Senin, 03 Juni 2013

Uang Dalam Kardus


Uang Dalam Kardus
Kristi Poerwandari ;  Kolumnis Psikologi Kompas
KOMPAS, 02 Juni 2013


”Uang 4 Kardus ke Politisi DPR” dan ”Tengko Akhirnya Ditahan” (”Kompas” 29 dan 30 Mei 2013). Dua berita tersebut sekadar contoh dari banyak berita mengagetkan yang membuat kita sangat khawatir: pendidikan macam apa yang disampaikan oleh para pejabat publik kita yang harusnya ada di garda depan memberi teladan?

Di Hari Lahir Pancasila yang sekaligus Hari Anak-anak Sedunia, 1 Juni ini, kita disadarkan kembali pada tantangan sangat besar untuk mampu mendidik anak dan remaja menjadi warga negara yang peduli, bertanggung jawab, kreatif, dan kompeten dalam persaingan global.

Pancasila untuk semua

Di masa Orde Baru, Pancasila kehilangan nilai-nilainya yang paling luhur karena dipolitisasi untuk kepentingan penguasa. Sekarang kita sadar harus menghidupkan kembali Pancasila dan menginternalisasikannya di benak dan batin semua, terutama generasi muda.

Pancasila memberikan jawaban terhadap banyak pertanyaan, misalnya bagaimana menumbuhkan pengawasan pada perilaku diri daripada sibuk menyalahkan orang lain (Ketuhanan Yang Maha Esa), kepedulian pada orang lain apalagi yang dalam kondisi rentan (Kemanusiaan yang adil dan beradab), atau sikap saling menghormati dan kerja sama lintas suku, lintas agama, lintas keyakinan (Persatuan Indonesia). Juga mengenai demokrasi, kesempatan yang sama bagi semua untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik, tata kelola pemerintahan yang baik (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan), serta perang melawan korupsi, pemiskinan, dan perusakan ekosistem (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Sayang sekali, pelajaran mengenai Pancasila sering membosankan, sementara pelajaran kewarganegaraan tidak dipahami signifikansinya sehingga dihindari oleh siswa. Bukan hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun pendidikan kewarganegaraan sering menjadi pelajaran yang tidak disukai siswa karena membosankan dan tidak dipahami kepentingannya sehingga tidak menghasilkan efek signifikan seperti yang diharapkan.

Pendekatan belajar

Sudah pasti cara-cara menyuruh siswa menghapal, atau pola mengajar satu arah yang terkesan menasihati sangat tidak menarik dan malahan dapat kontraproduktif. Pelajaran kewarganegaraan dapat menjadi amat menarik dan amat bermanfaat bila diberikan oleh pendidik yang paham mengenai nilai-nilai dan konsep-konsep penting yang harus diajarkan, sekaligus menerjemahkannya dengan cara sederhana dan kreatif dalam konteks kehidupan sehari-hari anak dan remaja.

Camfed (2008) mengungkapkan ragam metode yang dapat dikembangkan. Misalnya diskusi kelompok kecil, bermain peran dan simulasi, atau metode mendongeng dan drama untuk memudahkan siswa berempati dengan situasi yang dihadapi oleh orang-orang dari latarbelakang berbeda.

Di internet saya menemukan makalah dari seorang pendidik, Edi Subkhan (2011). Ia memberikan usul-usul mengenai bagaimana dapat mengajarkan Pancasila sehingga dapat terinternalisasi dalam batin siswa. Untuk ’Ketuhanan Yang Maha Esa’, misalnya, kita dapat melibatkan anak-anak yang berasal dari latar belakang agama dan keyakinan berbeda dalam satu proyek kemanusiaan bersama. Misalnya dalam diskusi kasus terorisme atau pentas seni.

Tentang ’Kemanusiaan yang adil dan beradab’, kita bisa melibatkan anak-anak menggalang bantuan untuk korban bencana atau kawan yang sakit, atau menghadirkan pekerja kemanusiaan dalam kelas. Kesadaran tentang pentingnya ’Persatuan Indonesia’, dapat ditumbuhkan misalnya dengan nonton film bersama tentang berbagai suku di Indonesia, atau menjalin korespondensi di dunia maya dengan anak-anak dengan latar agama, budaya, dan etnis yang berbeda.

’Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’ dapat dibahas dengan memberi tugas membaca berita di koran dan mendiskusikan kasus korupsi atau ketidakadilan. Atau mewawancara tokoh masyarakat yang dianggap bijak dan dapat memberikan pelajaran mengenai bagaimana harusnya warganegara dan pemimpin masyarakat bersikap. Untuk menumbuhkan nilai ’Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ kita dapat menugasi siswa mengamati lingkungan sekitar agar dapat melihat realitas kesenjangan sosial dan berdiskusi bagaimana mengatasinya.

Subkhan (2011) memberi contoh konkret. Pelajaran dapat dimulai dengan obrolan ringan mengenai apa yang sedang diminati siswa. Siswa lalu dikelompokkan berdasarkan tema. Misalnya ada yang membahas film, pertandingan sepak bola, anime. Pendidik kemudian membawa diskusi ke arah pemahaman nilai: apa tujuan bermain bola dan bertanding di tingkat internasional? Apa tema dari film atau anime yang ditonton? Apakah membawa nilai-nilai positif atau justru negatif? Siswa lalu diminta membuat laporan singkat hasil diskusi, dengan butir-butir panduan agar refleksi siswa memang mengarah pada pemahaman yang disasar oleh guru.

Finkel dan Ernst (2005) mengajukan butir-butir pertanyaan kepada siswa untuk meneliti efektivitas pendidikan kewarganegaraan. Beberapa pertanyaannya: apakah guru memotivasi siswa untuk berani menyampaikan pendapat saat pelajaran mengenai demokrasi dan kebijakan publik? Menggunakan berita-berita yang dibahas di koran atau media lain untuk diskusi? Kadang meminta siswa masuk dalam kelompok-kelompok kecil dan mempresentasikan hasil diskusinya? Mengajak siswa melakukan kunjungan ke komunitas atau lapangan? Mempertemukan untuk dapat bertanya-jawab dengan tokoh-tokoh dalam masyarakat? Mengunjungi kantor pemerintahan atau tempat-tempat lain seperti lembaga pemasyarakatan atau kantor polisi? Mengajak bermain peran untuk memahami, misalnya demokrasi, konsep kesetaraan jender, atau proses sidang di pengadilan? Meminta siswa membuat karya seni misalnya kartun atau drama?

Marilah kita bermimpi dan mewujudkan mimpi kita mengenai generasi muda yang dapat menjadikan dirinya sendiri pemimpin yang peduli, bertanggung jawab, berintegritas, dan kompeten untuk membawa Indonesia menjadi jauh lebih baik daripada sekarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar