Sabtu siang lalu, sahabat lama dari Solo mengirimkan dua baris tembang ”Sinom”, yang diambil dari Serat Jaka Lodhang karya R Ng Ranggawarsita (1802-1873). Ranggawarsita adalah seorang pujangga kondang Keraton Surakarta Hadiningrat.
Kata ”sinom” dalam bahasa Jawa berarti pucuk daun yang baru tumbuh dan bersemi. Karena itu, tembang ”Sinom” menggambarkan perjalanan hidup manusia dalam fase sedang tumbuh, tengah beranjak ke usia dewasa. Pada masa itulah, anak memasuki masa pubertas, mengalami perubahan fisik, dan pematangan fungsi-fungsi organ seksual.
Tembang ini memiliki watak kesabaran dan keramahtamahan. Karena itu, biasanya tembang ”Sinom” digunakan untuk memberikan nasihat atau wejangan-wejangan yang baik. Setiap tembang memiliki watak berbeda-beda dan digunakan untuk fungsi berbeda-beda pula.
Bagus Wahyu Setyawan (2018) menulis, Serat Joko Lodhang merupakan karya sastra yang ditulis Ranggawarsita sebagai suatu peringatan kepada masyarakat saat itu (sekitar tahun 1800) sedang dilanda krisis karakter (Griffiths, 2012: 478). Banyak masyarakat yang lupa akan jati dirinya sebagai manusia dan lupa terhadap lingkungan sekitarnya.
Manusia saat itu terbujuk dengan gemerlap dunia dan harta, serta hanya memikirkan dirinya tanpa memikirkan orang lain di sekitarnya. Para orang terpandang juga sudah lupa akan tugas dan kewajibannya.
Kalangan orang pandai dan berilmu tidak bisa menggunakan ilmunya, bahkan banyak orang yang menggunakan ilmunya untuk menipu orang lain. Situasi saat itu memang penuh kepalsuan dan jauh dari harapan masyarakat (Jupriono, 2011: 25). Beberapa peristiwa yang memilukan itu menjadikan Ranggawarsita menulis suatu pesan atau imbauan kepada masyarakat melalui Serat Joko Lodhang.
Karena itu, sahabat dari Solo mengirimkan tembang ”Sinom” (walau hanya dua baris, tetapi cukup menggambarkan situasi sekarang ini), yang ada dalam Serat Joko Lodhang. Padahal, satu bait tembang ”Sinom” itu menurut aturannya terdiri atas sembilan larik atau baris kalimat setiap baitnya.
Dua baris inilah yang dikirimkan sahabat lama itu: Wong alim-alim pulasan, njaba putih njero kuning. Terjemahan bebasnya: Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka. Di luar tampak baik, tetapi di dalamnya tidak; atau orang (yang mengaku) pandai (sebenarnya) palsu, di luarnya tampak suci (putih) di dalamnya kotor (kuning).
Sebenarnya situasi seperti itu, sekitar lima abad silam sudah dikisahkan Niccolo Machiavelli (1469-1527). Pada waktu itu, seorang biarawan dari Ordo Dominikan, Girolamo Savonarola (1452-1498) yang dikenal sebagai seorang reformis politik dan agama di Italia, menentang penguasa Kota Firenze. Ia juga mengecam para pejabat dan rohaniwan yang korup serta berlaku munafik.
Kala itu, Firenze mengalami kemerosotan moral dalam banyak bidang. Pengusaha, elite politik dan pemerintahan, serta tokoh masyarakat terlalu mengagung-agungkan urusan duniawi. Itulah sebabnya Savonarola berkeliling kota dan berkhotbah menyerukan perlunya mengembalikan Firenze pada kesucian nilai-nilai agama, dan pemerintahan bersih.
Yang berkuasa di Firenze adalah wangsa Medici. Dan, yang memegang tampuk kekuasaan adalah Lorenzeo de’Medici (1449-1492), yang disebut Lorenzo II Magnifico (Lorenzo II Agung). Lorenzo II Agung, meski dikenal sebagai diplomat ulung, politisi jagoan, pelindung para ilmuwan dan seniman serta penyair, tercatat sebagai penguasa bertangan besi.
Savonarola berhasil menyingkirkan kekuasaan wangsa Medici dan mendirikan pemerintahan teokratis. Namun, malang nasibnya, pada 1498, Savonarola dihukum mati dengan digantung dan dibakar. Machiavelli yang hidup di zaman yang sama juga di Firenze menyebut Savonarola sebagai seorang nabi tak bersenjata yang nasibnya jelek.
Menurut Machiavelli, apa artinya seorang nabi apabila menghadapi para elite politik, masyarakat, pengusaha, tokoh agama, dan juga cerdik cendekia yang lekat dengan kekerasan, politik uang, tipu daya, kemunafikan, dan korupsi. Praktik politik seperti itu yang dihadapi Savonarola.
Padahal, politik adalah tentang pilihan kolektif yang mengikat kelompok orang untuk hidup dengan cara tertentu (tentu cara-cara baik yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran). Politik juga tentang ikatan kolektif yang memberi orang pilihan nyata dalam bagaimana mereka hidup. Tanpa pilihan nyata tidak ada politik (David Runciman: 2014). Kiranya, pilihan nyata bagi politisi (juga tokoh masyarakat, kaum cerdik cendikia, dan tokoh agama) yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran adalah menciptakan kesejahteraan bersama.
Inilah jalan politik. Jalan terbaik untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Tatanan yang baik dan berkeadilan hanya bisa terwujud apabila di dalamnya ada manusia yang memiliki sifat-sifat tahu malu, tahu diri, welas asih, kalau salah mengaku salah, tidak munafik, tidak mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, tidak mau menang sendiri dan tidak memaksakan kehendak, mau menaati aturan main, serta menghargai martabat manusia.
Apabila sifat-sifat itu tidak ada, hal itu sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentang hal ini sudah diingatkan Mangkunegara IV (1811-1881) lewat Serat Wedhatama, yakni sastra tembang atau kidungan Jawa yang berisi ajaran kehidupan. Wedhatama, yang terdiri atas dua kata, wedha (ajaran) dan tama (keutamaan, kebaikan), berarti ajaran tentang kebaikan.
”Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda”. Nafsu angkara yang besar ada di dalam diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang akan berubah menjadi gangguan.
Apabila sudah demikian, prinsip yang ditulis Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya De Legibus yang dikutip filsuf dan negarawan Inggris, Francis Bacon (1561-1626), dan filsuf serta ahli politik Inggris, John Locke (1632-1704), yakni salus populi suprema lex esto, biarlah keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, mesti ditegakkan. ***