ASIANISASI ASIA
Kesetaraan
dan Kesamaan Bangsa
René L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 08 Juni 2015
Apakah Asia akan
memulai Perang Dunia III? Ini pertanyaan yang muncul ketika perilaku Tiongkok
yang agresif dan asertif diproyeksikan dalam "pulau palsu made in China" sebagai pengejawantahan
kekuatan dan kebesaran dalam apa yang disebut sebagai "kebangkitan
Tiongkok". Berbagai inisiatif dalam pertemuan tahunan Shangri-La
Dialogue 2015 bisa jadi mencoba mengantisipasi terjadinya konflik terbuka
atas nama hubungan baru negara besar seperti yang diinginkan Tiongkok menata
keterkaitan Tiongkok-AS.
Di sisi lain, kita
berusaha memahami dan akan terus melihat bahwa selama ini keterlibatan AS di
Asia akan selalu diterima dalam mengejawantahkan perannya melakukan
stabilisasi ekonomi global ataupun keamanan internasional. Asia tahun 2015
adalah upaya fertilisasi menuju peradaban baru Asia, membentuk peradaban
modern abad ke-21 melalui kombinasi kepentingan negara di dalam dan luar
kawasan Asia.
Asianisasi Asia adalah
ketika Tiongkok mengajukan inisiatif konsep Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21
didukung lembaga keuangan dominasi Tiongkok disebut Bank Investasi
Infrastruktur Asia (AIIB). Asianisasi Asia adalah ketika Jepang aktif
mendorong investasi menantang Tiongkok dengan dana investasi infrastruktur
lebih besar 110 miliar dollar AS melalui Bank Pembangunan Asia (ADB).
Asianisasi Asia
termasuk upaya Jepang menjadi negara normal dengan konsep Kontribusi Proaktif
bagi Perdamaian melakukan revisi dan pengkajian ulang atas konstitusi
pasifisnya. Pengakuan peradaban Asianisasi mendapat dukungan AS sebagai
kekuatan ekonomi dan militer terkuat di dunia, menjadikan kawasan Asia
Pasifik sebagai zona ekonomi AS melalui mekanisme kerja sama Kemitraan
Trans-Pasifik (TPP) berhadapan dengan zona ekonomi Tiongkok melalui Kemitraan
Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
Ketika keterikatan
intra-Asia melalui berbagai ragam kerja sama, tatanan Asianisasi memperoleh
penguatan alami didorong tidak hanya atas nama kepentingan nasional
masing-masing, tetapi juga menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan.
Pertumbuhan dinamis Asia Pasifik, kebangkitan kelas menengah, demokrasi
bertahap, regionalisme terbuka, percaya diri, dan optimisme semua menjadi
faktor yang sering kali dibaca sebagai nasionalisme terselubung banyak negara
Asia.
Asianisasi Asia bukan
semangat ideologis, paranoia totaliter, atau keangkuhan negara besar yang
baru bangkit. Asia bekerja dalam sebuah kesadaran pragmatisme, tanpa melihat
kebencian kolonialisme sejarah masa lalu. Dalam konteks ini, menghadirkan
pasukan asing dan penyediaan pangkalan militer, antara lain melalui perjanjian
kunjungan kekuatan militer (visiting
forces agreement/VFA), merupakan bentuk baru mekanisme kerja sama
pertahanan Asia tanpa pretensi imperialis.
Di sisi lain, ada
kekhawatiran mekanisme VFA dianggap sebagai upaya persekutuan membendung
Tiongkok, khususnya ancaman terhadap jalur alur komunikasi laut melalui chokepoint Selat Malaka ataupun
beberapa selat di Indonesia yang menghubungkan timur dan barat. Potensi
konflik terjadi ketika Tiongkok memberlakukan secara unilateral zona
identifikasi pertahanan udara (ADIZ) seperti yang dilakukan di Kepulauan Senkaku (Tiongkok menyebutnya Diaoyu).
Kita juga beranggapan
Tiongkok tidak memahami secara utuh keamanan Asia yang tidak bisa dipisahkan
dari dinamika ekonomi regional. Keamanan Asia bukan hanya sekadar perlombaan
senjata dalam konteks militer, melainkan merupakan sintesis persoalan
kemiliteran atas meningkatnya secara bersamaan kekuatan ekonomi, teknologi,
dan sosial budaya.
Kekuatan kohesif
Asianisasi harus dipahami dalam kesetaraan dan kesamaan seluruh bangsa. Kita
menentang konsep pemikiran guojian
xinxing daguo guanxi (bentuk baru hubungan negara-negara besar) yang
mengarah pada dunia yang bipolar. Disadari atau tidak, Asianisasi adalah
bagian dari Tiongkok, termasuk seluruh negara bangsa di kawasan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar