Orang-orang
Dalam Kredo
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS, 04 Juni 2015
Di tengah-tengah
membuncahnya ketakpastian hukum dan kesulitan ekonomi yang mendera ratusan
juta kita sebagai bangsa, salah satu yang wajib diingat untuk menolak
sinisme-pesimisme ialah kehadiran kontinu dan merata di sekitar kita dari
mereka yang bisa disebut orang-orang yang hidup dalam kredo.
Secara universal, kata
kredo dipahami sebagai "dasar tuntunan hidup" (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) atau "a guiding
principle" (Merriam-Webster). Dua-duanya mengacu kepada elan
keluhuran manusia atau bangsa. Seperti di mana-mana, di Tanah Air pun
orang-orang berkredo berasal dari kurun masa berlapis-lapis dan dari aneka
asal-usul, sistem nilai, tingkatan sosial maupun bidang kehidupan. Kendati
tak selalu mengeksplisitkan kredo mereka, mereka sama-sama tertuntun
dasar-dasar atau prinsip-prinsip luhur. Hidup mereka sarat kebajikan dan
perjuangan. Mereka sadar dan tulus memilih berbakti kepada sesama serta
membangun bangsa di tengah tantangan berat maupun di tengah kesunyian.
Bercita-cita luhur,
orang-orang berkredo menjunjung kemanusiaan dengan terus memelihara kemurnian
amal. Jika berasal dari tingkat sosial bawah, mereka terus bekerja tanpa
tergiur merapatkan diri kepada para penguasa dan pengusaha demi sedekah. Jika
berasal dari kalangan menengah, mereka terus berkarya tanpa merendahkan diri
demi materi atau posisi. Jika hartawan, mereka terus berbagi tanpa laku
pamer. Jika pasca kuasa tetap jaya berkat jasa murni, mereka terus beramal
tanpa perlu "merinso reputasi" lewat iklan-iklan raksasa penutup
noda-noda penyelewengan di masa lalu.
Kisah Pak Dul dan Chris Siner
Di sini, titik masuk
tuturan kita perihal orang-orang dalam kredo adalah dua sosok sederhana yang
menjadi berita nasional baru-baru ini: Pak Dul di Surabaya (Kompas, 17/5) dan
Chris Siner Key Timu, tokoh Petisi 50 yang meninggal pada 4 Mei. Pak Dul
adalah tukang becak berusia 65 tahun yang rajin tengah malam menambali lubang
jalanan dengan bongkahan aspal, memalu rata cuatan besi tajam di tempat umum
agar tak melukai pejalan kaki atau anak-anak, dan mengantar gratis orang
susah dengan becaknya.
Di Surabaya kehidupan
demikian sudah dilakoni Pak Dul dalam 10 tahun terakhir. Tak salah jika
Kompas menyebutnya "a day-to-day hero". Sebetulnya, semua pahlawan
sejati adalah "pahlawan sehari-hari". Sebab, kepahlawanan di situ
melekat pada karakter, seperti kredo melekat kepada jati diri. Ia
"built-in" dan terus mengalir dalam hidup sang pahlawan, bukan
produk kebetulan atau momenter.
Chris Siner Key Timu
(75), tokoh Petisi 50 itu, mungkin paling aktif mengkritisi pemerintahan
sepanjang 35 tahun terakhir. Kita tahu bahwa Petisi 50 adalah protes paling
berbobot kepada Presiden Soeharto yang tak hanya memonopoli kekuasaan,
melainkan juga mendaku Pancasila bagi kelompoknya sendiri. Di era Reformasi,
Chris tetap mengkritisi pelaksanaan kekuasaan. Dari para figur Angkatan '66,
hanya satu dua yang setara dengannya dalam hal integritas serta konsistensi.
Di sepanjang 35 tahun perjuangannya, ketika sebagian besar survivors
seangkatannya di organisasi kemahasiswaan telah marem menikmati "hasil
perjuangan mereka", "Bung Chris"-begitu saya biasa
menyapanya-tetap terus terpanggil untuk mengkritisi pemerintahan.
Bersama beberapa
sahabatnya yang tersisa dan kader-kader muda yang terus dibinanya, Chris
terus hidup sederhana dalam kredo-tiga-butir: "satu kata dengan
perbuatan," mengutamakan kepentingan umum, serta menjaga jarak dengan
kekuasaan yang korup. Chris memperjuangkan sistem politik yang adil bagi
Indonesia sembari terus menjaga solidaritas dengan puluhan juta rakyat di
bawah garis kemiskinan. Pada jalan itulah Bung Chris menemukan kebahagiaan.
Dari beberapa kali memenuhi undangannya baik untuk berbicara di depan Petisi
50 semasa Bang Ali Sadikin maupun pada acara lainnya, tak sekalipun saya
menjumpainya tanpa wajah cerah atau semangat prima. Sejatinya, Chris Siner
Key Timu adalah seorang optimistis sejati.
Selain Pak Dul, masih
banyak pahlawan lain pada jenjang sosial bawah, lelaki maupun perempuan. Jika
kita membuka kembali edisi Kompas lalu, akan tersimak bahwa dari seluruh
pelosok Tanah Air tak terhitung pahlawan yang membarengi bakti Pak Dul. Dan
itu semua mereka lakukan suka rela dan sepenuh hati.
Di Desa Modo, Kabupaten
Buol, Agapitus Tandi (49) meramu pupuk organik dari daun gamal, siput, dan
bonggol pisang demi pertanian di sekitarnya. Di Gunung Kidul, DIY, Sutarti
(56) mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Di Pulau Tidung, Kepulauan
Seribu, Erik (47) merawat terumbu karang. Dari Bantaeng, Sulawesi Selatan,
Herawanty (35) mengajari perempuan pesisir mandiri dengan hasil-hasil laut
sampai ke pelosok Kalimantan, Maluku Utara, dan Sumatera. Di pedalaman Sumba,
Kamilus Pati Wayon (51) merawat anak-anak telantar. Dari Tanjung Pinang, Ady
Indra Pawennari (42) menghidupkan kembali lahan-lahan tandus bekas tambang
dengan serat sabuk kelapa. Dan, dari Sei Gohong, Palangkaraya, Cristiyani
Margaretha (42) melakukan penyuluhan pertanian-peternakan untuk memakmurkan
masyarakat desa-desa di dalamnya.
Sama dengan Pak Dul,
Chris Siner Key Timu tidaklah sendiri dalam perjuangan, kepedulian, dan
kebersahajaan. Rata-rata mendahului, sewaktu, atau merupakan senior dari
Chris, kita pasti dapat menyebut SK Trimurti, Koentjaraningrat, Sarbini
Sumawinata, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, Yo Masdani, Selo Soemardjan,
Sajogyo, Soedjatmoko, Ibu Kasur, Mochtar Lubis, Baharuddin Lopa, Sartono
Kartodirdjo, Harsja W Bachtiar, Mattulada, Umar Kayam, dan YB
Mangunwijaya-untuk menyebut segelintir dari tak terhitung tokoh luhur sejiwa
di Tanah Air.
Asketisisme intelektual
Ke-17 tokoh yang saya
sebut di atas semuanya sudah mendiang. Separuh di antaranya adalah profesor
dari aneka disiplin, dua sastrawan, dan 10 memiliki kumulasi jasa, karya,
keberanian, dan keteladanan gemilang. Kendati mereka semua tergolong kelas
sosial menengah-atas dan beberapa bahkan memiliki reputasi internasional
serta dua orang, jika mau, berpeluang menjadi kaya raya, mereka semua tegar
memilih hidup sederhana dari hasil jerih payah terpuji. Sebagai
doktor/profesor atau pejabat tinggi, sebagian besar tokoh di atas teguh hidup
dalam moda "asketisisme intelektual" atau "prihatin
bermartabat" dalam arti sesungguhnya. Seperti Bung Chris, mereka adalah "a company of concerned and exemplary
citizens"-himpunan warga negara teladan yang sarat kepedulian.
Persentuhan pribadi atau percakapan sekali dua dengan sebagian besar dari
mereka merupakan rahmat tak terhingga dan oasis perguruan tak kunjung habis
bagi dahaga jiwa saya sendiri.
Tanpa membeda-bedakan
kesetaraan keutamaan di antara mereka dan semata untuk membumikan apa yang
kita sebut hidup dalam kredo, mari kita simak sosok YB Mangunwijaya dan
Hoegeng Iman Santoso. "Romo Mangun", panggilan akrab rohaniwan,
aktivis, dan sastrawan andal, pejuang kemerdekaan ini hidup dengan kredo
"bertuhan berarti memuliakan martabat manusia". Bertahun-tahun
hidup membela rakyat tertindas dan terpinggirkan, Romo Mangun termasuk
pendamping para petani yang dizalimi Orde Baru dalam kasus Kedung Ombo. Berkat
kegigihan perjuangannya, beliau berhasil mengubah permukiman kumuh di
sepanjang Kali Code, Yogyakarta, serta memberdayakan penduduk miskin di
dalamnya. Lantaran itulah beliau memperoleh The Aga Khan Award (1992).
Pak Hoegeng hidup dan
berkiprah sebagai pejabat dengan keteladanan cemerlang. Pesan rendah-hati
beliau: "Adalah baik menjadi orang
penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik." Tetapi, dalam
rumusan saya kredo yang pada hakikatnya beliau sandang hingga ke titik akhir
hidupnya ialah "Berbakti tulus dan
bulat bagi bangsa."
Hingga sebagai Kepala
Polri, tak sekali pun Pak Hoegeng memanfaatkan jabatan buat memperkaya diri.
Beliau menolak fasilitas lebih, apalagi sogokan pengusaha hitam. Pelbagai
uluran kebaikan, termasuk yang kecil-kecil, beliau tolak tegas. Toko bunga
Ibu Merry, istri beliau, juga ditutup demi integritas. Jika bawahannya alpa,
Pak Hoegeng turun sendiri mengatur lalu lintas.
Keberanian Pak Hoegeng
membongkar kasus Robby Cahyadi dan kasus Sum Kuning menyerempet pucuk kekuasaan
Orde Baru. Beliau dipensiun dini sebagai Kepala Polri oleh Presiden Soeharto
di usia 49 dan ditawari menjadi duta besar di Eropa. Jawaban beliau,
"Saya polisi, bukan politisi." Beliau lebih memilih menjadi pelukis
dan tampil reguler di TVRI untuk bernyanyi serta memainkan ukulele bersama The Hawaiian Seniors. Terutama di
situlah kala membawakan lagu-lagu teduh wajah Pak Hoegeng yang sungguh bersih
dan bening terekam abadi di hati kita.
Pada bangsa kita,
orang yang hidup dalam kredo terus berkiprah di seluruh pelosok Tanah Air dan
menjangkau berabad-abad ke masa silam. Mereka mematri sejarah sebelum maupun
sesudah kurun para Bapak Bangsa kita. Sumpah Pemuda; Bhinneka Tunggal Ika; "Raja alim raja disembah, raja lalim
raja disanggah"; "Sebaik-baik
orang 'edan', masih lebih baik orang yang ingat dan waspada"; atau "ade temmakkiana temmakkieppo"
[Hukum tak pilih kasih, tak pandang
keluarga]; dan Sumpah Palapa-semua ini bisa disebut rangkaian kredo
bangsa kita. Sultan Hasanuddin memakai kredo "mare liberum" Grotius
untuk menampar VOC. Kita pun mencatat kedua "kredo kedaulatan"
Chairil Anwar: "Punah di atas
menghamba, binasa di atas ditindas" dan "Di uratku di uratmu kapal-kapal kita bertolak dan
berlabuh." Sulit dibantah bahwa Candi Borobudur adalah buah kredo maha
gemilang dari leluhur kita. Bermodal kekayaan akal budi, bangsa kita insya
Allah akan kembali menapak masa depannya secara terhormat!
Dari contoh kecil
"kerja sama" antara Pak Dul dan Ibu Tri Rismaharini dalam membenahi
jalan-jalan "Kota Pahlawan", dari rangkaian berabad-abad peperangan
proto-nasion melawan penjajah, dan dari Kebangkitan Nasional serta Revolusi
Kemerdekaan, kredo-kredo luhur adalah kekuatan yang selalu bergerak terhimpun
dan mewujudkan karya-karya monumental. Pancasila adalah himpunan kredo
makropolitik tercerahkan dari negara-bangsa kita. Dan, tidak hanya mereka
yang nama-namanya kita angkat di sini, melainkan praktis semua orang berkredo
di Tanah Air, "orang besar" maupun "orang kecil", adalah
penjunjung serta pengamal nyata dan konsekuen darinya.
Keputusasaan, sinisme,
dan pesimisme yang kini menyebar di Tanah Air akan memperoleh antidotnya jika
kita menyadari bahwa di sekitar kita kini, dulu maupun nanti, selalu ada tak
terhitung orang yang sepenuhnya tulus bekerja bagi sesama dan bagi bangsa.
Sinisme akan memenangkan kezaliman. Optimisme akan memenangkan keluhuran.
Selalu ada orang bajik sederhana, seperti Pak Dul dan Bung Chris bahkan di
kampung tempat kita tinggal. Juga selalu berlangsung perlombaan kebajikan
intra dan antarkomunitas. Itu senantiasa perlu kita nyatakan dalam jiwa,
dalam wacana, dan dalam kiprah. Sebab, situasi akan menjadi sebagaimana kita
merumuskannya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar