Dahulu kala di sebuah kota di pinggiran lautan Utara, hiduplah seorang juru suling yang luar biasa bakatnya. Binatang pun tersihir pesona sulingannya. Tidak mengherankan, ketika wabah menyelimuti negeri dengan ancaman mautnya, siapa gerangan diminta bantuan untuk mengenyahkan para tikus pembawa petaka itu? Ya, penyuling kita.
Tak lama kemudian terlihat arakan aneh menyeberangi kota: sang penyuling mengantar iringan tikus mencemplungkan diri di lautan dahsyat. Bahaya penyakit pes seketika pun sirna.
Namun, apa yang kerap diharapkan orang hebat? Pengakuan. Demikian pula penyuling kita. Dia menanti, lalu menanti lagi. Dari tak sabar dia menjadi gusar, dan dari gusar lalu ia dengki. Hingga, pada satu saat, dengan tidak sabar, dia mengambil sulingnya. Seorang diri dia menuju pusat kota, mulai menyuling dan menyuling. Bukan lagi tikus yang keluar dari got-got untuk mengikutinya, tetapi anak-anak, tersihir sulingannya. Seperti tikus, anak-anak tidak menyadari, dirinya pun terbawa ke pusaran laut yang tiada kembali.
Cerita penyuling di atas amat terkenal di Jerman, terutama di dalam versi Grimm dan Goethe. Ajarannya jelas: hindari menimbulkan dengki pada orang berbakat, dan berhati-hatilah pada pesona sulingan apa pun.
Cerita di atas berasal dari abad ke-13. Pada waktu itu, wabah maut adalah peristiwa biasa, maka terlahirlah kisah mistis terkait pengenyahan tikus. Namun, terdapat pula latar belakang yang lain, yaitu Perang Salib Anak-anak (1212). Latar belakang perang salib yang aneh ini serba kompleks. Namun, beberapa faktor penentu dapat dikedepankan: jumlah penduduk Eropa membeludak akibat revolusi pertanian, pertumbuhan kota kian pesat, semangat agama memuncak, dan pintu ziarah ke tanah suci tertutup.
Di tengah kegalauan perubahan ini muncul aneka ”juru suling” agama dengan tafsiran yang bertolak belakang satu sama lainnya. Ada yang sulingannya membawa rakyat membangun katedral. Ada yang sulingannya menganjurkan perang salib.
Perang salib anak-anak tahun 1212 itulah yang paling dursila di antara semua perang salib lainnya. Tiba-tiba, dibakar semangatnya oleh sulingan dua biarawan dengki (Stephane de Cloyes dan Nicolas), keluarlah dari Perancis dan Jerman rombongan demi rombongan anak-anak yang hendak menuju ke tanah suci harapan surganya.
Lalu apa yang dilakukan rombongan anak-anak itu dan juru-juru sulingnya: membunuh orang di sepanjang jalan, terutama orang Yahudi di ghetto-ghetto-nya. Hingga pada akhirnya, mereka pun dibunuh hingga musnah, bahkan sebelum mencapai Byzantium (kini Istanbul).
Situasi kita sekarang ini rada mirip. Seperti 800 tahun yang lalu, tatanan sosial mengalami guncangan dahsyat; semangat agama menggebu-gebu, termasuk di kalangan Islam. Maka, tidak mengherankan apabila muncul juru suling durjana yang lagu sulingannya mampu memukau anak muda. Lalu dari tanah Arab, Perancis, Jerman, bahkan Indonesia, keluarlah rombongan demi rombongan anak muda yang bersedia membunuh demi janji surga sulingan—menanti saat ditelan pasir tanah impiannya.
Mengerikan, tetapi begitulah kenyataan historis! Dalam sejarah modern pun tak kurang jumlah juru suling yang bius senandungnya terbukti membawa petaka, dengan musik yang setiap kali berbeda.
Ada yang sulingannya telah menjanjikan keadilan sosial mutlak, seperti Lenin, Stalin, Mao, dan Pol Pot. Ada lagi yang menjanjikan keunggulan total bangsa atas dunia, seperti Hitler, Tojo, dan Mussolini. Tak terhitung banyaknya jumlah korban juru suling zaman kita.
Oleh karena itu, apabila Anda mendengar lagu sulingan, jangan perhatikan musiknya semata. Perhatikan cara dimainkannya, dan siapa sejatinya sang juru suling. Waspadai apabila genderang tiba-tiba terdengar mengiringi suling.
Hati-hati apabila mendengar senandung lirih, bisa jadi pada awalnya Anda tidak terlalu suka, tetapi lalu menjadi terbiasa, hingga lama-kelamaan menghafalkannya. Berhati-hatilah, bisa jadi Anda terbius mengikuti juru suling yang membawa Anda ke pusaran laut tanpa jalan kembali.
Maka, sehebat-hebatnya juru kendang gamelan nasional, waspadailah gelagat juru suling hebatnya. ***