Selamat
Tinggal Akal Sehat
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 07 Juni 2015
Belum lama berselang,
di salah satu program studi di universitas, di mana saya menjadi ketua
programnya, saya dan beberapa orang staf bermaksud membereskan barang-barang
rongsokan tak terpakai yang memenuhi ruangan-ruangan kerja. Barang-barang itu
saya perintahkan untuk dibuang saja karena tidak ada gunanya dan tidak bisa
dipakai lagi pada zaman sekarang seperti CPU kuno, monitor-monitor komputer
yang masih gendut-gendut berikut keyboard kuno dan printer-printer lama yang
bunyinya berisik sekali.
Belum lagi meja-meja
biro dan setengah-biro berikut kursi-kursinya yang sudah copot roda-rodanya.
Karena kami sudah punya perangkat komputer dan perabotan kantor yang lebih
baru, benda-benda rongsok itu akan saya singkirkan supaya pegawai-pegawai
saya bisa bekerja dengan lebih nyaman.
Tetapi, staf yang saya
minta untuk membuang benda-benda rongsokan itu melaporkan kepada saya bahwa
kata petugas inventaris universitas, benda-benda itu tidak bisa dibuang
karena sudah dicatat sebagai milik universitas.
“Jadi harus
dibagaimanakan benda-benda rongsokan itu?” tanya saya. “Ya, disimpan saja di
gudang, Prof,” jawab si pegawai dengan santai.
Padahal, yang namanya
gudang itu sudah penuh dengan barang yang lebih kuno lagi daripada
komputer-komputer rongsokan saya, dan sudah bulukan, karena selalu ketetesan
air dari bocoran atap yang merembes sepanjang dinding gudang, dan peralatan
komputer dan meja-kursi saya mau dijejalkan lagi di situ? Saya kemudian menggunakan
akal sehat saya, “Ya, sudah begini saja, Pak,” kata saya kepada petugas
inventaris (gudang), “Kita foto saja
barang-barang itu, kita buatkan berita acara, dan kita berikan saja kepada
tukang loak.” “Tidak bisa, Prof,
peraturannya memang sudah begitu,” jawab si petugas apa adanya.
Dia bukannya mau
melawan saya, tetapi sebagai petugas yang baik, dia hanya taat perintah.
Sesuai prosedur. Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan
oleh birokrasi yang kaku”.
Di tingkat yang lebih
tinggi, masih di universitas yang sama, di salah satu program studi yang
lain, datanglah pada suatu hari alat-alat laboratorium yang nilainya mencapai
Rp17 miliar. Alat-alat lab bantuan luar negeri ini belum bisa diinstalasi
karena sarananya (ruang khusus dengan peralatan khusus) belum disiapkan.
Padahal, ketua prodi
sudah menganggarkan dana sejumlah tertentu untuk menyiapkan prasarana
laboratorium yang diperlukan. Tetapi, dana sebesar itu, kata pemerintah,
harus dilelang. Tetapi, juga tidak dilelang-lelang sehingga akhirnya ketika
alat-alat lab datang, sarananya belum disiapkan sama sekali.
Kemudian ketua
prodinya membuat kebijakan untuk memecah dana itu separonya dulu sehingga bisa
dibangun sarana untuk alat-alat lab yang kalau dibiarkan terlalu lama akan
mangkrak dan rusak. Tetapi sekali lagi, bagian keuangan universitas tidak
mengizinkan proyek dipecah-pecah seperti itu. Dan, sampai saat ini peralatan lab
itu masih nongkrong dalam peti di halaman kampus dengan risiko bahwa peti
kemas itu akan kemasukan air juga dan peralatan lab ultramodern di dalamnya
lama-lama akan hancur pelan-pelan dan berapa besar kerugian negara yang
ditimbulkan? Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh
birokrasi yang kaku”.
Manusia menggunakan
akal sehat untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Akal sehat itu
berisi pengetahuan dan pengalaman mengenai berbagai hal yang kalau dirangkai-rangkai
bisa untuk menyelesaikan suatu masalah, dan akal sehat memang perlu dijaga
agar benar-benar dilaksanakan dengan prosedur yang benar agar hasilnya
optimal.
Di sinilah diperlukan
sistem dan prosedur yang baku sehingga pemberian pupuk tidak underdosis, tetapi juga tidak overdosis sehingga tanaman itu mati.
Salah satu wujud dari sistem dan prosedur, jika dilakukan dalam rangka
pelaksanaan di suatu organisasi, disebut birokrasi.
Jadi birokrasi
diperlukan agar penanganan terhadap masalah bisa tercapai dengan tuntas dan
cepat. Tetapi, kalau birokrasi dijalankan hanya demi birokrasi itu sendiri,
tanpa mempertimbangkan akal sehat, begitulah jadinya: barang-barang rongsokan
bukan disingkirkan, melainkan jadi sarang tikus dan alat-alat laboratorium
mangkrak di halaman lama-lama berkarat, dan sama juga, akhirnya jadi sarang
tikus.
Tetapi, benar juga.
Akal sehat memang tidak selamanya berhasil guna.
Terkadang akal sehat
berisi pengetahuan-pengetahuan yang tidak benar, termasuk takhayul,
kepercayaan-kepercayaan kepada ihwal gaib, dan mitos yang kalau dipraktikkan
untuk memecahkan masalah riil sehari-hari (misalnya minta hasil panen kepada
Dewi Sri) tidak akan mempan. Di sinilah perlunya isi akal sehat diverifikasi
terus menerus, dan di sinilah peran ilmu pengetahuan (yang kebenarannya
selalu diuji dari waktu ke waktu).
Tetapi, yang mencemaskan akhir-akhir ini adalah makin
ditinggalkannya akal sehat demi ihwal yang sebetulnya tidak masuk akal.
Seperti organisasi radikal Islam bisa menggunakan Gelora Bung Karno untuk
gelar pawai akbar yang menolak NKRI, menolak Pancasila, UU RI, dan Pemerintah
RI, serta hanya mengakui khalifah yang entah berada di mana (bisa jadi juga
ISIS di Irak).
Polisi dan pemerintah tidak bisa melarang walaupun pawai
itu tanpa izin karena memang UU kita yang demokratis tidak membutuhkan izin
untuk unjuk rasa. Semua boleh-boleh saja, cukup dengan hanya memberitahukan
ke polisi.
Jadi demokrasi kita membuka jalan selebar-lebarnya untuk lahirnya tirani di
masa depan yang justru antidemokrasi. Maka, akan habislah riwayat NKRI. Di
sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh birokrasi yang
kaku”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar