Kamis, 18 Juni 2015

Dana Aspirasi dan Nasionalisme

Dana Aspirasi dan Nasionalisme

Laode Ida  ;  Wakil Ketua DPD RI 2004-2014;
Pendiri dan Koordinator Penggerak FITRA 1999-2004
MEDIA INDONESIA, 17 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BAGI saya, dan tentu saja bagi banyak orang di negeri ini yang berpikir sehat, merupakan kabar gembira ketika Partai NasDem bersikap menolak dana aspirasi yang diusulkan Rp20 miliar per anggota DPR (Media Indonesia, 16/6). Sebelumnya, saya sungguh sedikit merasakan `sesak napas' alias gelisah kalau parpol yang dinakhodai Surya Paloh itu berkeras meminta atau mendukung usulan sebagian fraksi di DPR tersebut. Saya beranggapan NasDem memiliki posisi tawar dan pengaruh yang cukup kuat dan strategis.

Akan tetapi, tampaknya politisi NasDem, dan semoga itu konsisten, dalam diri mereka kembali bersikap sangat kritis. Mungkin setelah melakukan refleksi dan sekaligus mendengar suara publik, tak sedikit yang menentang usulan itu sehingga sampai pada kesimpulan inisiatif tersebut hanya merupakan akal-akalan atau `cacat pikir' dari sebagian politikus di Senayan. Pertimbangan yang berbasis nasionalisme juga sangat kuat, yakni terkait dengan pemerataan pembangunan. Jika bisa dibayangkan memang, betapa akan semakin timpangnya distribusi anggaran pembangunan bila dana aspirasi (DA) itu diwujudkan untuk setiap anggota DPR. Daerah-daerah yang wilayahnya luas utamanya di luar Jawa akan sangat sedikit memperoleh anggaran jika dibandingkan dengan Pulau Jawa.

Maka, jangan heran jika akan ada klaim bahwa sangat rendah derajat nasionalisme politisi yang memaksakan DA itu karena hanya berpikir untuk kepentingan subjektif mereka, bukan untuk kepentingan pembangunan nasional sebagai suatu kesatuan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Pada tingkat tertentu, bahkan tak mustahil hal itu akan melahirkan benih disintegritas karena pengambilan kebijakan di tingkat nasional ternyata lebih berpikir hanya untuk daerahnya sendiri.

Cobalah bayangkan jika skenario rancangan alokasi DA itu diwujudkan. Bagi provinsi-provinsi seperti Gorontalo, Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung yang masing-masing hanya memiliki tiga anggota DPR hanya akan memperoleh maksimal Rp60 miliar. Bandingkan dengan provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Timur yang anggota DPR-nya hampir 100 orang, maka DA yang akan digelontorkan pun mencapai hampir Rp2 triliun.

Akan tetapi, bukan mustahil politisi itu akan sangat mengabaikan akal sehat dan prinsip-prinsip nasionalisme tersebut. Niscaya mereka akan terus mencari-cari alasan pembenaran, yakni terkait dengan sumpah mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang ada di daerah pemilihan (dapil) sehingga terkesan sebagai suatu kewajiban untuk direalisasikan dalam APBN 2016.

Semula sebagian fraksi seperti Gerindra, PKS, dan PDIP memang masih bersikap menolak usulan DA itu. Namun, belakangan sikap mereka kembali mengambang. Apalagi kalau unsur pimpinan DPR yang jumlahnya empat orang itu bersepakat untuk memaksakan, bisa saja terwujud, termasuk bisa dilewati melalui mekanisme voting dalam sidang paripurna.

Sikap pemerintah

Apalagi jika pemerintah setuju saja, usulan itu tak akan memperoleh hambatan. Kalaupun ada kelompok-kelompok masyarakat yang menolak, niscaya tak akan berpengaruh karena mereka semua berada di luar panggung penentuan anggaran, sedangkan yang mengambil keputusan ialah elemen-elemen elite (anggota DPR dan pejabat pemerintah terkait) yang berada di dalam ruangan tertutup.

Kita berharap memang Presiden Jokowi dan para pembantunya di kabinet lebih bersikap bijak dalam menyikapi usulan politisi yang sudah `ngebet' untuk memperoleh bagian dari APBN itu. Usulan DA itu merupakan hal baru di Indonesia. Pertama itu harus dikonfirmasi dulu dengan aturan yang terkait khususnya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Cobalah lakukan kajian berdasarkan aturan itu karena `sedangkal' pemahaman saya, tak ada satu pun klausul yang menyatakan bahwa anggota-anggota DPR diberi hak untuk memiliki DA.

Maka boleh jadi usulan DA itu mengabaikan pertimbangan legalistik atau aturan pengelolaan keuangan negara, hanya berdasarkan tafsir subjektif atas nama `perjuangan aspirasi daerah pemilihan'.Apalagi pada tingkat operasionalnya, niscaya itu akan sangat sarat kepentingan.

Peluang untuk perusakan sistem termasuk penyalahgunaan anggaran negara melalui skema DA memang sangat terbuka. Utamanya jika para anggota parlemen diberi otoritas untuk mengarahkan penggunaan dana itu berdasarkan permintaan konstituen di daerah pemilihan (dapil). Pertama, yang pasti sudah akan rusak ialah sistem perencanaan, di saat setiap daerah sudah memiliki dokumen perencanaan yang dibuat melalui proses buttom up (dari bawah) dengan melibatkan masyarakat atau seluruh stakeholder secara langsung. 

Dokumen perencanaan itu berpeluang untuk selalu diabaikan karena aspirasi tiba-tiba akan muncul dan dianggap harus diakomodasi untuk dibiayai melalui DA. Kalau DA itu dititip di lembaga pemerintah, anggota DPR tinggal memerintahkan untuk mencairkan anggarannya. Padahal, aspirasi itu sebenarnya hanyalah merupakan keinginan alias bukan kebutuhan masyarakat/daerah.

Kedua, pemaksaan DA perlu juga dicurigai sebagai akal-akalan oknum politisi untuk memperoleh cipratan langsung dari APBN. Maklum, belakangan ini, ketika KPK begitu gencar mengawasi oknum politisi busuk yang jadi mafia anggaran untuk mengegolkan anggaran dengan memperoleh komisi dari pemilik otoritas pengelola anggaran (eksekutif) dan pengusaha, mungkin kondisi dirasa sudah sulit untuk melakukannya. Padahal, biaya politik sangat tinggi, mulai pengeluaran saat kampanye sampai dengan berbagai pengeluaran tak terduga.Belum lagi ada keperluan `wajib untung' selama jadi penentu kebijakan, maka gairah untuk mewujudkan DA itu akan sangat tinggi dan dianggap semacam keharusan untuk disetujui pemerintah.

Masih banyak juga politikus bersih, memiliki integritas. Namun, ketika tak berdaya karena berada di bawah kendali parpol yang sangat mencengkeram, niscaya mereka akan tak berdaya untuk lakukan perlawanan. Mereka yang ngotot untuk dapat bagian DA pasti akan mengabaikan prinsip etika fundamental dari pengambil kebijakan di mana pun di dunia ini yang tak boleh membuat kebijakan untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Prinsip tersebut tentu dicamkan betul bagi mereka yang berpikir waras dalam peradaban tinggi dalam pengelolaan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar