastikan
bahwa semua mata ajar dan pokok bahasan yang ada dan diajarkan akan dapat
disisipi nilai-nilai Pancasila. Dalam bahasa Kirk (1997), mata ajar dan
pokok-pokok bahasan yang enggan menyusupi ideide baru yang ada manfaatnya
bagi pengembangan budaya damai dan pengembangan kepribadian berbangsa dan
bernegara pasti akan cenderung ditinggalkan dan menghilang. “Courses and subjects that fail to reinvent
themselves in the face of new circumstances are liable to decline or
disappear.“
Kedua, fakta bahwa keragaman (budaya, agama,
perilaku, tradisi, dsb) ialah sesuatu yang hakiki di masyarakat mana pun
sehingga konflik menjadi persoalan keseharian yang dihadapi masyarakat mana
pun di muka bumi ini. Apakah kondisi masyarakat tersebut harmonis maupun
homogen, kebutuhan untuk saling memberi solusi melalui nilai-nilai yang
sesuai dengan kondisi budaya, tradisi, agama, dan perilaku tertentu ialah
sebuah keniscayaan (Jephcote &
Davies, 2007). Karena itu, mempelajari nilai-nilai Pancasila dalam rangka
menumbuhkan semangat keragaman dalam kesatuan merupakan salah satu kebutuhan
sekolah.
Dennis Sale dalam Creative Teaching: An Evidence-Based Approach (2015) juga memperkenalkan
pendekatan integratif antara tujuan dan desain belajar yang harus memiliki
sinergi yang kuat. Karena itu, ada baiknya skema lain dalam menubuhkan
nilainilai Pancasila juga dengan mencoba mengintegrasikan proses pembelajaran
agama dan pendidikan kewarganegaraan ke dalam satu paket dan rangkaian yang
dapat menimbulkan perasaan kebangsaan yang semakin dewasa.
Salah satu makna penting pengintegrasian
pengajaran agama dan kewarganegaraan ke dalam satu paket ialah dalam rangka
menumbuhkan semangat toleransi dan kebersamaan siswa sebagai anak bangsa
Indonesia. Meskipun Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, pengajaran
agama dan kewarganegaraan diharapkan dapat meredam semangat tirani mayoritas
yang cenderung melegalkan dan menganggap segala sesuatunya sebagai milik
mayoritas.Dengan demikian, pengajaran agama dan kewarganegaraan berpotensi
untuk menjadikan siswa kita sebagai warga negara yang baik (good citizenship).
Prinsip-prinsip good citizenship yang diambil dari proses pengajaran agama dan
pendidikan kewarganegaraan juga akan membuat siswa lebih aktif terlibat dalam
proses politik secara sehat karena basis pengetahuan mereka secara agamais
dan ketatanegaraan pasti akan lebih baik. Pengintegrasian tersebut juga
diharapkan akan mampu mendorong sikap-sikap siswa yang lebih toleran dalam
rangka membantu penguatan sistem demokrasi yang saat ini sedang dikembangkan
di Indonesia (Elizabeth Theiss-Morse
and John R Hibbing: Citizenship and Civic Engagement, 2005). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar