Rabu, 05 Juni 2013

“Meluruskan” Pancasila Notonagoro

“Meluruskan” Pancasila Notonagoro
Satrio Wahono ;   Magister Filsafat UI,
Pengajar Mata Kuliah Pancasila/Kewarganegaraan
SINAR HARAPAN, 04 Juni 2013


Selama ini, nama Prof Notonagoro sangatlah lekat dengan Pancasila. Berbicara tentang dasar negara kita itu beserta filsafat di baliknya tidak bisa lepas dari wibawa intelektual beliau.

Boleh dibilang, Notonagoro adalah salah satu “pengasuh” Pancasila yang tekun merawat kelima sila hasil cetusan ide Soekarno hingga mencapai bentuknya yang mapan sebagai ideologi bangsa sebagaimana kita kenal saat ini.

Karena statusnya yang demikian mulia tersebut, pemikiran Notonagoro sering diterima tanpa reserve (tanpa kritik) atau bahkan taken for granted (sudah dianggap lumrah kebenarannya).

Padahal, jika kita menyimak saksama pemikiran Notonagoro tentang Pancasila, ada satu “celah” mendasar yang patut dicermati di sana. Inilah satu “retakan” yang bisa berakibat kurang baik jika terus dibiarkan menyelinap di dalam kurikulum pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi kita terkait mata ajar/mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Cangkokan Aristotelian

Jika kita sering mendengar bahwa kelima sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling terkait, itu adalah salah satu sumbangsih terbesar Prof Notonagoro. Sebagaimana diringkaskan Slamet Sutrisno dalam Filsafat dan Ideologi Pancasila (Penerbit Andi, 2006), Prof Notonagoro pada 1951 menyatakan bahwa sila-sila Pancasila mewujud dalam suatu bangun hierarkis-piramidal.

Artinya, sila-sila di dalam Pancasila saling terkait dengan sila terdahulu yang menjiwai sila berikutnya. Tiap-tiap sila itu merupakan asas peradaban dan asas keadaban yang memungkinkan negara Indonesia menjadi Negara Hukum yang Berkebudayaan.

Kemudian, untuk memberikan pendasaran filosofis kuat bagi Pancasila, Prof Notonagoro mencangkokkan teori filsuf Yunani, Aristoteles, ke dalam ideologi bangsa tersebut. Secara khusus, Prof Notonagoro menggunakan pisau analisis teori empat causa Aristotelian untuk membedah Pancasila.

Pertama, causa materialis Pancasila ialah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia. Kedua, causa formalis Pancasila ialah Soekarno, BPUPKI, dan PPKI. Ketiga, causa finalis Pancasila adalah peruntukannya sebagai dasar filsafat kenegaraan. Keempat, causa efisiennya adalah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945.

Pada titik inilah terdapat “retakan” dalam pemikiran Prof Notonagoro. Pasalnya, Prof Notonagoro tampaknya mengacaukan causa formalis Aristotelian dengan prosedur formalistis-legalistis ketika Soekarno, BPUPKI, dan PPKI secara historis merumuskan dan menetapkan Pancasila sebagai dasar filsafat kenegaraan. Padahal, bukan pengertian itu yang dimaksud Aristoteles.

Jika merujuk pada teori causa sejati hasil buah-pikir Aristoteles (Kees Bertens, Pengantar Filsafat Yunani, Gramedia, 1995), dalam bahasa mudahnya causa materialis adalah bahan yang menyebabkan sesuatu. Causa efisien adalah penyebab langsung (efisien) yang menimbulkan akibat. Causa finalis adalah tujuan dari produk yang dihasilkan oleh proses sebab-akibat (kausal) yang ada. Causa formalis adalah bentuk (forma) yang dicita-citakan sebagai hasil akhir.

Beranjak pada teori Aristoteles di atas, Prof Notonagoro tepat ketika mengatakan causa materialis alias bahan mentah pengolah Pancasila adalah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia.
Selain itu, Prof Notonagoro benar ketika menyatakan causa efisien-nya adalah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945—atau perlu ditambahkan lagi, Soekarno sebagai penggagas awal Pancasila. Bahkan, beliau pun tepat ketika mengatakan causa finalis Pancasila adalah sebagai dasar filsafat kenegaraan.

Akan tetapi, causa formalis Pancasila yang lebih tepat adalah lima sila Pancasila yang kita kenal sekarang ini.
Maksudnya, bukan Pancasila versi awal Soekarno: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan (pidato asli dalam Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1970) yang menempatkan ketuhanan di urutan sila paling bawah. Bukan pula Pancasila versi Piagam Jakarta di mana sila pertama berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Kekeliruan

Oleh karena itu, causa formalis yang dikemukakan Prof Notonagoro sebenarnya setali tiga uang atau bisa dimasukkan sekaligus ke dalam causa efisien Pancasila-nya.

Bayangkan konsekuensi kekeliruan yang sudah berurat dan berakar ini; yaitu para anak bangsa yang duduk di bangku sekolah, kuliah, atau seminar-seminar dan forum-forum ilmiah seakan diajak berpikir ahistoris untuk melupakan fakta bahwa forma alias bentuk Pancasila seperti sekarang ini sejatinya tidaklah  datang dengan mudah begitu saja, melainkan melalui proses berjenjang pergumulan dan pemikiran rumit serta melelahkan antara para founding fathers bangsa ini.

Pertama, jenjang ketidaksetujuan komponen agama, terutama Islam, dengan ditempatkannya nilai ketuhanan sebagai sila kelima. Perdebatan ini kemudian berujung pada kompromi hasil bentukan Panitia Kecil pada 22 Juni 1945 yang memindahkan nilai ketuhanan sebagai sila pertama dengan tambahan “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) yang kita kenal sebagai Pancasila versi Piagam Jakarta.

Kedua, jenjang ketidaksetujuan komponen nasionalis dan non-Islam dengan Piagam Jakarta di atas. Muncul kembali perdebatan yang berujung pada kompromi umat Islam pada 18 Agustus 1945 untuk menanggalkan tujuh kata dan mengganti rumusan sila pertama cukup dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dari sini, terbetiklah satu jargon terkenal bahwa Pancasila yang kita kenal saat ini (causa formalis Pancasila) adalah hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia demi menjaga persatuan (disertasi Ahmad Syafii Maarif di Chicago University, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3ES, 1996). Sealur pikir dengan ini, Endang Saifuddin Anshari dalam tesis MA di McGill University, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Gema Insani Press, 1997), menyatakan Pancasila adalah dasar negara yang dijiwai oleh spirit Piagam Jakarta, sebagaimana termaktub dalam Dekrit 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 beserta Pancasila yang termuat di dalam Pembukaan.


Akhirulkalam, sudah saatnya kita meluruskan “retakan kecil” dalam pemikiran bernas Prof Notonagoro tentang Pancasila. Tentu pelurusan ini tidak mengurangi kecemerlangan pemikiran beliau, melainkan justru menghormatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar