Distribusi
Kebutuhan Pokok Menjelang Ramadan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
MEDIA INDONESIA, 04 Juni 2015
RAMADAN tinggal beberapa hari lagi. Setelah
itu akan disusul Idul Fitri. Seperti ritual tahunan, menjelang Ramadan
harga-harga kebutuhan pokok melambung. Menurut BPS, inflasi Mei 2015 sebesar
0,5% sebagian besar disumbang oleh komponen bahan makanan, meliputi cabai
merah, daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, ikan segar, dan bawang
putih. Diperkirakan, harga barang kebutuhan pokok masih bertahan tinggi
selama Ramadan, dan melambung tinggi saat Idul Fitri.
Pemerintah mengklaim, meskipun ada lonjakan
permintaan saat puasa, stok bahan kebutuhan pokok selama Ramadan lebih dari
cukup. Pertanyaannya, jika stok cukup, mengapa harga melambung?
Sesuai dengah hukum pasokan-permintaan, ketika
pasokan tetap sementara permintaan melonjak tinggi, harga akan terkerek naik.
Ketidakseimbangan supply-demand
akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan.
Karena posisinya dominan, para pihak ini bisa
mengeksploitasi keadaan. Siapakah mereka? Tentu bukan petani. Yang paling
mungkin ialah pihak-pihak yang terlibat dalam proses distribusi komoditas
yang dihasilkan petani. Distribusi terkait erat dengan pergerakan komoditas
dari tangan produsen hingga ke konsumen. Aktivitas itu melibatkan banyak
pihak, mulai produsen, pedagang atau perusahaan yang bergerak dalam usaha
pengumpulan, pedagang besar (wholesaler),
pedagang pengecer, hingga konsumen pemakai/pengguna produk.
Masalahnya, proses distribusi sering kali
tidak berjalan mulus. Antara lain ditandai adanya disparitas harga
antarwilayah dan antarmusim yang relatif tinggi serta fIuktuasi harga yang
tak terkendali. Di kawasan timur Indonesia dan tempat-tempat terpencil,
fluktuasi harga cukup tinggi. Fluktuasi juga terjadi saat kebutuhan melonjak,
seperti hari raya keagamaan (Idul Fitri dan Natal) dan tahun baru. Musim juga
memengaruhi harga lewat pertemuan supply-demand.
Masalah distribusi pun terkait dengan sarana dan prasarana distribusi yang
kurang memadai, kondisi geografis yang berpulau-pulau, sentra produksi yang
tidak merata, koordinasi pelaksanaan distribusi yang belum lancar, margin
distribusi yang tidak proporsional, aneka pungutan liar, dan posisi dominan
pihak tertentu.
Sistem distribusi dianggap efisien apabila
memenuhi dua syarat. Pertama, mampu menyampaikan hasilhasil dari produsen ke
konsumen dengan biaya serendah-rendahnya. Kedua, mampu mengadakan pembagian
yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua
pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan distribusi barang tersebut
sesuai dengan peran masing-masing. Bila hanya syarat pertama yang terpenuhi,
yakni mampu menyampaikan barang dengan biaya serendah-rendahnya tetapi
pembeli atau penjual hanya satu orang (monopsoni atau monopoli), perusahaan
akan bisa menekan harga pembelian dari produsen. Akibatnya, produsen menerima
harga yang relatif rendah. Hal itu menunjukkan bahwa biaya tata niaga rendah,
tetapi pembagian yang terjadi tidak adil, sehingga tidak dapat dikatakan
memenuhi syarat tata niaga yang efisien. Tata niaga dapat dikatakan efisien
apabila kedua syarat tersebut terpenuhi.
Distribusi berperan penting agar komoditas
yang diproduksi produsen dan diinginkan konsumen tersedia dan diperoleh dalam
bentuk, waktu, dan jumlah yang tepat.Ketika tiga tepat tersebut dipenuhi,
dampaknya cukup banyak, salah satunya stabilitas harga komoditas. Isu
instabilitas harga kebutuhan pangan pokok, seperti beras, gula, dan minyak
goreng, jadi masalah rutin bagi warga dan pemerintah. Instabilitas harga
terjadi berulang hampir setiap tahun.
Instabilitas itu telah menguras tenaga,
pikiran, dan biaya yang tidak kecil.
Padahal, berbagai kajian menunjukkan
peran penting stabilitas harga pangan karena biaya sosial-politik
instabilitas pangan sangat tinggi (Janvry, 1995; Timmer, 2003). Instabilitas
harga kebutuhan pokok dapat menurunkan tingkat efisiensi penggunaan sumber
daya, bisa memicu gejolak makroekonomi dan politik. Kejatuhan Soekarno dan
Soeharto, dalam batas-batas tertentu, terjadi karena gejolak harga pangan.
Kemampuan sebuah rezim dalam menyediakan
penghidupan yang layak bagi warga akan menentukan situasi sosial-politik.
Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi, serta peran sektor
swasta, warga sipil, dan dunia internasional di sisi lain. Namun, sistem
ekonomi nyaris tak berubah. Di sisi lain, peran pemerintah kian menciut,
diikuti naiknya peran swasta dan warga sipil.
Menguatnya daya tawar rakyat vis a vis negara yang lemah mestinya
mengubah struktur ekonomi dan pemerataan. Logika itu tak terjadi. Kaum
kapitalis kian sulit diatur. Sebaliknya, lembaga pelayananan publik (Bulog,
sekolah, rumah sakit, PLN, Pertamina) dipereteli tugasnya atau bahkan
diprivatisasi.
Yang terjadi kemudian, pemerintah kian lumpuh
dalam memenuhi kebutuhan pokok. Ketika fungsi kian menciut, peran pemerintah
bisa difokuskan pada stabilisasi harga kebutuhan pokok, terutama pangan.
Negara harus hadir sebagai stabilisator pangan, seperti amanat UU No 18/2012
tentang Pangan. Di UU itu stabilisasi pasokan dan harga pangan, pengelolaan
cadangan dan distribusi pangan pokok menjadi tugas pemerintah. Karena itu,
rencana pemerintah menerbitkan perpres stabilisasi harga kebutuhan pokok tak
bisa ditunda-tunda. Tentu tujuannya bukan hanya saat Ramadan, melainkan juga
untuk jangka panjang.
Ada tiga hal yang bisa
dilakukan.Pertama, menentukan komoditas pangan pokok. Bisa dipakai tiga
kriteria: besar-kecilnya peran komoditas itu bagi perekonomian, sumbangan
pada inflasi, dan seberapa besar menyedot belanja rumah tangga. Soal jumlah
komoditas, barangkali cukup 4-5. Jenis dan jumlah itu sifatnya dinamis,
bergantung pada situasi. Kedua, instrumen harus komplet, mulai harga,
cadangan, pengendalian ekspor-impor, hingga jaminan sosial dalam bentuk
pangan bersubsidi. Ketiga, sistem distribusi harus lancar dan tidak ada
pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar