Seperti yang sudah diduga, keputusan Presiden AS Donald Trump menarik pasukan AS dari wilayah Suriah bagian utara (meski diberitakan hanya 50-100 personel dari sekitar 1.000 personel di Suriah) telah dengan cepat dimanfaatkan Turki.
Pada Selasa lalu, pasukan Turki segera membombardir wilayah sepanjang perbatasan antara Turki dan Suriah, yang selama ini dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin oleh Unit Pelindung Rakyat (YPG).
YPG bekerja sama dengan AS untuk memerangi kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan berhasil mengalahkan mereka. Keberadaan tentara AS di wilayah itulah yang membuat Turki tidak bisa berbuat banyak untuk membersihkan YPG. Turki ingin menjadikan wilayah perbatasan sepanjang 480 kilometer dan selebar 30 kilometer sebagai ”zona aman”. Zona ini memisahkan wilayah Turki dengan Suriah dan dikuasai YPG.
Di wilayah yang akan dijadikan ”zona aman” itu diperkirakan ada 600.000 orang Kurdi; yang berarti separuh dari 1,8 juta orang Kurdi yang ada di Suriah. Wilayah-wilayah yang dikuasai oleh SDF itu diperkirakan juga dihuni 1,5 juta orang Arab dan puluhan ribu orang Kristen. Di wilayah itu, SDF memiliki sekitar 60.000 pejuang.
Selama ini, walau Turki ingin sekali membersihkan wilayah sepanjang perbatasan, mereka tidak bisa berbuat banyak. Sebab, YPG bekerja sama dengan tentara AS, sekutu Turki dalam NATO. Inilah yang antara lain membuat hubungan antara Ankara dan Washington tidak baik.
Namun, setelah Trump memutuskan menarik tentaranya dari wilayah itu, situasi dan kondisi segera berubah. Itulah sebabnya YPG menyebut keputusan Trump menarik tentaranya dari wilayah perbatasan sebagai ”menusuk dari belakang”; mengkhianati Kurdi yang sudah membantu menumpas kelompok bersenjata NIIS. Akan tetapi, Trump lewat cuitannya di Twitter mengatakan, Kurdi melakukan semua itu ”karena dibayar banyak dan memperoleh perlengkapan militer”.
Turki-Kurdi
Apa sesungguhya yang mendorong Trump mengambil keputusan tersebut tatkala tengah menghadapi upaya pemakzulan yang dilakukan Partai Demokrat? Apakah keputusan tersebut lebih sebagai usaha untuk mencari simpati di dalam negeri, dengan tidak lagi ”mengorbankan tentara AS” di Suriah? Sebab, keputuan kontroversial Trump tersebut diambil di saat di dalam negeri sedang menghadapi ancaman pemakzulan.
Sebenarnya, keputusan tersebut sudah pernah disampaikan pada Desember tahun lalu, dengan alasan NIIS sudah dikalahkan. Ketika itu, lewat Twitter-nya, Trump mencuit ”saatnya membawa pulang mereka, setelah kemenangan-kemenangan historis mereka”. Namun, mengapa baru sekarang dilakukan?
Memang, dalam banyak hal, Trump selalu membuat kejutan. Bahkan, keterpilihannya sebagai presiden pun sebuah kejutan. Keputusannya kali ini tentu sangat mengejutkan sekutu-sekutunya, baik di Eropa maupun di Timur Tengah, termasuk di Suriah. Pasalnya, keputusan Trump tersebut berimplikasi banyak terhadap para sekutunya: ada yang diuntungkan, ada pula yang merasa dirugikan.
Yang pertama-tama diuntungkan, seperti di atas sudah disebut, adalah Turki. Sudah lama Turki keberatan dengan dukungan AS kepada SDF. Meskipun SDF sangat berjasa membebaskan Suriah timur laut dari NIIS dan setelah itu menjaga ribuan anggota NIIS di sejumlah penjara di Suriah, bagi Ankara tetaplah membahayakan.
Hal itu karena SDF adalah kelompok pejuang Kurdi yang oleh Ankara dianggap sebagai bagian dari Partai Pekerja Kurdistan (Partiya Karkeren Kurdistan/PKK), yang selama tiga dekade mengangkat senjata melawan pemerintahan Ankara.
Sebenarnya isu Kurdi sudah muncul sejak awal Republik Turki, 1923. Orang-orang Kurdi dipandang sebagai ancaman bagi Republik Turki. Hal ini, antara lain, tergambar jelas dari sebuah undang-undang tahun 1927. UU itu memungkinkan Pemerintah Turki untuk secara paksa merelokasi yang tidak terbatas ”sejumlah orang Kurdi” dari provinsi-provinsi tenggara. UU Nomor 1910 itu memberi kekuasaan kepada negara untuk mengasimilasi secara paksa atau ”mengevakuasi” wilayah-wilayah negara dari bahasa atau ”budaya non-Turki” (Robert Hatem dan Mark Dohrmann, Middle East Quarterly, 2013).
Mustafa Kemal Atartürk pada 1920-an dan 1930-an secara serius berusaha menyelesaikan masalah kaum minoritas Kurdi ini dengan memberikan hak-hak minoritas. Orang Turki sebenarnya dengan mudah menerima orang Kurdi sebagai Turki, tetapi kesulitan menerima orang Kurdi baik sebagai orang Kurdi maupun Turki. Belakangan, isu tersebut ditransformasi oleh berbagai faktor—demografik, ekonomi, dan geopolitik (Hendri J Barkey dan Graham E Fuller: 1998) sehingga persoalannya menjadi semakin kompleks, terutama setelah terbentuknya PKK, akhir tahun 1970-an.
PKK tidak hanya mendapat dukungan orang-orang Kurdi di Turki, tetapi juga mendapat dukungan dari orang-orang Kurdi di Irak, Suriah, dan Iran serta Pemerintah Suriah yang menginginkan lemahnya Turki. Bahkan, Uni Soviet pun mendukung PKK karena PKK memiliki akar Marxist-Leninist. Konflik bersenjata pun terus terjadi sejak itu. Demikian pula aksi teror dilakukan PKK di dalam negeri Turki.
Meskipun demikian, penyelesaian secara politik pernah dilakukan PM (kemudian menjadi presiden) Turgut Özal (1983-89), juga PM Suleyman Demirel (1991-93). Ketika itu, Turgut Özal menyatakan, ”Perbatasan, bendera, dan bahasa resmi Turki tidak dapat diperdebatkan, tetapi kelompok etnis (sic) menuntut untuk mempertahankan identitas dan budaya etnis mereka sendiri tidak boleh ditolak …. Mereka memiliki sejarah, bahasa, dan cerita rakyat sendiri. Jika mereka ingin mengembangkannya, biarkan mereka melakukannya” (Hurriyet, Istanbul, 26 November 1991).
Akan tetapi, setelah zaman mereka, situasi berubah lagi. Konflik bersenjata pecah. Namun, ketika Revolusi Arab Spring melanda sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, Pemerintah Turki terpaksa berbaikan lagi dengan Kurdi dan lebih menfokuskan diri pada krisis di Suriah. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memusatkan perhatiannya pada konflik di Suriah dan bahkan berusaha mendongkel Presiden Suriah Bashar al-Assad sehingga secara efektif mengakhiri kebijakan ”tanpa masalah dengan tetangga” (Ilias I Kouskouvelis, Middle East Quarterly, Winter 2013).
Kebijakan Erdogan itu dijawab oleh Pemerintah Suriah dengan mengizinkan PKK mengisi kekosongan kekuasaan di wilayah dekat perbatasan dengan Turki, yakni Suriah bagian utara (Financial Times, London, 22 Agustus 2012). Peluang tersebut langsung dimanfaatkan Partai Persatuan dan Demokrasi, bagian dari PKK Suriah, untuk menguasai wilayah itu.
Ankara memandang hal itu sebagai ancaman. Meskipun PKK dan kelompok-kelompok Kurdi lainnya menyatakan tidak lagi menginginkan kemerdekaan Kurdistan, hanya persamaan hak di dalam negara (Michael M Gunter, Third World Quarterly, Oktober 2000).
Namun, Erdogan menanggapi hal itu dengan menyatakan bahwa keinginan Kurdi akan struktur federal adalah ”untuk menyalahgunakan demokratisasi dengan tujuan menumbangkan kesatuan nasional … pembunuhan politik yang diarahkan melawan kehendak bangsa,” (Kerim Yildiz, The Kurds in Turkey: EU Accession and Human Rights, 2005).
Reaksi Damaskus
Kini, keputusan Trump menarik personelnya dari wilayah Suriah bagian utara telah kembali menghidupkan konflik bersenjata antara Turki dan Kurdi. Ini berarti akan memperpanjang konflik keduanya, yang sementara sempat berhenti.
Karena konflik mereka di wilayah Suriah, bagaimana rekasi Damaskus? Apakah Damaskus yang mendapat dukungan Rusia dan Iran akan memanfaatkan situasi ini dan mengambil keuntungan dengan bergerak dari Selatan, ke wilayah Kurdi di utara? Apabila hal itu terjadi, akan menyulitkan Kurdi karena harus menghadapi dua front sekaligus. Ini akan sangat memberatkan Kurdi.
Akan tetapi, kemungkinan lain juga bisa terjadi. Kekuatan politik Kurdi berhasil berunding dengan Damaskus untuk membentuk sistem pemerintahan federal, seperti di Irak (Kurdi menguasai Irak bagian utara). Jika hal itu terjadi, pasukan Kurdi dan Suriah akan bersama-sama menghadapi Turki.
Inilah dampak dari keputusan Trump menarik pasukannya dari Suriah. Keputusan tersebut tidak menciptakan perdamaian dan keamanan, tetapi justru memunculkan konflik baru. ***