Peradilan Bersih dan Berwibawa, Kapankah?
Sudjito ; Guru
Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 17 Juni 2015
Bambang Widjojanto
(BW) tiga kali mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka
dan penangkapan oleh penyidik Bareskrim Polri di Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan dan tiga kali pula mencabutnya.
Pertama, BW mengajukan
praperadilan pada 23 Januari dan dicabut 9 Februari. Kedua, BW kembali
mengajukan pada 7 Mei dan dicabut 20 Mei. Ketiga, BW mengajukan kembali pada
27 Mei kemudian dicabut 15 Juni 2015.
Dari pernyataan kuasa
hukum BW, Abdul Fickar Hadjar, terungkap bahwa pencabutan antara lain karena
alasan-alasan berikut: (1) Praktik penanganan perkara praperadilan di PN
Jakarta Selatan telah dibajak menjadi ajang arus balik gerakan antikorupsi;
(2) Proses dan putusan sidang praperadilan telah di luar nalar atau logika
hukum; (3) Hakim memberi putusan di luar wewenang atau ultrapetita; (4) Upaya
praperadilan sudah dalam skenario dan skema yang telah diketahui hasilnya;
(5) Terindikasi tidak ada standar berbasis fakta dan argumentasi untuk
menerima atau menolak permohonan praperadilan.
Alasan-alasan tersebut
merupakan hasil eksaminasi beberapa putusan praperadilan sebelumnya yakni
kasus praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan, mantan Wali Kota Makassar Ilham
Arief Sirajuddin, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, dan terakhir kasus Novel
Baswedan.
Dapat dipahami bahwa
sikap BW itu diapresiasi oleh jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
penggiat antikorupsi, dan mereka yang sealiran pemikiran. Namun, pada sisi
lain Bareskrim Polri berikut pengacaranya, ahli hukum, pemikir, serta
pengikutnya kecewa seraya mengkritik atas sikap tersebut. Sulit terbantahkan
bahwa ”pertikaian” antara KPK berhadapan dengan lembaga kepolisian, terus berlangsung
secara laten maupun manifes, terjadi di luar maupun di dalam sidang
pengadilan.
***
Tulisan ini tidak
memihak salah satu dari dua kubu yang ”bertikai”. Kapankah ”pertikaian”
berubah menjadi persatuan sebagai skuadron penegak hukum? Silang-sengkarut
praperadilan hanyalah riak kecil. Terwujudnya peradilan bersih dan berwibawa,
saya pandang, lebih penting dibahas dan bermanfaat bagi kepentingan bangsa
secara keseluruhan.
Mengapa? Analog dengan
”lonceng peringatan”, sampai detik ini, tidak sedikit publik mempertanyakan:
independensi, integritas, profesionalitas, moralitas, kebersihan, dan
kewibawaan lembaga pengadilan. Paling tidak, pengalaman
bergaul dengan hakim-hakim, mereka berbisik-bisik dan berterus terang bahwa
keselamatan dan kelancaran karier menjadi pertimbangan utama dalam
menjalankan profesinya, sebelum mempertimbangkan hal lain.
Maknanya, ”peradilan
bersih dan berwibawa”, masih jauh panggang dari api. Untuk mewujudkan itu
perlu perjuangan semua pihak, tidak hanya mempersalahkan pihak-pihak
tertentu. Hemat saya, perjuangan dapat diawali dengan mengelaborasi ungkapan
”peradilan bersih dan berwibawa” sejak filosofisnya sampai dengan
perwujudannya sehingga tidak berhenti sebagai slogan kosong, melainkan
menjadi bermakna dan dapat dijabarkan dalam bentuk realitas nyata.
Pertama, bersih dalam
dimensi rohani mengandung makna spiritual-religius, yakni tanpa noda: iri,
dengki, sombong, dan dusta. Sementara itu, bersih jasmani adalah bersih dari
perilaku tercela dan barang haram. Peradilan bersih akan terwujud bila diisi
oleh manusia-manusia bersih rohani-jasmani. Predisposisi kejiwaan niscaya
mampu memberikan garansi terjaganya integritas dan profesionalitas siapa pun
yang terlibat dalam peradilan bersih.
Artinya, peradilan
bersih mensyaratkan penegak hukum memiliki ilmu dan keterampilan khas yakni
ilmu hukum yang luas dan mendalam, merengkuh semua dimensi kehidupan, baik
yang diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan lain, termasuk
pengalaman hidup. Kedua, bersih menjadi prasyarat kehidupan sehat. Sehat
mencakup kenormalan fungsifungsi fisik, mental, spiritual, maupun sosial
sehingga setiap manusia mampu berperan sebagai subjek hukum.
Setiap kegiatan dalam
upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dilaksanakan berdasarkan
prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkesinambungan. Kesehatan (health) dan penyembuhan (heal) secara etimologis memiliki akar
kata yang sama dengan istilah whole
(keseluruhan). Hal ini mengindikasikan bahwa peradilan bersih dan berwibawa
dapat terwujud bila upaya-upaya perwujudannya dilakukan secara holistik.
Analog dengan makna
kesehatan bagi setiap manusia agar terwujud peradilan bersih dan berwibawa
sehingga upaya-upaya pendekatan holistik meliputi: (a) Pelayanan promotif
yaitu serangkaian kegiatan pelayanan hukum yang bersifat promosi keadilan;
(b) Pelayanan preventif yaitu kegiatan pencegahan terhadap kemungkinan
munculnya ketidakadilan; (c) Pelayanan kuratif yaitu serangkaian kegiatan
untuk pemulihan harkat dan martabat orang yang pernah bersalah; dan (d)
Pelayanan rehabilitatif yaitu serangkaian kegiatan mengembalikan bekas
pesakitan ke masyarakat sehingga dapat berperan sebagaimana anggota
masyarakat lainnya.
Ketiga, peradilan
bersih dan berwibawa dapat dirujuk maknanya pada implikasi dari kualitas
bersihnya manusia-manusia pelaku. Berwibawa akan muncul dengan sendirinya
sebagai pembawaan, sikap, perilaku penuh daya tarik penegak hukum yang
bersih. Peradilan bersih dan berwibawa adalah peradilan yang memiliki
kekuasaan, disegani, dipercaya, dan dipatuhi oleh penegak hukum maupun
pencari keadilan.
Eksistensi dan fungsi
lembaga pengadilan diakui dan dimanfaatkan bukan karena pamrih, melainkan
karena aura kejujuran dan kemampuan mewujudkan keadilan substantif. Kita
insyaf bahwa perwujudan peradilan bersih dan berwibawa melibatkan
kompleksitas kehidupan begitu tinggi, jumlah orang dan lembaga begitu banyak,
serta keanekaragaman kehidupan lainnya. Karena itu, tidak ada pilihan lain
kecuali peran dan fungsi seluruhnya dikelola dalam konteks organisasi,
manajerial terpadu, pengintegrasian, sinergitas sumber daya kelembagaan dan
entitas penegak hukum (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, organisasi advokat,
media massa, dan sebagainya).
Hemat saya, Presiden
bersama Mahkamah Agung (MA) dan DPR memiliki otoritas untuk meninjau kembali
dan mengorganisasikan kekuasaan kehakiman menjadi sistem terpadu, tanpa
”pertikaian”, tanpa ”rivalitas”, dan tanpa ”kriminalisasi”. Ketika
kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman, lembaga penegak hukum,
lembaga pengadilan dapat dipulihkan sehingga silang sengkarut pra peradilan
dapat diakhiri. Kapankah terwujud? WallahuWallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar