Kamis, 31 Oktober 2019

Pangkas Eselonisasi Birokrasi

Pangkas Eselonisasi Birokrasi

Oleh :  EKO PRASOJO

KOMPAS, 26 Oktober 2019


Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di MPR, 20 Oktober lalu, menyampaikan akan memangkas struktur eselon 3 (jabatan administrator), eselon 4 (jabatan pengawas), dan eselon 5 (jabatan pelaksana) di birokrasi. Pemangkasan ini bertujuan menciptakan birokrasi yang lebih ramping dalam rangka mendukung iklim investasi yang lebih baik dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Presiden Jokowi juga berjanji akan memangkas berbagai regulasi melalui omnibus law.

Bagaimana memahami dan melaksanakan visi Presiden tersebut?

Hierarkis dan birokratis

Gagasan untuk memangkas eselon 3, 4, dan 5 di birokrasi sejatinya sudah masuk dalam program percepatan Reformasi Birokrasi tahun 2012. Gagasan ini pun sudah dilaksanakan di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada masa itu dengan menghapus 145 unit struktur tersebut dan menggantinya dengan jabatan fungsional auditor.

Persoalan mendasar birokrasi Indonesia adalah struktur yang sangat hierarkis sehingga menyebabkan proses pengambilan keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan menjadi sangat lamban. Hal ini pula yang menyebabkan sulitnya mendongkrak daya saing Indonesia. Daya saing Indonesia turun dari peringkat ke-45 pada 2018 menjadi peringkat ke-50 tahun 2019.

Sangat hierarkisnya struktur birokrasi Indonesia sebenarnya merupakan akibat dari orientasi struktural yang masih dominan dalam pengelolaan pemerintahan. Hal ini merupakan ciri model Weberian yang berkembang di Eropa Barat dan dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu.

Tujuan birokrasi yang hierarkis ini adalah memastikan bahwa berbagai kebijakan pemerintah memenuhi asas kepatuhan (compliance principle) dan setiap level birokrasi bekerja secara berlapis untuk melakukan pengecekan sekaligus memberikan telaah kepada atasannya.

Dengan kondisi kompetensi dan budaya aparatur negara yang belum baik, struktur birokrasi yang hierarkis ini menyebabkan penundaan berbagai keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan.

Sebagai ilustrasi, jika ada persoalan pemerintahan dan suatu rencana yang harus diselesaikan, menteri/pimpinan lembaga akan mendisposisi surat kepada pejabat eselon 1 (JPT Madya), lalu berlanjut kepada eselon 2 (JPT Pratama), berlanjut kepada eselon 3 (Administrator), berlanjut kepada eselon 4 (Pengawas), dan di beberapa kementerian atau lembaga berlanjut sampai eselon 5 (Pelaksana).

Pada akhirnya yang akan melakukan telaah/analisis atas suatu persoalan pemerintahan adalah level staf (pelaksana). Secara berjenjang ke atas, hasil akhir analisis staf akan disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga melalui proses hierarkis tersebut.

Gagasan Presiden Jokowi untuk menghapus eselon 3, 4, dan 5 berkaitan dengan beberapa hal.

Pertama, membangun profesionalisme birokrasi. Selama ini orientasi para pejabat birokrasi Indonesia masih pada jabatan struktural. Mengapa demikian, karena setiap jabatan struktural diberikan otoritas penuh untuk mengelola anggaran, melaksanakan program dan kegiatan, sumber daya manusia, serta berbagai fasilitas jabatan yang diberikan.

Orientasi struktural ini menghilangkan keahlian pejabat untuk berinovasi dan berproduksi karena pada akhirnya berbagai persoalan dan rencana pemerintahan akan ditelaah oleh staf secara hierarkis. Sering kali keputusan pemerintahan tingkat tinggi merupakan telaah staf di tingkat pelaksana dan tanpa melalui pembahasan yang lengkap dari pejabat pimpinan.

Kedua, menciptakan akuntabilitas pemerintahan. Dalam praktiknya, struktur birokrasi yang hierarkis selain menimbulkan penundaan (delay) dalam pengambilan keputusan juga menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang.

Semakin berlapis struktur hierarki, semakin tinggi potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan budaya birokrasi Indonesia yang masih korup, setiap pejabat yang memiliki kewenangan administrasi pemerintahan secara berjenjang berpotensi untuk memanfaatkan dan menyalahgunakan wewenangnya.

Ide memangkas eselonisasi birokrasi ini bertujuan memperkuat tanggung jawab setiap pejabat atas keputusan dan tindakan administrasi yang dibuatnya, sekaligus memotong mata rantai potensi penyalahgunaan untuk menciptakan akuntabilitas publik.

Ketiga, menciptakan efisiensi dan efektivitas birokrasi. Seperti diketahui,  struktur birokrasi yang gemuk membutuhkan nutrisi anggaran yang semakin banyak.

Pemangkasan eselon birokrasi akan mengurangi berbagai anggaran yang tidak diperlukan untuk fasilitas jabatan, program dan kegiatan pembangunan yang tak relevan dengan kebutuhan bangsa dan negara, sumber daya manusia yang tidak kompeten, serta berbagai potensi perilaku menyimpang pejabat yang mengakibatkan penyalahgunaan wewenang dan menimbulkan kerugian negara. Pemangkasan birokrasi merupakan upaya menciptakan efisiensi, sekaligus memperkuat efektivitas pemerintahan.

Membangun birokrasi dinamis

Untuk bisa memperkuat daya saing global, Indonesia harus memiliki birokrasi yang dinamis, bukan birokrasi yang hierarkis. Ciri-ciri birokrasi yang dinamis antara lain memiliki fleksibilitas yang tinggi, kapabilitas yang baik, adaptasi perubahan yang cepat, serta budaya yang unggul. Fleksibilitas yang tinggi dicerminkan dengan proses bisnis yang sederhana, struktur organisasi yang ramping, dan berbasis kinerja.

Birokrasi Indonesia harus berubah dari berbasis tugas pokok fungsi ke berbasis kinerja (hasil dan dampak, atau performance based organizational structure). Setiap unit organisasi dan setiap instansi pemerintah harus dapat menunjukkan peran dan kontribusi secara langsung dalam pencapaian target indikator kinerja pemerintah. Jika tidak, unit atau organisasi pemerintah dapat dihapuskan.

Birokrasi yang kapabel harus memiliki kemampuan berpikir ke depan dalam jangka panjang, selalu membuat berbagai inovasi dan perubahan, serta membandingkan berbagai kemajuan yang dicapai negara lain atau pihak swasta. Dengan kondisi saat birokrasi sangat hierarkis dan berbasis peraturan perundang-undangan (rule based bureaucracy), para aparatur sipil negara (ASN) sulit berinovasi. Selain terikat dengan berbagai struktur yang ada, para pegawai ASN juga harus melaksanakan berbagai peraturan yang sangat kaku.

Rencana pemerintah untuk memangkas berbagai peraturan perundang-undangan dan menggantikannya dengan omnibus law sejalan dengan keinginan untuk menciptakan birokrasi yang inovatif. Dalam negara yang desentralistik, omnibus law harus diikuti dengan review secara komprehensif berbagai peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Review ini harus dilakukan secara cepat dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti perguruan tinggi di daerah. Jika tidak, omnibus law tak akan efektif karena sebagian besar proses perizinan menjadi kewenangan pemda.

Birokrasi yang dinamis juga harus memiliki budaya yang unggul, seperti antikorupsi, meritokrasi, dan berorientasi pada kinerja. Fase perubahan budaya birokrasi dalam sejarah Indonesia belum pernah dilakukan secara terstruktur dan jangka panjang. Meskipun lima tahun lalu Presiden Jokowi mencanangkan Revolusi Mental, ini belum dapat dilihat hasilnya. Hal ini menurut penulis akan menjadi hambatan besar dalam perubahan struktur birokrasi Indonesia. Tak ada kata lain, Presiden Jokowi harus meletakkan perubahan budaya birokrasi sebagai prioritas pembangunan lima tahun ke depan dan melaksanakannya secara sungguh-sungguh.

Memangkas birokrasi tidaklah cukup untuk meningkatkan daya saing global. Pemerintah harus memperkuat kualitas kebijakan publik. Problem birokrasi Indonesia adalah ketidakmampuan membuat kebijakan berbasis data, informasi, dan pengetahuan, serta berlaku jangka panjang. Apalagi dengan perubahan yang bersifat disruptif, dibutuhkan pegawai ASN yang mampu mempersiapkan kebijakan publik yang baik.

Pemangkasan eselonisasi birokrasi, dengan demikian, bukanlah agenda tunggal karena harus diikuti dengan berbagai perubahan lain. Jika perintah Presiden mengenai pemangkasan birokrasi ini akan dilakukan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan.

Pertama, dengan panduan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, setiap kementerian atau lembaga mengidentifikasi dan mengusulkan jabatan eselon 3, 4, dan 5 yang dapat dipangkas. Kriteria jabatan diprioritaskan untuk jabatan yang memiliki kedekatan dengan jabatan fungsional.

Kedua, mempersiapkan dan memperkuat jabatan fungsional dengan pola karier jelas, insentif memadai dan memotivasi pegawai ASN, serta membangun kebanggaan bekerja dalam jabatan fungsional.

Ketiga, melakukan pemetaan nasional tentang kebutuhan jabatan fungsional sehingga para pegawai tak hanya bekerja di lingkungan lamanya, tetapi bisa disebarkan ke berbagai kementerian, lembaga, dan pemda. Dengan demikian, program pemangkasan eselonisasi ini juga akan mengurangi silo mentality dan ego sektoral.

Keempat, mempersiapkan manajemen perubahan, termasuk skema pensiun dini bagi pegawai ASN yang tak lagi memiliki kompetensi dan berkeinginan memilih karier kedua di swasta. Perubahan ini memang tak mudah. Akan tetapi, jika kita tak melakukannya hari ini, niscaya besok tak akan pernah selesai.


(Eko Prasojo, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar