Rabu, 21 Agustus 2013

Middle Income Trap

Middle Income Trap
Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 21 Agustus 2013


Seminggu setelah ulasan tentang warna diplomasi dalam konteks refleksi kemerdekaan, banyak yang terjadi dengan cepat di Indonesia. 

Diawali dengan pidato kenegaraan presiden, terjadi pembahasan seputar melemahnya nilai tukar rupiah dan jebloknya pasar saham, lalu muncullah wacana pembahasan tentang middle income trap (jebakan pendapatan menengah). Dalam nota RAPBN tahun 2014, yang adalah Rancangan Anggaran Belanja Negara terakhir pada masa pemerintahan Presiden SBY, disebutkan bahwa postur RAPBN 2014 lebih siap dan antisipatif yakni dengan belanja modal dan infrastruktur yang terus meningkat, agar Indonesia terhindar dari middle income trap. 

Benarkah RAPBN ini memadai untuk tujuan tersebut? Middle income trap adalah istilah yang menggambarkan situasi di mana negara-negara yang berpenghasilan relatif tinggi dan dipandang menjanjikan karena catatan pertumbuhan ekonominya yang baik (sehingga disebut berpenghasilan menengah), ternyata gagal bertransisi menuju penghasilan yang lebih tinggi lagi. Adapun yang disebut negara berpenghasilan tinggi adalah jika pendapatan per kapita warganya menembus angka USD20.000. Penyebab dari situasi ini beragam, tetapi intinya situasi ini akan terjadi bila negara salah strategi dan penduduknya terlena. Sederhananya demikian. 

Jika taraf hidup penduduk di suatu negara membaik, fakta itu akan tecermin dalam pendapatan per kapita dan daya beli. Karena pendapatan per kapita meningkat, daya beli meningkat pula, sehingga kecenderungan konsumsi akan tinggi. Dalam kondisi ideal, peningkatan daya beli tadi akan mendorong penguatan industri sehingga ekspor produk-produk dalam negeri meningkat dan devisa bertambah, lalu lapangan kerja tercipta karena perekonomian yang dinamis tadi. 

Tapi dari kasus di banyak negara, pendapatan per kapita yang meningkat bisa juga berujung pada kesenjangan ekonomi yang tinggi dalam masyarakat dan kemiskinan yang merebak di mana-mana. Selain itu, dengan meningkatnya taraf hidup, muncul tuntutan kenaikan upah sehingga daya saing produk melemah, padahal belum ada lapangan pekerjaan untuk sektor yang lebih layak diberi upah tinggi (standar gaji pekerja terampil). Brasil, India, Afrika Selatan dibahas di mana-mana sebagai contoh negara yang sulit keluar dari jebakan ini. Untuk kasus Indonesia, kita patut cermat pada titik kerentanan saat ini. 

Yang punya uang cenderung berlomba-lomba berbelanja. Daya konsumtif masyarakat begitu tinggi, padahal kemampuan produksi kita rendah sehingga kita beli produk-produk asing. Tak heran negara-negara lain berebut dan mendesak terus untuk masuk pasar domestik. ”Syukurlah” ada kenaikan inflasi, sehingga mudah-mudahan berkembang pemikiran bahwa berbelanja saja tidak akan memperbaiki taraf hidup bila tidak ada jaminan apakah pekerjaan dan level gaji yang sekarang akan bertahan atau meningkat di waktu-waktu mendatang. 

Repotnya, nafsu menjamin kesejahteraan di masa-masa mendatang tidak punya saluran yang memadai dalam tata kelola pemerintahan, selain lewat jalur-jalur kongkalikong yang rentan perburuan rente. Kita lihat masih banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan kepala daerah, padahal dana proyek ditujukan untuk pembangunan. Tak heran kondisi infrastruktur di Indonesia sangat memprihatinkan. Artinya tidak ada jaminan bahwa dana infrastruktur yang ditingkatkan akan membuahkan hasil konkret jika fenomena perburuan rentenya tidak dilibas. 

Bayangkan, karena sibuk berburu rente, pejabat kita sibuk membandingkan daya saing kita dengan Vietnam dan Myanmar, padahal jelas kita harusnya sudah lebih baik dari segi kualitas produksi. Di sini kita perlu mencermati strategi belanja pemerintah, karena para pekerja yang berketerampilan rendah hampir selalu tertekan oleh persaingan pasar terbuka. Jika pemerintah memilih untuk lebih banyak belanja untuk kebutuhan pegawai negeri, departemen, dan orang-orang yang direkrut oleh proyek pemerintah, maka belanja tambahan dalam RAPBN 2014 tidak akan banyak bermanfaat untuk mendongkrak daya saing swasta. 

Selain itu, kita juga tahu bahwa masih ada masalah klasik penyerapan anggaran pemerintah yang cuma di kisaran 48% sampai akhir Juli, sehingga apalah artinya dana ditambah jika waktu untuk berkreasi dengan dana yang ada sangat terbatas. Kita juga tahu bahwa dana DAK hanya habis untuk membayar gaji pegawai pemerintah daerah saja. Jadi, di mana ruang fiskal bagi pembangunan di daerah? Secara politis, kita juga harus sensitif pada tahun politik 2014. 

Dalam middle income trap, akan ditemukan fenomena adanya orang-orang yang menangguk untung lebih besar dari pertumbuhan ekonomi dengan tingkat usaha yang minim. Mereka yang minim bekerja tetapi besar penghasilan ini disebut sebagai pemungut/pemburu rente. Para pemungut/pemburu rente ini tak segan bersekongkol dengan birokrat dan politisi untuk memenangkan kompetisi bisnis. Walaupun tangkapan KPK bertambah dan berkualitas (dari segi kedudukan pejabat yang ditangkap), kita tahu bahwa praktik curang tersebut belum surut. 

Jika praktik pungut dan buru rente ini berlanjut, persaingan pun bukan lagi murni atas nama daya saing bisnis, melainkan persaingan patronase politik. Negara yang tiap lini bisnisnya tersangkut persaingan patronase ini akan sulit mengembangkan daya saing di tingkat global. Ukuran-ukuran kebijakan publik di negara macam itu otomatis akan bias pada kepentingan pejabat tertentu, dan bukannya mencerminkan daya saing yang sesungguhnya dari industri di negara itu. 

Jadi, meskipun pemerintahan SBY dapat mengidentifikasi ancaman middle income trap, permasalahan utama terkait perburuan rente dan kurangnya investasi yang mengarah pada peningkatan produksi dan produktivitas penduduk justru belum tersentuh secara khusus. Bayangkan bahwa di sejumlah pedesaan, dana dari pusat terus mengucur, bahkan dengan dana-dana pinjaman proyek pembangunan dari lembaga donor, tetapi karena produktivitas masyarakatnya tidak diperbaiki, maka dari tahun ke tahun desa-desa tersebut tetap miskin dan menadahkan tangan saja. 

Pengusaha sektor mikro dan kecil yang jumlahnya mayoritas dibandingkan pengusaha skala besar tetap harus bergulat dengan dampak kenaikan BBM, suku bunga naik, dan inflasi. Tak ada efek yang signifikan bagi perekonomian makro bila pemerintah sebatas membuatkan ruang pameran pengusaha sektor mikro dan kecil seperti dilakukan oleh Kadin atau kantor-kantor perwakilan di luar negeri, karena riil penguatan bisnis justru belum tersentuh. 

Bangsa Indonesia sedang berada di saat-saat yang sangat menentukan; jika kita membiarkan ketidakberesan tata kelola ekonomi, segala pertanda kemakmuran yang menjulang di sudut-sudut Tanah Air akan bersifat sesaat saja. Jika ingin maju, sudah saatnya kita menerima kenyataan bahwa kita tidak mungkin bisa bebas dari middle income trap tanpa ada inovasi dan persaingan berbasis kompetensi (dan bukannya atas basis rente). Kita harus yakin bahwa pesaing kita adalah negara sekaliber Korea Selatan, Jepang, dan AS. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar