Senin, 08 Juni 2015

Berduka Setelah Keguguran

Berduka Setelah Keguguran

Agustine Dwiputri  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 07 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Adik saya perempuan, beberapa bulan yang lalu, mengalami keguguran atas kehamilan anak ketiganya. Dua anak sebelumnya laki-laki. Usia kehamilan waktu itu hampir 7 bulan. Suaminya yang sangat mendambakan anak perempuan terlihat sangat terpukul ketika jabang bayi mereka yang sudah diketahui perempuan meninggal di dalam kandungan.


Adik saya demikian pula, tampaknya mereka sampai sekarang masih terus bersedih, sampai ia yang tadinya bekerja di sebuah perusahaan mengundurkan diri. Ia merasa ketika hamil terlalu lelah bekerja sehingga tidak dapat menjaga kandungannya.

Katanya, ia ingin menenangkan diri sambil mengurus dua anak lainnya yang sudah duduk di bangku sekolah. Untung suaminya menerima meski penghasilan mereka pasti jadi berkurang. Apakah keadaan adik saya wajar? Bukankah ia masih bisa hamil lagi? Terima kasih.

W di Jg

Ibu W yang sangat peduli.

Sebenarnya persentase terjadinya keguguran dari seluruh kehamilan yang ada di sekitar kita cukup besar. Namun, biasanya hanya sedikit perhatian tercurah pada kedukaan yang dirasakan orangtuanya, kurang ada dukungan sosial bagi ibu yang mengalami keguguran.

Hal ini mungkin dikarenakan orang lain tidak paham dan tak dapat ikut mengembangkan kenangan untuk berbagi dalam proses berkabung orangtua yang kehilangan bayinya. Calon bayi tidak terlihat nyata oleh orang lain, membuat mereka lebih sulit memastikan adanya rasa kehilangan dari orangtua.

Berbeda halnya dengan kondisi orangtua yang kehilangan anak kecil atau anak remajanya, suami yang ditinggal meninggal istrinya, dan sebagainya. Mereka telah punya pengalaman hidup bersama untuk beberapa tahun atau dalam waktu yang lebih panjang.

Makna kehamilan

Menurut Therese Rando, PhD (1988) besarnya kedukaan yang dirasakan orangtua sebenarnya tidak berhubungan dengan panjangnya masa kehamilan, tetapi lebih berkaitan dengan arti dari calon bayi, kebutuhan, perasaan, dan harapan dari orangtua pada sang anak yang akan lahir. Pada kasus di atas, ayah dan ibu sama-sama mendambakan kelahiran seorang anak perempuan, ada makna tertentu mempunyai anak perempuan, ada harapan dan nilai khusus pada calon anak. Meski usia kehamilan lebih muda sekalipun, bila lahirnya seorang anak nanti memberi arti penting bagi keberadaan mereka menjadi orangtua, pasti akan besar rasa kedukaan yang dialami.

Kedukaan atas keguguran

Lebih lanjut Rando mengatakan bahwa kedukaan ibu dan kesedihan ayah sering berbeda, yang mencerminkan adanya perbedaan dalam hal besarnya dan jenis keterlibatan masing-masing dengan janin di dalam kandungan. Ibu cenderung membentuk ikatan dengan anak yang belum lahir secara lebih cepat karena ibu yang mengandung dan merasa anak berkembang di dalam rahimnya.

Namun, banyak pula ayah yang telah terlibat dengan gambaran sang janin sejak awal kehamilan sehingga punya ikatan batin yang kuat. Ini juga terjadi pada ipar Ibu W sehingga sangat wajar jika dia sangat terpukul atas keguguran yang dialami istrinya. Bagi kedua orangtua, keterlibatan dan kelekatan psikologis pada janin meningkat seiring berjalannya waktu, terjadinya perubahan pada tubuh, serta berbagai gerakan janin yang dapat dirasakan.

Dengan demikian adalah normal bila orangtua mengalami semua gejala berduka setelah terjadinya keguguran. Seberapa beratnya rasa berkabung bergantung pada kapan hal itu terjadi dan apa perasaan orangtua tentang hal itu. Selain itu, orangtua mungkin juga mengalami perasaan tidak berharga, gagal, dan berkekurangan yang mendalam. Terutama jika seorang calon ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya untuk menghasilkan anak yang sehat. Ia mungkin akan merasa cemas terutama jika belum atau tidak memiliki anak-anak lain.

Rasa bersalah biasa terjadi, terutama bagi perempuan, karena mereka merasa bertanggung jawab atas terjadinya keguguran. Banyak pasangan secara keliru menghubungkan keguguran pada sesuatu yang telah mereka lakukan, misalnya karena melakukan hubungan seksual berlebihan atau telah terlalu berat bekerja.

Untuk alasan ini, orangtua perlu mencoba mendapatkan informasi yang faktual dari ahli medis tentang kemungkinan penyebab keguguran. Jika perasaan ambivalen (konfliktual) tentang memiliki anak belum terselesaikan, adik Ibu mungkin perlu bantuan konselor untuk mengatasi rasa bersalahnya. Sebab, rasa kehilangan yang belum terselesaikan dapat mengarah pada kedukaan yang patologis. Penting bagi seseorang untuk berbagi tentang bayangan, pikiran, perasaan, dan harapan tentang anak yang belum lahir agar dapat secara efektif menyelesaikan proses berkabung. Untuk jangka waktu kurang dari satu tahun seperti yang mereka alami, tampaknya masa berdukanya masih dalam batas wajar.

Meminimalisasi perasaan negatif

Banyak konselor berpandangan adalah penting bagi para orangtua untuk melihat langsung hasil dari keguguran, yaitu janin yang telah keluar dari rahim. Hal ini akan membantu orangtua untuk memperkuat kenyataan dan memulai proses berduka. Mudah-mudahan adik Ibu diberi kesempatan untuk melakukan hal ini meskipun dia juga tidak perlu merasa bersalah jika memang tidak ingin melihatnya.

Beberapa orangtua diberi hasil foto USG dari janin mereka. Bila kita melihat sendiri bentuk dan kenyataan bahwa janin kita memang tidak layak untuk melanjutkan kehidupannya, mungkin lebih mudah bagi kita untuk melepas dan tidak terus meratapinya tanpa kejelasan seperti apa faktanya janin kita itu. Kemudian memakamkan sesuai ritual, memberikan nama bagi janin juga akan sangat membantu pemulihan rasa berkabung. Itu sebabnya mengapa sangat penting memiliki berbagai konfirmasi mengenai apa yang telah hilang dari orangtua.

Reaksi mengenang kembali peristiwa keguguran sering dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Orangtua mungkin memiliki berbagai pikiran tentang apa yang anak akan atau bisa lakukan pada saat ini bila ia masih tetap hidup. Memperingati waktu ketika anak akan lahir dapat meningkatkan kedukaan untuk sesaat. Dalam batas-batas tertentu, hal ini masih cukup normal dan dapat terus berlanjut sampai beberapa tahun.

Semoga membantu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar