Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah
Sunarsip ; Ekonom
The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
|
JAWA POS, 16 Juni 2015
AKHIR-AKHIR ini tren
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah. Tercatat,
nilai tukar rupiah per 11 Juni 2015 melemah sebesar 6,76 persen
(year-to-date/ytd) dibanding posisi 2 Januari 2015. Banyak faktor yang
menjadi penyebab pelemahan rupiah. Dari sisi eksternal, rencana normalisasi
kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed, yang akan menaikkan suku bunga
acuannya (policy rate) telah
mendorong terjadinya pembalikan arus capital
flow (reversal) modal asing
sehingga memperlemah nilai tukar rupiah.
Sedangkan dari sisi
internal, rendahnya kinerja ekonomi dalam kuartal I 2015 serta tingginya laju
inflasi memperlemah nilai tukar rupiah. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015
hanya 4,71 persen, melambat dari 5,01 persen pada kuartal sebelumnya. Angka
kuartal I tersebut terendah sejak kuartal IV 2009. Secara quarter-to-quarter
(qtq), perekonomian mengalami kontraksi 0,18 persen pada kuartal I 2015.
Kondisi itu terbilang langka karena di setiap kuartal I, secara qtq, ekonomi
Indonesia biasanya tumbuh positif meski tidak besar. Sementara itu, inflasi
yang diproyeksikan dapat ditekan ke level 4±1 persen, hingga Mei 2015 ini,
masih bertengger di 7,15 persen (year-on-year/yoy). Tingginya inflasi, secara
riil, juga ”memaksa” nilai tukar rupiah harus melemah.
Pelemahan rupiah telah
menimbulkan dampak yang luas bagi perekonomian. Sisi positifnya, pelemahan
rupiah meningkatkan ekspor. Sayang, efek positif terhadap kenaikan ekspor
tergerus akibat pelemahan permintaan (demand)
dan turunnya harga komoditas. Data dari Bank Indonesia (BI), indeks harga 8
komoditas unggulan ekspor kita melemah sekitar 18,64 persen pada kuartal I
2015. Di sisi lain, melemahnya pertumbuhan ekonomi negara utama tujuan ekspor
seperti Tiongkok juga mengakibatkan ekspor kita belum pulih. Pada kuartal I
2015, ekspor masih mengalami koreksi meski lebih rendah daripada koreksi di
kuartal sebelumnya. Untung, penurunan ekspor itu masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan penurunan impornya sehingga neraca perdagangan kita masih
surplus USD 3,09 miliar pada kuartal I 2015.
Pelemahan rupiah telah
mendorong aktivitas impor menjadi menurun karena tingginya harga
barang-barang impor. Pelemahan impor itu memberikan dampak negatif bagi
kegiatan investasi kita. Terlebih, kini pemerintah sedang giat menggenjot
kegiatan investasi di sektor infrastruktur. Kegiatan investasi membutuhkan
impor barang modal yang besar. Ketika harga impor barang modal meningkat
(akibat pelemahan rupiah), kegiatan investasi pun terhambat. Dan terbukti,
selama kuartal I 2015, investasi menurun menjadi 4,36 persen lebih rendah
daripada kuartal I 2014 sebesar 4,7 persen meskipun lebih tinggi daripada
kuartal IV 2014 sebesar 4,27 persen.
Untuk mencegah
pelemahan nilai tukar rupiah, BI mempertahankan BI rate di posisi 7,5 pesen.
Menurut BI, kebijakan itu sejalan dengan stance kebijakan moneter yang
dipertahankan tetap ketat untuk menjaga inflasi di kisaran 4±1 persen pada
2015 serta mengarahkan defisit neraca berjalan ke kisaran 2,5 persen–3 persen
PDB dalam jangka menengah. Kebijakan BI tersebut di satu sisi cukup berhasil
menahan laju penurunan rupiah terhadap USD. Itu terlihat dari pelemahan nilai
tukar rupiah yang relatif lebih baik daripada sejumlah mata uang emerging
markets lainnya.
Namun, kebijakan BI
itu juga telah memberikan dampak negatif bagi sektor keuangan, khususnya
perbankan. Sekalipun tekanan suku bunga mulai mereda, ketatnya likuiditas
perbankan masih mengakibatkan terjadinya ”perang suku bunga”. Suku bunga
deposito bank-bank acuan LPS (suku bunga pasar, SBP) sepanjang kuartal
pertama 2015 masih mengalami kenaikan sebesar 11 basis points (bps), meski
menurun dibanding 17 bps pada periode yang sama tahun lalu. Sejak awal April
2015, SBP menurun 10 bps. Masih tingginya suku bunga simpanan itu harus
ditanggung bank dalam bentuk peningkatan biaya dana (cost of fund).
Tingginya suku bunga
simpanan (deposito) mengakibatkan kemampuan kredit (lending) perbankan juga
menurun. Itu tecermin dari tingginya rasio kredit terhadap simpanan (loan to
deposit ratio/LDR). Per Maret 2015, posisi LDR di level 87,6 persen. Itu
berarti, ruang ekspansi tinggal sekitar 5 persen. Kondisi perekonomian yang
kurang kondusif mengakibatkan korporasi menekan laju ekspansi (dan permintaan
kredit), terlebih di saat suku bunga kredit juga masih tinggi. Di sisi lain,
tingkat bunga yang tinggi mengakibatkan meningkatnya daya tarik deposito
sebagai salah satu alternatif investasi. Posisi itu mengakibatkan perbankan
menanggung dua risiko sekaligus: tingginya biaya dana dan melemahnya
pendapatan bunga dari sisi kredit.
Bukan hanya itu.
Pelemahan ekonomi, tekanan nilai tukar, dan suku bunga yang tinggi telah
mengakibatkan meningkatnya kesulitan bagi para debitor untuk memenuhi
kewajibannya. Berdasar data, kredit yang dikategorikan bermasalah
(kolektibilitas 3–5) masih cenderung tinggi dengan tingkat pertumbuhan
rata-rata 26,6 persen sepanjang kuartal I 2015. Tingkat pertumbuhan itu jauh
di atas pertumbuhan rata-rata kredit yang kolektibilitasnya lancar sebesar
10,6 persen. Pertumbuhan kredit kolektibilitas ”perbatasan” (kolektibilitas
2) juga cukup tinggi (rata-rata sebesar 23,7 persen) yang mengindikasikan
ancaman kredit macet masih signifikan dalam beberapa periode ke depan. Dengan
kondisi seperti itu, risiko yang dihadapi perbankan pun bertambah dari risiko
likuiditas ke risiko kredit.
Jelas bahwa efek dari
pelemahan nilai tukar rupiah ini telah berada dalam posisi yang cukup
mengkhawatirkan. Terlebih, potensi pelemahan diperkirakan masih terjadi
seiring dengan tidak adanya kepastian terkait dengan kebijakan kenaikan suku
bunga AS. Kondisi ini harus diantisipasi, baik oleh otoritas moneter, fiskal,
maupun kebijakan sektoral pemerintah. BI perlu mengevaluasi efektivitas
kebijakan moneternya karena faktanya beragam upaya dan kebijakan yang telah
dilakukan terbukti belum mampu mengangkat nilai tukar rupiah dan menekan laju
inflasi. Pemerintah (termasuk fiskal) juga perlu segera menyelesaikan problem
internalnya yang terbukti telah menghambat penyerapan kinerja anggarannya.
Sementara itu, dunia
usaha (korporasi) sebaiknya tidak diam melihat situasi terkait dengan
ketidakjelasan prospek nilai tukar rupiah ini. Korporasi yang memiliki
eksposur tinggi terhadap impor dan utang luar negeri sebaiknya segera
melakukan langka-langkah mitigasi risiko terkait dengan nilai tukar, salah
satunya dengan melakukan transaksi lindung nilai (currency hedging). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar