Rabu, 17 Juni 2015

Inovasi Butuh Nyali, Pusat Harus Peduli

Inovasi Butuh Nyali, Pusat Harus Peduli

Redhu Setiadi ;  Peneliti JPIP, memperoleh gelar master of public administration (MPA) dari University of Delaware, AS
JAWA POS, 15 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MULAI kemarin (14/6) hingga besok, Gelar Inovasi Pelayanan Publik tingkat nasional diadakan di GOR Delta Surya, Sidoarjo. Dalam ajang tersebut, dipamerkan ratusan inovasi pelayanan publik dari berbagai institusi pemerintahan. Yang membanggakan, sebagian besar inovasi tersebut lahir dari pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Terobosan-terobosan daerah tersebut muncul sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan lokal dan mengoptimalkan potensi daerah.

Dorongan untuk menumbuhkembangkan inovasi pelayanan publik di daerah kali ini datang dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB). Sejak 2014, kementerian itu menyelenggarakan kompetisi inovasi pelayanan publik (sinovik). Targetnya, setiap tahun minimal ada satu inovasi dari setiap lembaga publik (one agency one innovation).

Apresiasi terhadap inovasi-inovasi daerah pada awal-awal era desentralisasi justru banyak dilakukan lembaga-lembaga non pemerintah. Salah satunya The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) lewat program Otonomi Awards sejak 2002.

Pemerintah pusat selama ini terlalu sibuk membuat ”sangkar besi” lewat berbagai peraturan, petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), dan berbagai aturan yang mengungkung kebebasan daerah untuk melayani warganya. Akibatnya, sebagian besar daerah lebih fokus mengikuti peraturan pusat daripada memikirkan bagaimana membuat pelayanan publik yang inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat. Birokrasi menjadi sangat ketat mengikuti peraturan (rule-based bureaucracy), namun tidak responsif terhadap kebutuhan dan masalah lokal.

Padahal, ujung tombak pelayanan publik yang sebenarnya adalah pemerintah daerah. Tidak percaya? Ambil dan perhatikan KTP Anda! Semua penduduk Indonesia, bahkan seorang presiden sekalipun, berKTP dan teregistrasi di kabupaten/kota. Jika ada jalan yang rusak, puskesmas yang kotor, dan sekolah yang roboh, komplain warga pastilah dialamatkan kepada pemkab/pemkot tempat mereka tinggal. Padahal, urusan jalan, misalnya, kewenangannya dibagi menjadi tiga: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Itulah wujud pemerintahan yang paling dekat dengan warga negara.

Reformasi birokrasi di tingkat pusat tidak akan terasa maknanya manakala masyarakat di kabupaten/kota tidak melihat perbaikan pelayanan publik di sekitarnya. Pesan yang selama ini sampai di telinga masyarakat, reformasi birokrasi di pusat hanya identik dengan perbaikan struktur dan gaji para pengurusnya (remunerasi PNS), namun belum menyentuh secara substansial pihak yang diurusi (masyarakat).

Mengikuti berbagai aturan pusat yang mengikat atau memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat merupakan dilema bagi pemerintah kabupaten/kota saat ini. Pemerintah pusat kadang membuat keputusan secara general (one size fits all policy) tanpa memperhatikan karakteristik dan praktik-praktik baik yang telah ada di daerah. Hal itu sejalan dengan hasil riset JPIP tentang Keberlanjutan Inovasi (2014). Dalam riset terungkap bahwa salah satu faktor signifikan yang mematikan inovasi daerah adalah aturan pusat yang cenderung gebyah-uyah.

Contoh paling baru tentang hal itu adalah pemberlakuan UU Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) yang mematikan inovasi pelayanan di puskesmas. Dalam lima tahun terakhir, JPIP menemukan puskesmas-puskesmas yang dikelola dengan sangat inovatif di Jawa Timur. Misalnya, ada yang sudah dilengkapi dengan dokter spesialis anak, kandungan, bedah mulut, mata, dan poli khusus HIV/AIDS. Beberapa di antaranya juga sudah berstatus puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar) yang merupakan pelayanan untuk menanggulangi kasus-kasus kegawatdaruratan dalam persalinan.

Namun, dengan berlakunya BPJS Kesehatan, inovasi-inovasi tersebut harus tamat karena fungsi puskesmas dikembalikan sebatas fasilitas kesehatan dasar. Padahal, selama ini manfaatnya sudah dirasakan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pelosok dan berpenghasilan rendah.

Rupanya, praktik-praktik buruk pelayanan di beberapa daerah yang diberitakan media massa justru menjadi rujukan untuk membuat peraturan yang mematikan praktik-praktik baik pelayanan di sejumlah daerah.

Sebagai rekomendasi, penting bagi pemerintah pusat untuk membuat peraturan yang justru mendorong keberagaman inovasi di daerah. Pemerintah pusat pun sebaliknya mendorong penyebarluasan dan replikasi inovasiinovasi ke daerah lain.

Sudah tepat kiranya jika Kemen PAN-RB mendorong lahirnya inovasi-inovasi pelayanan publik di tingkat lokal. Sebab, dengan banyaknya aturan pusat yang mengikat (UU, PP, peraturan menteri, surat edaran menteri, dll), pimpinan daerah beserta bawahannya butuh nyali yang besar untuk membuat inovasi di daerah. Tentu, akan sangat positif jika ikhtiar para penerobos kebuntuan pelayanan publik tersebut mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.

Koordinasi antarlembaga di pusat mutlak diperlukan agar tidak terjadi peraturan yang saling menegasikan. Di satu sisi, Kemen PAN-RB mendorong daerah untuk berinovasi. Namun, di sisi lain, Kemendagri, Kemenkes, Kemendiknas, 

Kemenkeu, BPK, dan lain-lain justru menciutkan nyali pemerintah daerah untuk membuat inovasi pelayanan. Semoga nyali daerah untuk berinovasi semakin besar karena pemerintah pusat pun mulai peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar