Joko Widodo telah dilantik secara resmi sebagai Presiden RI untuk kedua kali secara berturut-turut. Secara konstitusi, ia bersama Ma’ruf Amin akan menakhodai  perjalanan bangsa ini lima tahun ke depan. Kendati ada riak-riak di akhir masa jabatan pertama, harapan dari bangsa ini sungguh besar ia mampu membawa bangsa dan negara ini menjadi jauh lebih maju, bermartabat, dan makmur.
Dalam isu hubungan luar negeri, khususnya dengan kawasan Timur Tengah, salah satu isu penting untuk didiskusikan saat ini adalah pemantapan arah dan pola hubungan. Ini mengingat terjadinya perubahan-perubahan cepat di kawasan itu sekaligus dinamika yang terjadi di dalam negeri kita.
Bagaimana seharusnya Jokowi membangun hubungan dengan Timteng pada periode keduanya? Apakah ia harus melanjutkan sepenuhnya pola-pola hubungan dengan Timteng sebagaimana periode pertama? Ataukah ada kebaruan-kebaruan yang perlu dilakukan pada periode ini?
Melanjutkan
Hal pertama yang perlu ditegaskan adalah melanjutkan arah dan penekanan hubungan yang telah dibangun sebelumnya. Kita mengapresiasi arah dan penekanan hubungan dengan Timteng pada peningkatan kerja sama ekonomi untuk membangun kemakmuran bersama selama periode pertama Jokowi. Sejauh ini, hubungan kita dengan Timteng menekankan pada hubungan historis dan keagamaan yang penuh romantika dan emosi mendalam.
Dalam sejarah, antara Indonesia dan negara-negara   di Timteng telah terjalin kerja sama yang baik untuk saling mendukung dalam melawan penjajahan. Antara Indonesia dan Timteng juga telah terjalin hubungan keagamaan yang panjang. Ironinya, fakta indah itu tak mewujud dalam hubungan kerja sama yang produktif di bidang ekonomi.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa, AS, Jepang, dan lainnya, kerja sama ekonomi Indonesia-Timteng masih jauh ketinggalan. Karena itu, usaha untuk meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi ini layak tetap menjadi fokus perhatian pemerintahan Jokowi periode kedua.
Kerja sama ekonomi harus terus memperluas keterlibatan pelaku ekonomi, memperbanyak bidang-bidang kerja sama, mengintensifkan volume kerja sama, dan meningkatkan nilai kerja sama, termasuk di bidang investasi. Semua ini diharapkan membawa manfaat luas, khususnya bagi rakyat Indonesia.
Periode kedua ini juga penting untuk melanjutkan dan meningkatkan kerja sama penguatan keislaman moderat. Sudah maklum, dunia Islam saat ini tengah menghadapi tekanan kuat berupa arus baru ekstremisme dari umat Islam sendiri.  Dunia Islam sebenarnya memiliki kemampuan untuk meng-counter gerakan-gerakan radikal dan ekstrem itu.
Sebab, jumlah Muslim moderat di dunia Islam jauh lebih banyak dan para ekstremis itu adalah minoritas sangat kecil. Namun, soliditas dan jalinan antar-kekuatan moderat yang mayoritas di dunia Islam ini sangat lemah. Kehadiran negara untuk mendorong peningkatan dan perluasan kerja sama antarelemen Islam moderat ini mendesak dilakukan agar perlawanan terhadap radikalisme dan ekstremisme lebih efektif.
Kebaruan
Banyak hal penting lain yang perlu dilakukan pada periode ini. Salah satunya terkait keterlibatan aktif Indonesia dalam isu-isu mewujudkan perdamaian di Timteng. Di dalam negeri, Jokowi telah membangun monumen infrastruktur dan mungkin sebentar lagi ibu kota baru sebagai warisannya kelak. Dua hal itu kemungkinan akan jadi warisan megah Jokowi di masa datang.
Di samping di dalam negeri, Jokowi penting pula membangun warisan yang cemerlang dalam persoalan luar negeri. Periode kedua sangat baik untuk mengecor fondasi penting bagi warisan luar negeri ini sejak awal pemerintahan.
Selama ini, Pemerintah Indonesia terlihat konservatif dan kaku dalam persoalan perdamaian dunia, khususnya di dunia Islam dan Timteng. Selama ini, kita terlihat kurang lincah ”bermain”, khususnya menyangkut isu-isu perdamaian. Ini salah satunya akibat kuatnya sandera dari politik domestik. Pada kasus tertentu, kita perlu nyali besar, keberanian, dan kreativitas melangkah secara tidak populer untuk mengerek martabat Indonesia di dunia Internasional. Hal itu juga diperlukan untuk memaksimalkan capaian kepentingan nasional kita sekaligus melaksanakan amanat agung dari konstitusi.
Dalam isu perdamaian Israel-Palestina, misalnya, keberanian sangat diperlukan agar peran kita di dunia internasional meningkat dan efektif mencapai tujuan sesungguhnya. Tujuan itu adalah terwujudnya perdamaian dunia yang abadi dan peran aktif kita untuk mencapai itu. Kita khawatir Indonesia yang rajin berteriak bela Palestina kelak hanya akan jadi penonton dan ”tukang sorak” jika perdamaian final dan menyeluruh Israel-Palestina tercapai. Sebabnya, kita tak punya saluran bicara dengan kedua pihak.
Idealnya, kita jadi pendukung fanatik kemerdekaan Palestina dan terwujudnya solusi perdamaian dengan pola two state solution. Kita mendukung Palestina, tetapi kita bisa berbicara dengan Israel. Idealnya, kita bisa menekan keduanya untuk serius di jalan perdamaian. Namun, posisi kita saat ini berkutat pada hal pertama, pendukung fanatik Palestina, tetapi tak dalam posisi bagus menekan Israel dan mendorong proses perdamaian karena kita tak punya saluran bicara dengan Israel.
Posisi ini membuat Indonesia tercatat sebagai pendukung fanatik kemerdekaan Palestina. Namun, selama ini pula, tak ada peran kuat dan signifikan dari Indonesia untuk membantu menyelesaikan inti masalah, yakni perdamaian.
Di tengah kenekatan sejumlah negara untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel, Indonesia tidak salah jika memikirkan langkah-langkah baru yang benar-benar bisa mendorong terwujudnya perdamaian.  Bukan mempertahankan sikap kaku untuk sekadar mencari aman dari tekanan kelompok-kelompok penekan di dalam negeri. Aktif menciptakan perdamaian dunia adalah amanat agung konstitusi kita.
 Ibnu Burdah, Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Dosen UIN Sunan Kalijaga