Senin, 08 Juni 2015

Aktor

Aktor

Samuel Mulia  ;   Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 07 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Sudah lama saya punya kesenangan menonton film. Mau di layar lebar atau layar yang tidak lebar. Mau di dalam pesawat, di laptop, di bioskop, atau di rumah. Selama ini, saya berpikir kalau para aktor yang bermain dengan mengagumkan itu hanya karena mereka memiliki bakat yang luar biasa.


Tetapi tiba-tiba saja, entah datangnya dari mana, tebersit pemikiran lain kalau tak hanya bakat semata yang membuat mereka berakting dengan dahsyat, tetapi apa yang diperankan itu memang seperti sifat asli mereka. Sehingga hasil akhirnya mampu membuat saya berdecak kagum atau menjadi jengkel setengah mati.

Bakat dan tabiat

Saya berpikir yang paling jago dalam hal ini adalah casting director-nya. Mungkin mereka itu bukan hanya membaca jalan cerita, kemudian mencari pemeran yang sesuai, tetapi mereka memang sangat mengenal para pemain itu dalam kehidupan setiap hari.

Para casting director itu mengenal bagaimana perilaku para aktor ketika adegan dibuat, ketika waktu rehat diberikan, ketika mereka mau menandatangani kontrak, ketika menit pertama mereka menghubungi manajer para aktor itu. Selain itu, bisa jadi, mereka juga mendengar cerita dari sumber lain, bagaimana perilaku mereka yang sesungguhnya.

Bisa jadi ada aktor yang begitu rendah hati, ada yang bertingkah seperti dewa, atau ada yang memiliki tabiat di antara keduanya. Kadang bisa rendah hati, kadang bisa menjerit seperti manusia yang seolah memiliki jagat raya ini.

Dari tabiat keseharian itu, plus bakat yang diberikan Tuhan kepada mereka, para aktor menjadi begitu memesona di setiap layar yang saya saksikan. Apalagi kalau bertepatan menyaksikan penghargaan tertinggi di dunia film, di mana ada banyak kategori yang dikompetisikan, terutama kategori pemeran utama terbaik.

Saya teringat beberapa tahun lalu, saya ditawari untuk bermain film, menjadi seorang guru tari. Waktu saya bertanya mengapa mereka memilih saya untuk peran itu, salah satu orang yang dekat dengan saya mengatakan: "Mulut elo yang bawel dan gak sekolahan itu langsung hadir di kepala gue pas lagi baca jalan ceritanya. Udah dehh... elo yang paling passss banget sama peran ini."

Demikianlah saudara-saudari sebangsa dan setanah air. Mereka tak perlu bersusah payah mencari pemerannya karena mereka bisa melihat dari dekat bagaimana saya mengelola tabiat dalam melakoni kehidupan ini. "Gue yakin elo bisa memerankan dengan sepenuh jiwa karena itu emang elo banget," komentar teman yang dekat itu.

Pemeran utama terbaik

Setiap kali saya menyaksikan acara penghargaan insan film di layar televisi, saya membayangkan kalau saya yang memenangkan kategori pemeran utama. Penghargaan itu pasti bukan hanya untuk bakat yang saya miliki, tetapi secara tidak langsung juga sebuah penghargaan terhadap tabiat saya yang sesungguhnya.

Dan setiap kali saya melihat mereka memberikan kata sambutan di saat mereka memenangkan salah satu kategori, saya membayangkan menjadi pasangan hidup mereka. Apa rasanya memiliki pasangan pemain watak yang piawai, yang kawakan, selain secara fisik mereka begitu memesona?

Apakah hubungan asmara kami itu bisa berlangsung wajar atau kadang disisipkan sebuah adegan sandiwara dari sebuah cerita yang pernah mereka lakoni di layar lebar? Apakah pernikahan kami itu buatnya adalah sebuah panggung sandiwara?

Sehingga karena saking jagonya berakting, saya akan bingung apakah kalau pasangan saya itu bahagia atau kesal, ia benar-benar bahagia dan benar-benar kesal. Dan yang terutama, apakah cinta yang diberikannya kepada saya itu benar tulus dari hati, dan bukan dari sebuah skrip yang sedang ia hafalkan di luar kepala dan di luar hatinya?

Itu mengapa salah satu kegemaran saya adalah mengamati perilaku manusia. Karena saking senangnya mengamati, bukan hanya melihat saja, acapkali saya bisa "membaca" siapa mereka sesungguhnya.

Biasanya, saya memperhatikan bola matanya, kemudian merasakan gelombang yang dipancarkan dari dua bola mata itu. Perilaku bisa saja mengecoh, tetapi pancaran sinar bola mata itu sungguh pasti, seperti ketika satu ditambah satu, itu pasti menjadi dua.

Maka benarlah kalau mata itu dikatakan jendela hati. Sebuah jendela yang sama seperti cermin menampilkan hal yang terdalam, yang tak bisa disembunyikan seseorang. Maka mungkin saya tak perlu khawatir kalau seandainya di suatu hari saya berpasangan dengan seorang pemain watak. Saya akan melihat ke jendela hatinya yang terbuka dan dapat dibaca, dan bukan pada perilakunya yang terbuka tetapi susah untuk dimengerti.

Nah, sekarang saya bertanya pada Anda semua. Kira-kira peran dan tabiat macam apa yang paling pas untuk Anda mainkan agar hasil tayangan film di layar kehidupan Anda ini bisa begitu memukau?

Sehingga di suatu hari kelak, ketika Anda hadir pada sebuah penganugerahan tertinggi di akhir sebuah perjalanan hidup, Anda akan membawa pulang sebuah penghargaan bernama pemeran utama terbaik. Dan di saat Anda menerimanya, dunia dan surga bisa berkata dengan sorak sorai: "Ia memang pantas menerimanya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar