Bela dan Beli Indonesia
Hasto Wardoyo ; Bupati Kulonprogo
|
JAWA POS, 12 Juni 2015
TAHUN 2015 bagi bangsa
Indonesia merupakan tahun ancaman sekaligus ujian yang sangat serius terhadap
kemandirian dalam bidang ekonomi karena globalisasi dan perdagangan bebas,
yang mau tidak mau, siap tidak siap, harus diterima. Banjir impor barang
kebutuhan rumah tangga, yang lebih banyak, lebih murah, dan menarik, tidak
bisa dihindari. Bangsa kita menjadi konsumen terbesar produk pertanian,
industri elektronik (handphone),
dan barang teknologi (mobil, motor) dari negara lain. Perbankan dalam negeri
juga bisa dikuasai asing karena suku bunganya lebih tinggi daripada negara
maju. Di sisi lain, dengan hadirnya barang-barang impor murah, masyarakat
akan tambah konsumtif, kurang menabung, dan kurang produktif sehingga dalam
keadaan krisis kurang memiliki daya tahan.
Kenyataan itu pernah
diucapkan Bung Karno di harian Suluh Indonesia pada 1930, tentang ciri-ciri
ekonomi negeri jajahan. Pertama, negeri dijadikan sumber bahan baku murah
oleh negara penjajah. Kedua, dijadikan pasar untuk menjual produk
industrinya. Dan ketiga, dijadikan tempat memutar uang negeri penjajah demi
mendapatkan rente.
Kesiapan teknologi dan
infrastruktur belum mampu bersaing di era globalisasi dan perdagangan bebas,
waktu sudah habis ibarat ”kapal sudah mulai terbakar, penumpang harus
loncat”. Tidak banyak pilihan cara untuk mengatasi ketertinggalan itu, salah
satu pilihannya adalah ”melawan teknologi dengan ideologi”, yang bisa
dijadikan sebuah gerakan ideologis-nasionalis sebagai wujud rasa cinta dan
kesetiaan kepada bangsa dan negara. Praktik ideologi tersebut bisa dengan
cara mencintai produk sendiri, membela negara dengan cara membeli produknya.
Gerakan setia, mencintai, dan rela berkorban membela negara ini bisa disebut
gerakan ”Bela dan Beli Indonesia”.
Gerakan Bela dan Beli
Indonesia bisa melahirkan paradigma baru makna patriotisme dan nasionalisme
di era globalisasi dan perdagangan bebas. Harus ada kebangkitan baru,
semangat persatuan membela negara, agar bangsa kita tetap bermartabat dan
mandiri. Bung Hatta pernah mengutip pandangan Prof Kranenburg dalam Het
Nederlandsch Staatsrecht, ”Bangsa
merupakan keinsafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu
keinsafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan.
Keinsafan tujuan bertambah besar karena persamaan nasib, malang yang sama
diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa bersama dan ingat
kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam dalam hati dan otak”. Tiap
bangsa harus berusaha mengembangkan negaranya dengan kekuatan sendiri.
Patriotisme-nasionalisme baru harus lahir dan membangkitkan semangat
persatuan yang tidak lagi berbasis kultural atau politik, akan tetapi lebih
pada rasa senasib atas ketertindasan di bidang ekonomi.
Penulis selaku kepala
daerah Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta, telah memulai gerakan di tingkat
lokal dengan ”Bela-Beli Kulonprogo”. Banyak pangsa pasar yang mudah dikuasai
sendiri demi kemandirian ekonomi. Contohnya, air minum dalam kemasan.
Kulonprogo melalui perusahaan daerah air minum bisa membuat sendiri dengan
merek Air-Ku. Beras untuk warga miskin (raskin) dari hasil panen sendiri dan
dikenal dengan beras daerah (rasda). Bekerja sama dengan Bulog, petani lokal yang
menyediakan. Hak kekayaan intelektual untuk batik seragam sekolah dan pegawai
ditetapkan sehingga bisa dikuasai lokal Kulonprogo. Masih banyak produk lain
yang bisa disediakan sendiri untuk menguasai pasar dalam rangka menyambut era
globalisasi dan perdagangan bebas. Cinta dan setia kepada bangsa memang
membutuhkan pengorbanan, cinta juga sering buta dan tidak masuk logika.
Memilih membeli produk sendiri dengan mutu yang lebih rendah, sedangkan harga
tidak lebih murah dibandingkan produk asing adalah bentuk pengorbanan dan
bukti cinta sejati kepada bangsa dan negara.
Para pahlawan kita
dahulu berani mengatakan ”merdeka atau mati”, kita sekarang hanya dituntut
mengatakan ”Madep mantep mangan pangane
dewe, ngombe banyune dewe, lan nganggo klambine dewe” (setia mati makan dan minum milik sendiri
dan pakai bajunya sendiri). ”Lawan
teknologi dengan ideologi!” Kalau kita ingin membela negara, mulailah
dari menguasai pasar sendiri, mencintai dan membeli produk negeri sendiri.
Salam ”Bela dan Beli Indonesia”! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar