Hingga saat ini sudah lebih dari Rp 252 triliun dana desa digelontorkan. Namun, sebagian besar anggaran itu dibagi rata. Proporsi yang dibagi rata pada 2015-2017 adalah 90 persen. Meski porsi yang dibagi rata sudah diturunkan dua kali pada 2018 dan 2019, angkanya masih besar, 77 dan 72 persen. Mengingat telah ada desa yang mengalami peningkatan pendapatan asli desa atau PADes melebihi dana desa dan ada yang mulai beranjak mandiri, mungkinkah pengaturan pembagiannya ditinjau kembali?
Tahun ini, pengalokasian dana desa merujuk pada Peraturan Menkeu Nomor 193/PMK. 07/2018, dibagi atas tiga kondisi. Pagu alokasi dasar 72 persen dibagi secara merata kepada setiap desa, alokasi afirmasi 3 persen dibagi secara proporsional kepada desa tertinggal dan desa sangat tertinggal yang memiliki penduduk miskin tinggi, serta alokasi formula 25 persen dibagi berdasarkan jumlah penduduk (10 persen), angka penduduk miskin (50 persen), luas wilayah (15 persen), dan tingkat kesulitan geografis (25 persen).
Menurunkan alokasi dasar dana desa, setidaknya mendekati 50 persen, sangat diperlukan. Separuhnya digunakan untuk peningkatan proporsi afirmasi dan formula guna mempercepat pembangunan desa berkategori tertinggal serta berpenduduk miskin tinggi. Tahun 2018, BPS mencatat masih ada 14.461 (19,17 persen) desa tertinggal.
Setidaknya ada dua cara penyesuaian kembali pembagian dana desa. Pertama, dengan penambahan anggaran dana desa. Dengan penambahan dana desa dari Rp 70 triliun (2019) menjadi Rp 72 triliun (2020), dan nominal alokasi dasar sama, proporsinya otomatis turun. Dengan cara ini, perolehan desa tak akan banyak fluktuasi karena minimal nominal dana desa yang diterima desa sama dengan tahun sebelumnya.
Kedua, reformulasi pengalokasian dana desa dengan memperbesar proporsi alokasi afirmasi dan formula menjadi 50 persen. Tujuannya supaya desa tertinggal mampu mengimbangi kecepatan pembangunan desa berkembang dan mandiri. Dampaknya, perolehan anggaran di setiap desa akan mengalami kenaikan dan penurunan secara relatif, sejalan dengan koreksi dari sisi ketertinggalan, jumlah penduduk miskin, dan tingkat kesulitan geografis.
Namun, langkah ini bukan tanpa kendala. Naik-turunnya dana desa tentu saja akan ”mengecewakan” desa yang mengalami penurunan dan ”membahagiakan” desa yang mengalami peningkatan.
Anggaran dana desa dialirkan lebih deras ke desa yang tertinggal, sementara desa yang sudah memiliki PADes melebihi dana desa dan alokasi dana desa dapat diapresiasi dalam bentuk lain. Misalnya, pembangunan fasilitas yang hanya bisa dilakukan oleh pemkab/pemprov.
Kondisi dana desa yang sebagian besar dibagi secara merata menyiratkan ada kewaspadaan yang perlu dicermati. Desa dengan PADes kecil kemungkinan besar tak berupaya menambah pemasukan asli karena penyerapan anggaran dana desa akan lebih dioptimalkan dibandingkan dengan mencari sumber dana baru yang belum pasti. Indikasi ini terlihat pada hasil pendataan potensi desa. Jumlah desa yang memiliki PADes turun dari 43.872 desa (2014) menjadi 33.475 desa (2017).
Sementara itu, menurunkan alokasi dasar mendekati 50 persen juga rawan memicu gejolak. Pemda tingkat II perlu petunjuk teknis (juknis) yang lebih spesifik dari pusat, bukan hanya juknis yang umum yang detailnya diserahkan kepada pemda, karena pembagian dana desa tanggung renteng dari pemerintah pusat hingga daerah.
Tanggung renteng
Tanggung jawab bersama dalam pembagian dana desa dimulai dari penyediaan data dasar. Karena hingga saat ini pemda masih menunggu asupan data dari pemerintah pusat, pengalokasian dana desa sesuai dengan PP No 22/2015 butuh juknis yang spesifik untuk menghindari celah hukum dan malaadministrasi yang dikhawatirkan oleh pemda. Asupan data dari pemerintah pusat jika disandingkan dengan sumber data daerah rawan menghasilkan perbedaan akibat selisih waktu pendataan.
Kesesuaian data alokator dana desa hingga saat ini masih menjadi pertanyaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk menjembatani persoalan ini perlu dibentuk forum satu data di kabupaten yang dibantu sekretariat, yang secara fungsional dilaksanakan oleh salah satu unit kerja di bidang perencanaan pembangunan daerah di kabupaten/kota. Langkah ini wujud tanggung renteng, seiring dengan amanah dari satu data Indonesia yang tertuang dalam Perpres No 39/2019.
Dalam jangka panjang, pemerintah daerah idealnya menggunakan data dasar yang dikelola mandiri supaya gejolak akibat reformulasi dana desa mudah diatasi. Selain itu, desa yang berstatus mandiri seyogianya sudah bersiap lepas landas dengan PADes-nya sendiri dan desa yang tertinggal jauh pembangunannya dapat dipacu lebih cepat lagi.
(Udin Suchaini, Fungsional Statistisi di Direktorat Statistik Ketahanan Sosial BPS)