Hanya berselang sehari, Harian “Kompas” menampilkan sebuah paradoks lingkungan yang begitu gamblang. Jika Kamis (5/9/2019) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memaparkan catatan kiprah “heroik” Pemerintah Indonesia di kancah global dalam pasal perubahan iklim; keesokan harinya (Jumat 6/9/2019) dipaparkan kisah pilu Kampung “Bengek”, Penjaringan, Jakarta Utara, yang berdiri di atas dan dikepung sampah kota.
Paparan kota di atas gunungan sampah di ibukota negara Indonesia itu disertai dengan ilustrasi yang dramatis, yakni foto penggalan Kali Jambe di Tambun, Bekasi, Jawa Barat yang disesaki limbah plastik.
Di satu sisi Pemerintah Indonesia begitu bersemangat menjadi bagian dari solusi global untuk mengatasi perubahan iklim — lengkap dengan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen. Tetapi di sisi lain pemerintah yang sama — beserta pemerintah daerahnya — gagal menyelamatkan warga dan ekosistem perkotaan dari serbuan sampah dan limbah.  Entah apa sebutan yang tepat untuk keadaan ini? Paradoks, ironi atau malah komedi lingkungan?
Tulisan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar berada dalam pusaran narasi besar perubahan iklim global, sedangkan liputan tentang Kampung Bengek dan Kali Jambe adalah kisah-kisah kecil tentang pencemaran tempatan. Perhatian yang besar pada narasi besar nan mendunia (global) memang berisiko mengaburkan pandangan pengambil kebijakan lingkungan terhadap narasi-narasi kecil tempatan (local).
Dengan kata lain, berkutat di pusaran narasi lingkungan yang besar berpeluang menghadirkan “rabun dekat” (hyperopia) lingkungan. Dalam hal ini pemangku kekuasaan gagal melihat persoalan lingkungan tempatan — yang  secara sadar atau tidak  dianggap kecil — tetapi pada saat yang sama sangat tanggap terhadap persoalan lingkungan global.
Terjebak narasi besar
Karena masalah lingkungan menjadi semakin global, maka narasi-narasi lingkungan besar semakin hadir diikuti oleh munculnya ukuran-ukuran lingkungan global (global environmental measures/ GEMs). Dalam dua dekade terakhir ini telah dilahirkan berbagai GEMs, seperti jejak ekologis (ecological footprint), jejak karbon (carbon footprint), jejak air (water footprint) dan sebagainya.
Kelahiran GEMs didorong oleh semangat untuk menemukan alat ukur yang agregatif, seperti misalnya jejak karbon sebagai ukuran sumbangan terhadap perubahan iklim. GEMS juga dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kerusakan atau menipisnya produk atau layanan ekosistem antar berbagai wilayah atau aktivitas manusia. Para ilmuwan, pegiat dan penentu kebijakan yang terlibat dengan masalah lingkungan sangat mudah akrab dengan GEMs, terutama karena sifatnya yang mudah dipahami dan praktis.
Dengan GEMs, beban lingkungan yang timbul karena konsumsi dan berbagai kegiatan perorangan, kota atau negara dapat diperbandingkan. Dalam praktik, GEMs memang menarik karena nilai tunggalnya dapat menggambarkan fenomena yang kompleks, yaitu konsumsi dan kegiatan manusia.
Meskipun secara konseptual menarik, penekanan berlebihan pada GEMs, telah menghadirkan dilema, antara mematuhi tanggung jawab lingkungan global versus mengabaikan masalah lingkungan  lokal. Risiko penekanan berlebihan pada GEMs oleh pemangku kepentingan lingkungan tidak boleh diabaikan, terutama dari sudut pandang tantangan lingkungan lokal.
Fakta bahwa sebagian besar GEMs dikembangkan oleh para ilmuwan atau organisasi yang berada di negara maju memiliki bias intrinsik yang dapat berimplikasi hegemonik. Ironisnya, para aktor lingkungan di negara-negara berkembang sering bertindak sebagai pendukung GEMs yang kuat dan antusias.
Di Indonesia, sendiri GEMs masih tinggi, tidak hanya di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Di Indonesia, jejak kaki karbon dan jejak air sudah sangat populer.
Sementara masalah lingkungan global, seperti perubahan iklim, tampaknya telah terjadi di Indonesia, sebagian besar masalah lingkungan yang mendesak di Indonesia masih bersifat lokal. Sementara fokus pada GEMs terus meningkat, negara ini sebenarnya menghadapi tantangan lingkungan lokal yang lebih mendesak untuk diselesaikan, seperti sampah dan pencemaran. Memang sebagai berita GEMs terkesan lebih menarik.
Ambil contoh, berita yang berjudul “Indonesia penghasil gas rumah kaca nomor tiga di dunia” terlihat lebih memikat perhatian daripada berita tentang pembuangan sampah plastik ke sungai. Maka wajar jika penekanan berlebihan terhadap GEMs dapat mengalihkan perhatian kita dari kisah-kisah kecil pencemaran lingkungan tempatan.
Strategi alternatif
Sebenarnya semua persoalan lingkungan – baik yang tempatan maupun yang mendunia — termasuk bunuh diri ekologis seperti yang disebut Jared Diamond (2005) dalam bukunya Collapse – How Societies Choose to Fail or Survive. Menurutnya terdapat 12 bunuh diri ekologis, delapan di antaranya menjadi pemicu tumbangnya peradaban kuno, seperti  kota-kota suku  Maya di Amerika Tengah, Zimbabwe Raya di Afrika, Angkor Wat dan kota-kota Lembah Harappan Indus  di Asia.
Kedelapan proses tersebut mencakup pembalakan hutan dan perusakan habitat, kerusakan tanah dan lahan, tata kelola air, perburuan yang berlebihan, pengambilan ikan yang berlebihan, dampak introduksi spesies asing terhadap spesies asli, pertumbuhan populasi manusia dan peningkatan dampak lingkungan per orang. Sayangnya, manusia tidak belajar dari masa lalu.
Alih-alih mengurangi proses perusakan ekologi, peradaban modern justru menambahkan empat proses bunuh diri lain, yaitu penimbunan dan pencemaran kimia, pemborosan energi, pemaksimalan kapasitas fotosintesis dan perubahan iklim. Kenyataan bahwa delapan jenis bunuh diri ekologis lama — yang umumnya bersifat tempatan — masih tetap “bertahan” hingga saat ini adalah bukti bahwa persoalan lingkungan tersebut tidak dapat dianggap remeh.
Persoalan lingkungan adalah tantangan yang dinamis, begitu pula keberlanjutan (sustainability) sebagai muara penyelesaiannya juga bukan sasaran yang diam. Untuk mewujudkan keberlanjutan dibutuhkan perubahan, dan perubahan membutuhkan kepemimpinan.
Dalam penanganan persoalan lingkungan yang diperlukan adalah kepemimpinan yang mampu berpikir secara berbeda. Seperti diungkapkan oleh fisikawan David Bohm bahwa kemampuan untuk memahami atau berpikir secara berbeda lebih penting daripada pengetahuan yang diperoleh (dalam Newman-Storen, 2014).
Keberlanjutan sebagai suatu perubahan kreatif membutuhkan kemampuan adaptasi dan inovasi. Persoalan lingkungan yang tergolong sebagai wicked problem – yang menantang kompetensi teknikal, kemampuan tata kelola dan kapasitas kelembagaan – memerlukan kepemimpinan yang lebih kompleks, adaptif dan inovatif (Newman-Storen, 2014). Dengan kata lain, yang diperlukan adalah kepemimpinan yang kreatif yang mampu berpikir dan bertindak berbeda untuk mengatasi masalah yang kompleks.
Salah satu strategi yang mungkin dapat dipilih adalah “ngeli ning ora keli” (menghanyut tetapi tidak terhanyut). Di tengah gencarnya kampanye dan tekanan internasional untuk menjalankan kepatuhan lingkungan global, sikap tanggap dan waspada terhadap persoalan lingkungan tempatan tetap harus diutamakan.
Meskipun ikut “menghanyut” dalam dalam wacana, kebijakan dan tindakan mengelola lingkungan global, pemerintah tetap harus terjaga agar tidak “terhanyut” dan menafikan persoalan lingkungan tempatan.
(Budi Widianarko ; Guru Besar Program Doktor Ilmu Lingkungan, Unika Soegijapranata)