Kamis, 22 Agustus 2013

Hambatan Perundingan Israel-Palestina

Hambatan  Perundingan Israel-Palestina
Aco Manafe ;  Penulis meliput Perang Israel-Palestina dan Pemilu I Palestina Juli 1997
KORAN JAKARTA, 21 Agustus 2013



Setelah beberapa tahun terhenti, pada 14 Agustus 2013, perundingan damai Israel-Palestina dimulai kembali di Kota Jericho, kota pegunungan dekat Yerusalem. Hambatan dan tantangannya adalah, pertama, Israel menolak konsep ajuan PBB tentang dua negara Israel dan Palestina. Kedua, Israel menolak syarat mundur dari wilayah Palestina yang direbut pada perang 1967. Ketiga, Israel menolak membebaskan sejumlah tahanan Palestina dari penjara Israel serta menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di seputar kota suci Yerusalem, Jericho, dan wilayah Tepi Barat lainnya.

Mengenai ke-26 tahanan Palestina awalnya disertai imbalan Palestina membebaskan Kopral Gillad Shalit, namun ini hanya dalih Israel karena Tel Aviv tetap konsisten meneruskan pembangunan permukiman Yahudi. Permukiman Yahudi tersebut untuk menampung imigran Yahudi asal Rusia, AS, serta beberapa negara Eropa dan Timur Tengah. Penduduk Israel kini mencapai hampir 8 juta. Israel juga pernah menolak sejumlah imigran Yahudi hitam dari Eriteria dan Etiopia yang mengklaim diri pengikut Ratu Bersheba, istri Raja Sulaiman, di era Perjanjian Lama Alkitab.

Tuntutan imigran Yahudi Hitam asal Afrika ini "ditolak secara halus" melalui berbagai aturan pembatasan imigrasi, bahkan tekanan fisik oleh faksi-faksi ekstrem Israel. Banyak kalangan yang kurang memahami kondisi politik Israel yang dimotori kelompok garis keras seperti Partai Likud, Partai Shas-ultra ortodoks, Yisrael Beitenu, Aryeh Deri, serta kelompok radikal pimpinan mantan reporter televisi, Yair Lapid. 

Perjanjian Oslo I dan II (1994, 1995), Perjanjian Taba (1995), dan berbagai kesepakatan ikutannya selalu mencantumkan tiga pasal utama ajuan Palestina kepada Israel, yakni pembebasan 11.000 tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel dan pemulangan 3,5 juta pengungsi Palestina dari berbagai negara Arab. Lalu penetapan batas-batas Israel-Palestina, khususnya Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina Merdeka, serta pengembalian wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Namun, tiga hal utama ajuan Palestina ini sulit disetujui Israel karena akan menjadi kunci memperlemah posisi Israel. Bila Israel mengeluarkan 11 ribu tahanan Palestina, berarti akan lebih banyak kalangan militan yang terus mengganggu sekaligus memperlemah pertahanan dan keamanan Israel.

Sama halnya dengan pemulangan 3,5 juta pengungsi Palestina, maka penduduk negara Palestina merdeka akan berjumlah lebih-kurang 7 juta jiwa, sementara jumlah bangsa Yahudi hanya 3,5 juta orang. Sementara itu, penetapan Yerusalem Timur terkait dengan sejarah masa lampau dan teritori Israel karena kota tua Yerusalem berisi Tembok Ratapan serta bekas Kaabah yang didirikan Raja Salomo. 

Namun, di sini juga berdiri Masjid Al Aqsa dan Masjid Umar, Temple Mount, yang menjadi lambang supremasi bangsa Arab dan umat Islam, termasuk kompleks Via Dolorosa dan Bukit Zion lambang sejarah dan ziarah umat Kristen yang bersebelahan dengan Tembok Ratapan dan Masjid Al Aqsa.

Pengembalian wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza seperti sebelum Perang Tahun 1967 jelas mencaplok sebagian besar wilayah Israel. Israel akan menolak menyerahkan Dataran Tinggi Golan (kepada Suriah), Tasik Tiberias, Yerusalem, Hebron, Kapernaum, dan lainnya. 

Bila pengembalian semua wilayah harus dipenuhi Israel untuk mencapai perdamaian sejati dengan Palestina, berarti Israel melepaskan wilayah yang cukup luas yang dicaploknya dalam Perang 1948, Perang 1967, dan Perang 1971. Keinginan Palestina mengambil kembali wilayah yang dicaplok pada Perang 1967 sejalan dengan gagasan Palestina Merdeka yang berposisi pada Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Yang menarik di tengah kemelut politik Israel akibat tuduhan korupsi terhadap PM Ehud Olmert, mantan PM dan kini Menteri Pertahanan Ehud Barak justru "mengisyaratkan" bahwa dia pro kepada Yerusalem Timur sebagai calon ibu kota Palestinas Merdeka. Jika sikap Ehud Barak benar, berarti ada perubahan sikap yang prinsip pada tokoh utama Israel yang juga pimpinan Partai Buruh. Ehud Barak pernah menjabat sebagai PM dan setelah beroposisi di parlemen, serta menjabat sebagai menhan dalam Kabinet PM Tzipi Livni maupun dalam Kabinet Benjamin Netanyahu (setelah Pemilu Januari 2009). 

Sebenarnya mengenai Yerusalem seperti yang tercantum dalam Perjanjian Oslo, Taba, dan lainnya, dirundingkan terakhir karena merupakan hal paling peka. Dan, bahkan ada rumusan yang lebih moderat, yakni untuk sementara Yerusalem Timur diberikan wewenang pengurusannya kepada organisasi internasional PBB. Yerusalem diharapkan para perunding perdamaian serta otoritas Palestina menjadi kota netral internasional sehingga dapat dikunjungi oleh umat tiga agama besar, Kristen, Islam, dan Yahudi, sesuai dengan aset-aset historis dan keagamaan yang dimiliknya.

Namun, faktanya, Israel yang telah membangun Yerusalem Barat sebagai metropolis yang mirip Manhattan-AS atau jantung Paris yang mewah dan gemerlapan, otomatis berkukuh mempertahankan kontrolnya atas Yerusalem Timur. 

Menara Daud yang anggun dan kota tua Yerusalem Timur yang dibangun oleh Raja Daud dan Raja Salomo juga takkan dilepaskan Israel. Menurut catatan Komisi Anti-Penghancuran Permukiman Palestina atau Israel Commmittee Against House Demolition (ICAHD) yang dibentuk oleh para aktivis HAM Israel sejak 1948, sudah 18 ribu rumah warga Arab-Palestina di seputar Yerusalem Timur yang dihancurkan. Angka ini bertambah karena sejak tahun 2005 sebanyak 12 ribu rumah warga Palestina telah dibuldoser Israel. 
IMB 22.000 Dollar AS

Kantor Wali Kota Yerusalem kendali Israel mengharuskan setiap warga Palestina yang akan membangun rumah baru harus membayar 22.000 dollar AS. Jumlah ini jelas sulit dipenuhi karena posisi 67 persen warga Arab di Yerusalem berada di bawah garis kemiskinan. Salim, warga Palestina yang bekerja di Saudi dengan gaji 1.000 dollar AS per bulan mengeluh karena sudah tiga kali mengajukan permohonan dengan biaya tiap kali 5.000 dollar AS selalu dipersulit Kantor Administrasi Sipil Israel.

Israel memang memiliki berbagai cara untuk mempertahankan Yerusalem sebagai bakal ibu kota Israel. Padahal, menurut semua ketetapan Perjanjian Perdamaian, Yerusalem diandalkan sebagai ibu kota Palestina Merdeka. Atau Israel menerima jalan tengah, yakni Yerusalem dibagi dua, yakni Yerusalem Timur yang memang kuat ciri-ciri Arab-Palestinanya menjadi ibu kota Palestina Merdeka, sementara Yerusalem Barat yang sudah dipermewah Israel menjadi ibu kota Israel. Namun, Israel tampaknya menolak melepaskan Yerusalem Timur yang dianggapnya kota bersejarah bagi orang Yahudi, yang di dalamnya terdapat Menara Daud, Bukit Zion, dan Tembok Ratapan. 

PM Ariel Sharon (kini sakit berat) sejak 2002 membangun tembok pembatas setinggi 7 meter dan sepanjang 460 mil di Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk mempersulit penyusupan para pengebom bunuh diri Palestina. Dalam tujuan lain, tembok Israel itu mengukuhkan legitimasi Israel, meskipun para pemimpin Palestina menyebutnya sebagai "Tembok Berlin Baru", pemisah Jerman Barat dan Jerman Timur di masa perang dingin. Tembok Berlin diruntuhkan tahun 1989 menjelang runtuhnya komunis Uni Soviet (tahun 1991).

Kini masalah terpeka adalah ketegangan akibat ketidakadilan di Yerusalem yang selalu menimbulkan perlawanan bangsa Palestina. Tahun 2008 terdapat 13 warga Israel yang terbunuh dan 78 warga Arab Yerusalem Timur yang tertangkap ditahan dengan alasan menyiapkan serangan bom terhadap Israel.

Bagaimanapun, berbagai fenomena di atas menunjukkan bahwa secara ideologis baik Israel maupun Palestina sama-sama mempertahankan posisi Yerusalem sebagai kota suci dan calon ibu kota yang takkan dilepaskan. 

Ini berarti Yerusalem berada di posisi yang sulit dirundingkan. Faktor Yerusalem, Jalur Gaza, dan ratusan tahanan Palestina tetap menjadi faktor penghambat utama dalam perundingan damai prakarsa Menlu AS, John Kerry. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar