Beragamnya budaya dan suku bangsa Indonesia, dari barat sampai ke timur, menghasilkan berbagai tata krama sapaan salam yang tak terhitung jumlahnya.
Sebut saja beberapa yang terkenal: “Horas!” dan dijawab “Horas” (Batak Toba), atau “Sampurasun” dan dijawab “Rampes” (Sunda atau Tatar Pasundan), “Sugeng” atau “Wilujeng” (Jawa), ”Tabik” (Makassar, Toraja, Bugis, Melayu) atau “Tabik Pun” (Lampung), “Hari Baek” (Flores, Halmahera), “Rahayu-rahayu-rahayu” (Kejawen), dan yang paling nasional adalah “Selamat”.
Semua sapaan itu, sekalipun berbeda arti secara harfiah, namun bermakna harapan baik dan keselamatan mendalam bagi yang disapa. Sebagai orang Indonesia, kita seharusnya bersyukur memiliki keragaman salam dalam bineka keindonesiaan, namun sekaligus juga memiliki kesatuan salam tunggal, ketika banyak bangsa lain hanya memiliki satu salam atau beragam salam.
Salam berdasarkan agama
Sayangnya, akhir-akhir ini sapaan salam milik Nusantara terkikis oleh tata  krama lain di ruang publik. Masyarakat, baik tokoh, juru-juru kampanye hingga tetangga dan warga mulai terbiasa, dan mungkin menjadi keharusan tak tertulis, dalam pertemuan umum menyapa dengan mengucapkan salam dalam bingkai agama.
Lebih jelasnya malah dalam bingkai ibadah agama yang bersifat eksklusif. Eksklusif, karena pengucapan salam bingkai agama ini lebih dipahami oleh sesama umat agama tersebut.
Semakin banyak penyapa salam mengucapkan: “Assalamu’alaikum”atau “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” dan dijawab “Wa’alaikumus Salam” atau “Wa’alaikumus Salam Warahmatullahi Wabarakatuh” (Islam), “Syalom” (Kristen, padahal beberapa kalangan Kristen justru jengah dengan salam ini), “Salam sejahtera” (Kristen), “Namo buddhaya” (Buddha, padahal ini bukan salam, tetapi ungkapan penghormatan kepada Sang Buddha), “Om swastyastu” (Hindu Bali), “Salam kebajikan” (Konghucu).
Lengkapnya atau panjangnya, kurang lebih sapaan sederet salam “indonesia” itu seperti ini: “Bismillahirrahmanirrahiim, assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat malam, syalom, salam sejahtera bagi  kita semua, om swastyastu, namo buddhaya, dan salam kebajikan!”
Penyampai salam sepanjang itu bisa jadi berniat baik. Mungkin, supaya lebih akrab dengan umat-umat berbagai agama yang hadir. Akan tetapi, agama di Indonesia tidak hanya sejumlah itu, apalagi budaya dan suku-suku bangsanya. Lagi pula, apakah salam sebaris itu telah “mengindonesia”?
Seandainya disebut “mengindonesia” pun, sederet salam tersebut tetap tidak menyapa seluruh masyarakat Indonesia, baik yang beragama apalagi yang menganut aliran kepercayaan. Yang menyedihkan, sapaan “selamat” yang sederhana dan seharusnya bisa menyatukan kebinekaan seluruh orang Indonesia, justru tidak diucapkan.
Sapaan, terutama salam, adalah hal penting dalam ranah ritual keseharian. Arnold van Gennep memasukan sapaan salam ke dalam ritusincorporation (The Rites of Passage, 32-33). Dengan mengucapkan salam, seorang tuan/nyonya rumah membuka diri atau rumahnya, membuka acara, dan membuka percakapan kepada seseorang atau orang asing yang datang ke rumahnya atau dalam sebuah pertemuan.
Orang asing atau tamu itu disambut dalam komunitas. Dengan demikian, menurut Ronald Grimes, decorum salam membuka interaksi dan mengundang seseorang asing untuk datang lagi (Beginnings in Ritual Studies, 37).
Dalam kekristenan, baik Protestan maupun Katolik, ibadah diawali dengan sapaan salam. Ibadah dalam kekristenan sejak awal, sejak sebelum menjadi ritual ibadah seperti saat ini, bersifat pertemuan. Dalam pertemuan, orang yang baru datang atau hendak berbicara mengucapkan salam.
Sapaan berlaku umum di banyak budaya bahwa asyluum dalam budaya Syammar (salah satu suku Arab) salaam dalam Islam, syalom dalam Yahudi, atau “kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah menyertai kamu“ dalam budaya Kristen-Yahudi, merupakan sapaan sehari hari.
Ketika pertemuan kekristenan menjadi ritual ibadah gereja, salam yang digunakan adalah “Vobiscum Dominum“ (Tuhan besertamu), dijawab: “Et cum spiritu tuo“ (dan beserta rohmu). Saat ini, salam dalam ibadah gereja yang diucapkan berdekatan dengan sapaan Latin itu adalah: ”Tuhan sertamu” dan dijawab “Dan sertamu juga.” Bisa juga, sapaan singkat itu diperpanjang menjadi: “Salam sejahtera, Tuhan sertamu,“ lantas dijawab: “Dan sertamu juga.“
Salam “mengindonesia“
Pada 28 Oktober 1928, 91 tahun lalu, para pemuda mengikrarkan Sumpah Pemuda dengan tekad, sebagai berikut.
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia (Aswab Nanda Pratama, editor: Bayu Galih, “Sejarah Sumpah Pemuda, Tekad Anak Bangsa Bersatu demi Kemerdekaan”).
Dengan demikian, di Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara—bukan agama—mengapa tidak memilih salam yang menunjukkan kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa?
Sapaan salam “selamat” dengan waktu, selain sederhana dan mengandung makna dalam, juga mudah dipahami baik yang mengucapkan maupun yang menjawabnya, apalagi bagi masyarakat yang majemuk.
Pada satu sisi, Grimes menekankan bahwa sekali pun decorum, semisal salam, merupakan perilaku konvensional, namun ia menyatakan kesetaraan antar lawan bicara. Pada lain sisi, Catherine Bell menyatakan bahwa sapaan salam dapat menyamakan prinsip-prinsip dasar dari seluruh sistem kontrol sosial.
Mengucapkan salam “selamat pagi”, walaupun tidak perlu mengatur “salam apa di urutan mana” dulu, tidak memiliki kekuatan dan pengaruh sebagai kontrol sosial. Oleh karena itu, ia tidak “mengindonesia” dibandingkan dengan salam menurut lima atau enam agama berpengaruh.
Timbal balik
Konon, pengucapan salam masyarakat kita disebabkan oleh latah presidennya. Setahu saya, semua presiden di Indonesia mengucapkan salam berdasarkan agama, baik salah satu agama maupun lebih. Namun, sebaliknya, presiden juga mengikuti praktik di dalam masyarakat. Siapa yang mengajarkan presiden mengucapkan syalom, jika bukan orang Kristen Karismatik.
Mungkin, sejak merdeka, ada satu-dua presiden atau menteri yang satu-dua kali dengan sengaja tidak menyapa berdasarkan agama, namun suara dan berita mereka tidak terdengar. Jika tanpa kemujaraban, maka ritus menjadi sia-sia, terutama kontrol sosial.
Ada dua hal, menurut hemat saya, yang bisa menjadi catatan.
Pertama, masih jauh Indonesia akan mendapatkan tokoh panutan yang dalam menyapa masyarakat menurut budaya Indonesia, bukan budaya agama dan bukan budaya suku-suku bangsa.
Kedua, masyarakat termasuk tokoh agama, sebaiknya tidak berpuas diri ketika salam agamanya digunakan sebagai sapaan di ruang publik untuk menggantikan salam universal.
Ketiga, masyarakat sebaiknya mulai membiasakan diri dengan sapaan “selamat“ di ruang-ruang publik sebagai salam yang “mengindonesia”.
Rasid RachmanPengamat Masalah Sosial dan Budaya