Selasa, 18 Juni 2013

Terima Kasih dari Jeddah

Terima Kasih dari Jeddah
Denny Indrayana ;   Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 18 Juni 2013


Terima kasih ya Pak. Terima kasih sudah membantu”. Siti Khalifah namanya. Wajahnya jelas menggambarkan kesedihan sekaligus ketegaran. Getaran suaranya nyata mengalirkan ketabahan yang dalam. 

Dari mulut Siti, kalimat terima kasih itu tulus terus berulang. Ketika pertama kali bertemu di halaman Kantor KJRI Jeddah. Ketika itu dia sedang menjemput jenazah Marwah Binti Hasan, sang bunda yang menjadi korban tragedi. Kesedihan di wajahnya tertutup dengan keikhlasan walaupun dia tidak bisa melihat langsung proses pemakaman sang ibu ketika dimasukkan ke liang lahad. Bayangkan, aturan di Arab Saudi melarang perempuan ikut di dalam proses pemakaman. Dengan wajah tegar, Siti menunggu di luar pintu pemakaman. 

Matanya terlihat berkaca-kaca. Saya justru lebih terpukul. Membayangkan Siti sendirian di negeri orang, menghadapi kenyataan ibunda tercinta meninggal. Dalam kondisi demikian emosi dan kemarahan biasanya akan lebih dominan. Tetapi, setelah pemakaman sebelum berpisah Siti kembali menutup perjumpaan kami dengan mengucapkan, ”Terima kasih, setiap orang pada akhirnya akan mati. ” Dalam posisi sebagai korban sekalipun, Siti tampil sebagai pembawa solusi yang teduh, tidak mengedepankan emosi yang seringkali justru memperkeruh. 

Tiba Rabu dini hari (12 Juni), kami segera melakukan langkah-langkah emergency response atas insiden di KJRI Jeddah pada Minggu (9 Juni). Salah satunya menyegerakan pemakaman almarhumah Marwah. Aturan di Arab Saudi menyebabkan jenazah masih tertahan di rumah sakit. Alhamdulillah, dengan kerja cekatan Akhmad Masbukhin, staf KJRI yang pintar berbahasa Arab, negosiasi dengan aparat keamanan Saudi berhasil dilakukan. Jenazah akhirnya dapat dimakamkan bada asar, Kamis (13 Juni). 

Selasa pagi (11 Juni), Presiden menelepon dan memerintahkan untuk segera berangkat ke Jeddah. Dalam tiga hari kerja tiba pada Rabu dan kembali pada Sabtu tentu saja kami tidak dapat menyelesaikan tumpukan persoalan TKI di luar negeri. Melalui media online saya membaca sikap kritis Rieke Dyah Pitaloka yang dengan lugas mempertanyakan kapasitas saya dalam menangani persoalan di Jeddah. Mbak Rieke benar, saya harus jujur mengakui tidak mungkin persoalan yang telah mengular puluhan tahun selesai dalam tiga hari. Namun, izinkan kami lebih optimistis dan berbagi cerita ini. 

Bagi kami, sikap kritis adalah keharusan, untuk bahan evaluasi. Tetapi, tidak demikian untuk sikap selalu pesimistis, yang pasti bukan bagian dari solusi. Di samping Siti Khalifah yang mengajarkan kesabaran dan ketegaran serta Akhmad Masbukhin yang mengajarkan kecekatanan dan kecerdasan, cerita Jeddah mempertemukan kami dengan orang-orang yang bekerja cerdas dan ikhlas. Di KJRI, dengan situasi peralatan dan personel terbatas, Tatang Budie Utama Razak, Direktur Perlindungan WNI, Kementerian Luar Negeri, bekerja tak kenal lelah. 

Pada Minggu (9 Juni), Pak Tatang baru dua hari tiba di Jeddah, ketika beliau harus langsung berhadapan dengan kekuatan massa yang marah. Isu yang tidak benar sengaja diembuskan bahwa pemutihan (amnesti) akan berakhir pada Minggu itu. Seketika jumlah pemohon yang datang dua kali lipat. Di tengah panas teriknya matahari, kerumunan lebih kurang 12.000 orang segera berubah menjadi luapan emosi yang sulit dikendalikan. Pak Tatang menunjukkan jiwa kepemimpinannya. Beliau mengambil alih komando dan berusaha keras agar pintu masuk KJRI tidak berhasil didobrak dari luar karena akibatnya bisa fatal. KJRI bisa terbakar dan korban jiwa mungkin bertambah. 

Salah satu mobil KJRI dikorbankan untuk menjadi palang pintu menghadapi massa yang beringas. Hanya seorang pemimpin yang tahu mengambil keputusan pada masa kritis yang bisa berhadapan dan mengambil keputusan di tengah situasi darurat semacam itu. Hal yang tidak mengherankan karena Pak Tatang sudah lebih dari tujuh tahun bergelut dengan upaya menyelamatkan warga negara kita di luar negeri, termasuk menangani masalah amnesti yang pernah dikeluarkan pemerintah Malaysia. 

Kepemimpinan heroik yang ditunjukkan Pak Tatang itu sangat penting untuk menjaga semangat kerja para staf di KJRI Jeddah. Ketika kami datang pada Rabu, sejak subuh pelayanan sudah dilakukan dan terus berlanjut 24 jam tanpa henti. Entry data terus dilakukan dengan memberlakukan dua shift kerja dalam satu hari. Kejadian pada Minggu membawa pembelajaran dan upaya perbaikan. Termasuk semangat pengabdian untuk berkontribusi memberi solusi, tidak hanya mengedepankan emosi. Jiwa heroik Pak Tatang terlihat juga pada diri Nur Mustafa Kamal, tenaga pengamanan di KJRI Jeddah. Pada hari kejadian, Mustafa menjadi korban pemukulan beberapa orang yang dikendalikan emosi. 

Tetapi, tanpa menunjukkan rasa sakit, Mustafa sudah bekerja lagi. Ketika Rabu kami bertemu, tiga hari setelah kejadian, di wajah gempalnya masih terlihat jelas biru lebam bekas-bekas pukulan. Mustafa tetap masuk kerja meskipun sudah diminta istirahat dulu untuk menyembuhkan bekas lukanya. Bagi Mustafa, berdiam diri agaknya bukan pilihan. Dia ingin berkontribusi memecahkan persoalan, bukan mengumbar emosi meskipun dia korban situasi. 

Tidak hanya warga negara kita yang ingin berbagi solusi. Ketika saya dengan Wamenlu tengah serius merencanakan pemasangan tenda di seluruh halaman KJRI, datanglah Mohammed Swidan. Dia anggota Kadin Saudi yang datang dan dengan tulus menawarkan bantuan apa yang kita butuhkan. Maka itu, keesokan harinya empat tenda besar dengan alat pendingin terpasang memberi keteduhan bagi seluruh saudara kita yang antre membuat dokumen imigrasi. 

Dari semua cerita inspiratif yang ditunjukkan Siti Khalifah, Akhmad Masbukhin, Tatang Razak, Mohammed Swidan, yang paling tegar dan tabah tentulah saudara-saudara kita sendiri para TKI yang overstayer. Mereka menjadi ilegal karena melebihi batas izin tinggal yang diberikan. Beberapa ada yang telah belasan tahun menjadi pendatang tidak sah. Maka itu, kebijakan pemutihan menjadi semacam oase bagi mereka untuk kembali pulang ke Tanah Air ataupun kembali bekerja dengan legal. 

Hari-hari di Jeddah, hati sedih, marah, dan bahagia bercampur aduk. Antrean pada Rabu ketika kami datang panjang mengular hingga 1 km lebih. Hari itu pemohon memecahkan rekor 7.211 orang. Para TKW dengan sabar antre dan berkata yang sama dengan Siti Khalifah, ”Terima kasih Pak telah mengurusi kami. Sekarang antreannya lebih tertib dan nyaman”. Di tengah antrean yang panjang mengular, di tengah panas 40 derajat Celsius, bahkan di tengah masalah hukum yang mereka hadapi, saudara- saudara kita masih mengucapkan terima kasih. Saya sedih, marah, dan bahagia. 

Sedih melihat mereka harus mengalami ketidaknyamanan di negeri orang; marah kepada para mafia yang memanfaatkan TKW kita untuk diperas tenaganya demi keuntungan bisnis perdagangan manusia; dan bahagia karena masih menemukan jiwa-jiwa tulus yang memberi apresiasi, menyumbangkan solusi, bukan emosi, bahkan kala mereka menjadi korbannya sekalipun. 

Untuk Indonesia, mari kita selalu bersinergi, berkontribusi dengan solusi, bukan selalu mengedepankan emosi. Apalagi, hanya kepada-Nya kita kembali. Seperti kata Siti Khalifah, yang ibundanya menjadi pahlawan tragedi Jeddah, ”Terima kasih, setiap orang pasti mati”. Keep on fighting for the better Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar