Berpulangnya Presiden ketiga RI BJ Habibie, 11 September 2019, membuka berbagai kenangan.
Sebagai Ketua Komisi VI DPR yang membidangi Industri, Pertambangan serta Energi, dan Penanaman Modal, atau secara pribadi, saya beberapa kali berjumpa beliau. Bersemangat, bola mata berbinar-binar, dan tangan yang ekspresif, ia bercerita tentang rencana memajukan Tanah Air tercinta. Sangat visioner. Sangat menggugah.
Mei 1998, di awal reformasi, di tengah tuntutan reformasi, Wakil Presiden BJ Habibie tetap mendampingi Presiden Soeharto, sementara 14 menteri mendadak mengundurkan diri. Pada 21 Mei 1998 Soeharto mundur dan Habibie menggantikannya. Keteguhan Habibie, khususnya saat menetapkan hasil Pemilu 1999, amat menentukan keselamatan bangsa memasuki abad ke-21.
Di tengah gejolak tuntutan masyarakat, November 1998, Sidang Istimewa MPR dilaksanakan. SI MPR menghasilkan 12 ketetapan, antara lain mencabut TAP IV/MPRS/1988 tentang Referendum dan menetapkan TAP XIV/1998 tentang Percepatan Pemilu. Ini jadi dasar hukum melaksanakan amendemen UUD 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 untuk pembentukan parpol baru dan mempercepat pemilu dari 2002 menjadi 7 Juni 1999.
Selanjutnya, 1 Februari 1999, dengan kesepakatan DPR, Presiden Habibie mengesahkan UU No 3/1999 tentang Pemilu. Menurut Pasal 8 Ayat (1), penanggung jawab pemilu adalah presiden. Pemilu diselenggarakan oleh KPU yang mandiri, terdiri dari unsur parpol peserta pemilu dan pemerintah, serta bertanggung jawab kepada presiden.
Sebagai pelaksana dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) dengan anggota dari wakil-wakil parpol peserta pemilu dan pemerintah. Tugasnya antara lain mengoordinasikan kegiatan pemilu mulai dari tingkat pusat sampai di TPS, menetapkan nama-nama calon anggota DPR, serta melaksanakan pemilu dan menghitung suara hasil pemilu.
PPI menetapkan hasil Pemilu 1999 dengan keputusan PPI No 335/15/VII/1999 tanggal 26 Juli 1999 yang ditandatangani pimpinan PPI dan semua wakil parpol anggota PPI. Namun, di KPU, 27 parpol yang kalah tidak bersedia tanda tangan dan menuding pemilu curang. Maka, hasil Pemilu 1999 gagal disahkan. Terjadi vakum kekuasaan.
Dalam situasi itu, PPI mengajukan hasil pemilu kepada presiden agar mengesahkan hasil pemilu sebagai penanggung jawab pemilu. Segera setelah meminta pertimbangan Panitia Pengawas Pemilu, Habibie menetapkan hasil Pemilu 1999 dengan Keppres No 92/1999 tanggal 4 Agustus 1999.
Indonesia terhindar dari kekosongan kekuasaan, selamat dari marabahaya, dan agenda reformasi berlanjut. Akhir September 1999, sebelum MPR baru terbentuk, pemimpin tujuh parpol pemenang pemilu dan pemimpin ABRI bersepakat mereformasi UUD 1945 secara konstitusional dengan tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, NKRI, sistem presidensial, dan ketentuan normatif dalam penjelasan dimasukkan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Juga disepakati perubahan sebagai adendum. Kesepakatan itu disepakati fraksi-fraksi di MPR dalam mengamendemen UUD 1945.
Demikianlah kemudian amendemen atas UUD 1945 berhasil dilakukan secara berkelanjutan dengan cara musyawarah mufakat dan damai. Dari ratusan keputusan yang diambil selama proses amendemen, baik untuk menyetujui maupun menolak sesuatu, hanya satu yang diputuskan dengan cara pemungutan suara, tentang penghapusan anggota DPR/MPR yang diangkat.
Indonesia bersyukur berhasil merampungkan reformasi secara damai, beralih dari otoritarian menjadi negara demokrasi dan terhindar dari bahaya balkanisasi. Banyak negara, dalam proses serupa, terpecah menjadi banyak negara atau terjerumus perang saudara.
Indonesia saat ini
Sekarang Indonesia menjadi anggota G-20 dan ekonomi terbesar ke-10 dunia (PPP-World Bank 2019). Ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh 5,2 persen, tertinggi keempat dunia setelah India, Bangladesh, dan China (World Bank, Juni 2019). Pada 2030, Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ketujuh dunia (MGI, 2012) dan terbesar keempat dunia pada 2050 (PwC, 2018). Mengikuti kriteria resolusi SU PBB 2012, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Namun, Indonesia tak luput dari berbagai tantangan. Jumlah absolut orang miskin telah sangat berkurang, tetapi kesenjangan kaya-miskin melebar (BPS 2018 dan World Bank 2018).
Hampir seluruh rakyat melek huruf dengan penggunaan medsos digital tertinggi keenam dunia. Di sisi lain, budaya baca sangat rendah, termasuk terendah dunia. Budaya serba boleh, materialistik, konsumtif, dan hedonik masuk, berbarengan dengan paham agama eskatologik dan hitam-putih yang berbicara tentang hari kiamat dan penghukuman.
Berbagai survei menemukan penetrasi ideologi radikal telah amat luas (PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). Diskursus agama Islam di masyarakat didominasi oleh ajaran negara khilafah (Martin van Bruinessen, ISEAS, 2013).
Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019 jadi contoh fakta pertarungan keras politik identitas, agama, dan asal-usul. Saat ini, fundamental negara proklamasi 17 Agustus 1945 serta dasar negara Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika menghadapi tantangan berat. Perlu antisipasi dan langkah tepat untuk mengatasi agar Indonesia sukses mencapai Indonesia emas pertengahan abad ini.
Berbagai cara pikir dan kebiasaan lama terus berlanjut. MPR terus berusaha tampil bagaikan lembaga tertinggi negara era Orde Baru. Sidang tahunan digelar dengan acara tak jelas. Berbagai ketetapan MPR era 1999-2002 telah dicabut karena tak sesuai dengan hasil amendemen UUD 1945.
Namun, berbagai UU turunannya atau yang terkait, seperti UU No 34/2003 tentang TNI, UU No 23/2014 tentang Pemda, masih berlaku. Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 telah menetapkan demokrasi dilaksanakan dalam bingkai UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Demokrasi kita demokrasi konstitusional.
Namun, kini ada inisiatif dan langkah-langkah agar MPR kembali berwenang menetapkan ketentuan yang mengikat semua lembaga negara. Artinya, semua lembaga negara, Presiden, DPR, MA, dan lain-lain, bertanggung jawab kepada MPR.
MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, UUD bukan lagi hukum tertinggi. Indonesia tak lagi negara hukum, kembali menjadi negara kekuasaan. Lembaga MPR seperti itu, tanpa didukung sistem partai tunggal, akan membawa Indonesia ke dalam kegentingan instabilitas berkepanjangan.
Untuk mencegahnya, tak ada pilihan lain kecuali kembali ke sistem partai dominan atau membentuk partai tunggal. Keberadaan lembaga negara seperti itu akan menafikan makna pilpres secara langsung oleh rakyat, pemegang kedaulatan yang sesungguhnya. Kiranya bangsa ini tetap arif, mementingkan kepentingan bangsa di atas segalanya dan melaksanakan agenda reformasi sebaik-baiknya.
Jakob TobingKetua PAH I/BP-MPR/Komisi A ST MPR 1999-2002, Amendemen UUD 1945