|
KOMPAS, 02 Juni 2013
”Uang
4 Kardus ke Politisi DPR” dan ”Tengko Akhirnya Ditahan” (”Kompas” 29 dan 30 Mei
2013). Dua berita tersebut sekadar contoh dari banyak berita mengagetkan yang
membuat kita sangat khawatir: pendidikan macam apa yang disampaikan oleh para
pejabat publik kita yang harusnya ada di garda depan memberi teladan?
Di
Hari Lahir Pancasila yang sekaligus Hari Anak-anak Sedunia, 1 Juni ini, kita
disadarkan kembali pada tantangan sangat besar untuk mampu mendidik anak dan
remaja menjadi warga negara yang peduli, bertanggung jawab, kreatif, dan
kompeten dalam persaingan global.
Pancasila
untuk semua
Di
masa Orde Baru, Pancasila kehilangan nilai-nilainya yang paling luhur karena
dipolitisasi untuk kepentingan penguasa. Sekarang kita sadar harus menghidupkan
kembali Pancasila dan menginternalisasikannya di benak dan batin semua,
terutama generasi muda.
Pancasila
memberikan jawaban terhadap banyak pertanyaan, misalnya bagaimana menumbuhkan
pengawasan pada perilaku diri daripada sibuk menyalahkan orang lain (Ketuhanan
Yang Maha Esa), kepedulian pada orang lain apalagi yang dalam kondisi rentan
(Kemanusiaan yang adil dan beradab), atau sikap saling menghormati dan kerja
sama lintas suku, lintas agama, lintas keyakinan (Persatuan Indonesia). Juga
mengenai demokrasi, kesempatan yang sama bagi semua untuk berpartisipasi aktif
dalam kehidupan publik, tata kelola pemerintahan yang baik (Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan), serta
perang melawan korupsi, pemiskinan, dan perusakan ekosistem (Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia).
Sayang
sekali, pelajaran mengenai Pancasila sering membosankan, sementara pelajaran
kewarganegaraan tidak dipahami signifikansinya sehingga dihindari oleh siswa.
Bukan hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun pendidikan kewarganegaraan
sering menjadi pelajaran yang tidak disukai siswa karena membosankan dan tidak
dipahami kepentingannya sehingga tidak menghasilkan efek signifikan seperti
yang diharapkan.
Pendekatan
belajar
Sudah
pasti cara-cara menyuruh siswa menghapal, atau pola mengajar satu arah yang
terkesan menasihati sangat tidak menarik dan malahan dapat kontraproduktif.
Pelajaran kewarganegaraan dapat menjadi amat menarik dan amat bermanfaat bila
diberikan oleh pendidik yang paham mengenai nilai-nilai dan konsep-konsep penting
yang harus diajarkan, sekaligus menerjemahkannya dengan cara sederhana dan
kreatif dalam konteks kehidupan sehari-hari anak dan remaja.
Camfed
(2008) mengungkapkan ragam metode yang dapat dikembangkan. Misalnya diskusi
kelompok kecil, bermain peran dan simulasi, atau metode mendongeng dan drama
untuk memudahkan siswa berempati dengan situasi yang dihadapi oleh orang-orang
dari latarbelakang berbeda.
Di
internet saya menemukan makalah dari seorang pendidik, Edi Subkhan (2011). Ia
memberikan usul-usul mengenai bagaimana dapat mengajarkan Pancasila sehingga
dapat terinternalisasi dalam batin siswa. Untuk ’Ketuhanan Yang Maha Esa’,
misalnya, kita dapat melibatkan anak-anak yang berasal dari latar belakang
agama dan keyakinan berbeda dalam satu proyek kemanusiaan bersama. Misalnya
dalam diskusi kasus terorisme atau pentas seni.
Tentang
’Kemanusiaan yang adil dan beradab’, kita bisa melibatkan anak-anak menggalang
bantuan untuk korban bencana atau kawan yang sakit, atau menghadirkan pekerja
kemanusiaan dalam kelas. Kesadaran tentang pentingnya ’Persatuan Indonesia’,
dapat ditumbuhkan misalnya dengan nonton film bersama tentang berbagai suku di
Indonesia, atau menjalin korespondensi di dunia maya dengan anak-anak dengan
latar agama, budaya, dan etnis yang berbeda.
’Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’ dapat
dibahas dengan memberi tugas membaca berita di koran dan mendiskusikan kasus
korupsi atau ketidakadilan. Atau mewawancara tokoh masyarakat yang dianggap
bijak dan dapat memberikan pelajaran mengenai bagaimana harusnya warganegara
dan pemimpin masyarakat bersikap. Untuk menumbuhkan nilai ’Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia’ kita dapat menugasi siswa mengamati lingkungan
sekitar agar dapat melihat realitas kesenjangan sosial dan berdiskusi bagaimana
mengatasinya.
Subkhan
(2011) memberi contoh konkret. Pelajaran dapat dimulai dengan obrolan ringan
mengenai apa yang sedang diminati siswa. Siswa lalu dikelompokkan berdasarkan
tema. Misalnya ada yang membahas film, pertandingan sepak bola, anime. Pendidik
kemudian membawa diskusi ke arah pemahaman nilai: apa tujuan bermain bola dan
bertanding di tingkat internasional? Apa tema dari film atau anime yang
ditonton? Apakah membawa nilai-nilai positif atau justru negatif? Siswa lalu
diminta membuat laporan singkat hasil diskusi, dengan butir-butir panduan agar
refleksi siswa memang mengarah pada pemahaman yang disasar oleh guru.
Finkel
dan Ernst (2005) mengajukan butir-butir pertanyaan kepada siswa untuk meneliti
efektivitas pendidikan kewarganegaraan. Beberapa pertanyaannya: apakah guru
memotivasi siswa untuk berani menyampaikan pendapat saat pelajaran mengenai
demokrasi dan kebijakan publik? Menggunakan berita-berita yang dibahas di koran
atau media lain untuk diskusi? Kadang meminta siswa masuk dalam
kelompok-kelompok kecil dan mempresentasikan hasil diskusinya? Mengajak siswa
melakukan kunjungan ke komunitas atau lapangan? Mempertemukan untuk dapat
bertanya-jawab dengan tokoh-tokoh dalam masyarakat? Mengunjungi kantor pemerintahan
atau tempat-tempat lain seperti lembaga pemasyarakatan atau kantor polisi?
Mengajak bermain peran untuk memahami, misalnya demokrasi, konsep kesetaraan
jender, atau proses sidang di pengadilan? Meminta siswa membuat karya seni
misalnya kartun atau drama?
Marilah
kita bermimpi dan mewujudkan mimpi kita mengenai generasi muda yang dapat
menjadikan dirinya sendiri pemimpin yang peduli, bertanggung jawab,
berintegritas, dan kompeten untuk membawa Indonesia menjadi jauh lebih baik
daripada sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar