|
SINAR HARAPAN, 04 Juni 2013
Selama ini, nama Prof
Notonagoro sangatlah lekat dengan Pancasila. Berbicara tentang dasar negara
kita itu beserta filsafat di baliknya tidak bisa lepas dari wibawa
intelektual beliau.
Boleh
dibilang, Notonagoro adalah salah satu “pengasuh” Pancasila yang
tekun merawat kelima sila hasil cetusan ide Soekarno hingga mencapai bentuknya
yang mapan sebagai ideologi bangsa sebagaimana kita kenal saat ini.
Karena statusnya yang
demikian mulia tersebut, pemikiran Notonagoro sering diterima tanpa reserve
(tanpa kritik) atau bahkan taken for
granted (sudah dianggap lumrah kebenarannya).
Padahal, jika kita menyimak
saksama pemikiran Notonagoro tentang Pancasila, ada satu “celah” mendasar yang
patut dicermati di sana. Inilah satu “retakan” yang bisa berakibat kurang
baik jika terus dibiarkan menyelinap di dalam kurikulum pendidikan dasar
maupun pendidikan tinggi kita terkait mata ajar/mata kuliah Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan.
Cangkokan Aristotelian
Jika kita sering mendengar
bahwa kelima sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling
terkait, itu adalah salah satu sumbangsih terbesar Prof Notonagoro. Sebagaimana
diringkaskan Slamet Sutrisno dalam Filsafat dan Ideologi Pancasila (Penerbit
Andi, 2006), Prof Notonagoro pada 1951 menyatakan bahwa sila-sila Pancasila
mewujud dalam suatu bangun hierarkis-piramidal.
Artinya, sila-sila di dalam
Pancasila saling terkait dengan sila terdahulu yang menjiwai sila berikutnya.
Tiap-tiap sila itu merupakan asas peradaban dan asas keadaban yang memungkinkan
negara Indonesia menjadi Negara Hukum yang Berkebudayaan.
Kemudian, untuk memberikan
pendasaran filosofis kuat bagi Pancasila, Prof Notonagoro mencangkokkan teori
filsuf Yunani, Aristoteles, ke dalam ideologi bangsa tersebut. Secara khusus,
Prof Notonagoro menggunakan pisau analisis teori empat causa Aristotelian untuk
membedah Pancasila.
Pertama, causa materialis
Pancasila ialah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia. Kedua, causa
formalis Pancasila ialah Soekarno, BPUPKI, dan PPKI. Ketiga, causa finalis
Pancasila adalah peruntukannya sebagai dasar filsafat kenegaraan. Keempat,
causa efisiennya adalah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang
BPUPKI dan PPKI tahun 1945.
Pada titik inilah terdapat
“retakan” dalam pemikiran Prof Notonagoro. Pasalnya, Prof Notonagoro tampaknya
mengacaukan causa formalis Aristotelian dengan prosedur formalistis-legalistis
ketika Soekarno, BPUPKI, dan PPKI secara historis merumuskan dan menetapkan
Pancasila sebagai dasar filsafat kenegaraan. Padahal, bukan pengertian itu yang
dimaksud Aristoteles.
Jika merujuk pada teori
causa sejati hasil buah-pikir Aristoteles (Kees
Bertens, Pengantar Filsafat Yunani, Gramedia, 1995), dalam bahasa mudahnya
causa materialis adalah bahan yang menyebabkan sesuatu. Causa efisien adalah penyebab langsung (efisien) yang menimbulkan
akibat. Causa finalis adalah tujuan
dari produk yang dihasilkan oleh proses sebab-akibat (kausal) yang ada. Causa
formalis adalah bentuk (forma) yang dicita-citakan sebagai hasil akhir.
Beranjak pada teori
Aristoteles di atas, Prof Notonagoro tepat ketika mengatakan causa materialis
alias bahan mentah pengolah Pancasila adalah hidup kebudayaan dan keagamaan
bangsa Indonesia.
Selain itu, Prof
Notonagoro benar ketika menyatakan causa efisien-nya adalah proses
musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945—atau
perlu ditambahkan lagi, Soekarno sebagai penggagas awal Pancasila. Bahkan,
beliau pun tepat ketika mengatakan causa finalis Pancasila adalah
sebagai dasar filsafat kenegaraan.
Akan tetapi, causa formalis
Pancasila yang lebih tepat adalah lima sila Pancasila yang kita kenal
sekarang ini.
Maksudnya, bukan Pancasila
versi awal Soekarno: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan
ketuhanan (pidato asli dalam Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,
LP3ES, 1970) yang menempatkan ketuhanan di urutan sila paling bawah. Bukan
pula Pancasila versi Piagam Jakarta di mana sila pertama berbunyi Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Kekeliruan
Oleh karena itu, causa
formalis yang dikemukakan Prof Notonagoro sebenarnya setali tiga uang atau bisa
dimasukkan sekaligus ke dalam causa efisien Pancasila-nya.
Bayangkan konsekuensi
kekeliruan yang sudah berurat dan berakar ini; yaitu para anak bangsa yang
duduk di bangku sekolah, kuliah, atau seminar-seminar dan forum-forum
ilmiah seakan diajak berpikir ahistoris untuk melupakan fakta bahwa forma
alias bentuk Pancasila seperti sekarang ini sejatinya tidaklah datang
dengan mudah begitu saja, melainkan melalui proses berjenjang pergumulan dan
pemikiran rumit serta melelahkan antara para founding fathers bangsa ini.
Pertama, jenjang
ketidaksetujuan komponen agama, terutama Islam, dengan
ditempatkannya nilai ketuhanan sebagai sila kelima. Perdebatan ini kemudian
berujung pada kompromi hasil bentukan Panitia Kecil pada 22 Juni 1945 yang
memindahkan nilai ketuhanan sebagai sila pertama dengan tambahan “tujuh kata”
(dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) yang kita kenal
sebagai Pancasila versi Piagam Jakarta.
Kedua, jenjang
ketidaksetujuan komponen nasionalis dan non-Islam dengan Piagam Jakarta di
atas. Muncul kembali perdebatan yang berujung pada kompromi umat Islam pada 18
Agustus 1945 untuk menanggalkan tujuh kata dan mengganti rumusan sila pertama
cukup dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari sini, terbetiklah satu
jargon terkenal bahwa Pancasila yang kita kenal saat ini (causa formalis Pancasila) adalah hadiah umat Islam kepada
bangsa dan kemerdekaan Indonesia demi menjaga persatuan (disertasi Ahmad
Syafii Maarif di Chicago University, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3ES, 1996). Sealur pikir dengan
ini, Endang Saifuddin Anshari dalam tesis MA di McGill University, Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 (Gema Insani Press, 1997), menyatakan Pancasila adalah
dasar negara yang dijiwai oleh spirit Piagam Jakarta, sebagaimana termaktub
dalam Dekrit 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 beserta Pancasila yang
termuat di dalam Pembukaan.
Akhirulkalam, sudah saatnya kita meluruskan “retakan kecil”
dalam pemikiran bernas Prof Notonagoro tentang Pancasila. Tentu pelurusan ini
tidak mengurangi kecemerlangan pemikiran beliau, melainkan justru
menghormatinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar