PELANTIKAN PRESIDEN
Jadwal Pelantikan Presiden
Sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan sengketa hasil pemilu presiden pada 27 Juni 2019 hingga tanggal pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober 2019, terdapat 115 hari merisaukan. Inilah hari-hari panjang yang membuka lebar ruang manuver politik pihak-pihak yang berkepentingan dengan kekuasaan presiden.
Perebutan kursi kabinet bisa memicu dinamika internal partai, lalu menjalar keluar. Bentuknya bisa berupa perang pernyataan sampai demonstrasi. Situasinya jadi riuh jika rebutan kursi itu melibatkan massa.
Kedua, manuver politik bisa dilakukan elite partai dan nonpartai yang calon presidennya kalah. Kemenangan lawan yang persentasenya ”hanya” satu digit terus dipersoalkan; isu kecurangan terus digembungkan meskipun MK menyatakan tidak terbukti. Calon presiden yang kalah mungkin sudah menerima kekalahan, tetapi tidak demikian dengan pendukungnya. Mereka terus memanfaatkan ruang dan waktu untuk menggagalkan pelantikan.
Ketiga, manuver politik oleh elite aparatur negara. Kenyataannya, pengaruh birokrasi dan militer tidak banyak berubah meski Orde Baru sudah tumbang 20 tahun lalu. Malah kini kepolisian keluar dari militer dan tumbuh menjadi kekuatan politik tersendiri.
Birokrasi, militer, dan kepolisian, secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, ikut menumpang bahkan mendesain manuver-manuver elite partai dan nonpartai menjelang pelantikan presiden. Tujuannya jelas, jabatan strategis demi akses ekonomi dan politik.
Dalam konstelasi politik yang demikian, bisa dipahami mengapa timbul peristiwa-peristiwa bergelombang yang melibatkan massa. Mulai dari keributan massa pasca-penetapan hasil pemilu presiden oleh KPU hingga demo-demo menentang pengesahan hasil pemilu oleh MK. Demo terus saja berlanjut dengan aksi massa antidiskriminasi warga Papua di berbagai kota di Jawa sampai kerusuhan di beberapa kota di Papua.
Dalam gerakan memprotes RUU bermasalah, elite politik juga berhasil menumpangi gerakan mahasiswa. Sebagian bermaksud mencegah pelantikan Jokowi, sebagian lagi menekan Jokowi untuk mendapatkan jabatan. Bahkan, kegagalan memadamkan kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan tidak lepas dari konteks perebutan kekuasaan ini.
Jika rentang waktu panjang antara tanggal penetapan calon presiden terpilih dan tanggal pelantikan menciptakan ruang lebar bagi elite politik untuk bermanuver, rentang waktu itu harus diperpendek dan jadwal pelantikan calon terpilih (bagian akhir tahapan pemilu) harus diatur lagi.
Revisi penjadwalan
Pasca-amendemen UUD 1945 terdapat tiga jenis pemilu: pemilu anggota legislatif (pileg), pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres), serta pemilihan kepala daerah (pilkada). Pada Pemilu 2004, pileg dilaksanakan April, pilpres putaran pertama Juli, dan pilpres putaran kedua September. Adapun jadwal pilkada berbeda-beda setiap daerah. Jadwal yang sama juga berlaku pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014.
Pada 24 Januari 2014, MK mengeluarkan Putusan MK No 14/PUU-XI/2013, menyatakan bahwa pemisahan pilpres dari pileg tidak konstitusional. MK meminta agar pileg dan pilpres diselenggarakan serentak pada Pemilu 2019. Oleh karena itu, beberapa organisasi masyarakat sipil mengusulkan agar hari pemungutan suara pada Pemilu 2019 tidak lagi pada April, tetapi diundur jadi Juni.
Pemunduran hari-H pemilu bertujuan: pertama, memperpendek masa pelaksanaan pemilu agar tidak terlalu lama mengganggu kegiatan sosial lain; kedua, menekan biaya pemilu, baik yang dikeluarkan negara (APBN), partai politik maupun para calon; dan ketiga, Juni adalah bulan paling tepat untuk menggelar pemilu karena hujan tidak turun, udara cerah, dan ombak tidak tinggi sehingga memudahkan pengiriman logistik pemilu ke seluruh penjuru Tanah Air.
Namun, usulan memundurkan jadwal pemungutan suara tersebut diabaikan pembentuk undang-undang. Ini terlihat pada pasal-pasal yang mengatur pelaksanaan tahapan pemilu sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Oleh undang-undang ini hampir semua tahapan pemilu diperpanjang: pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan hasil pemilu.
Menurut pembuat undang-undang, penyerentakan pileg dan pilpres menyebabkan volume kegiatan pemilu membesar sehingga perlu waktu untuk persiapan dan pelaksanaan. Padahal, penyerentakan pileg dan pilpres tidak berarti menduakalikan kegiatan pemilu. Misalnya, pendaftaran pemilih hanya dilaksanakan sekali, lalu dalam masa kampanye, partai, caleg, dan calon presiden bisa kampanye sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pemilu 2019 tidak saja dikenal sebagai pemilu paling rumit di dunia, tetapi juga pemilu paling lama tahapan pelaksanaannya: dari pendaftaran peserta pemilu (3 September 2017) hingga pelantikan presiden terpilih (20 Oktober 2019). Dua tahun lebih energi bangsa dihabiskan. Padahal, pelaksanaan tahapan pemilu yang dipanjang-panjangkan itu tidak menambah kualitas pemilu.
Calon presiden terpilih hasil Pemilu 2019 dilantik pada 20 Oktober 2019. Jadwal ini merupakan agenda lima tahunan, yang dimulai sejak pelantikan Abdurrahman Wahid setelah menjadi presiden terpilih dalam Sidang MPR 1999. Perubahan konstitusi lalu mengharuskan pilpres digelar setiap lima tahun sekali, menyesuaikan dengan masa jabatan presiden.
Apakah presiden terpilih hasil pemilu harus dilantik pada 20 Oktober? Konstitusi mengharuskan demikian meski masa jabatan lima tahun tidak merujuk pada hari, pekan, atau bulan. Namun, pelantikan pada 20 Oktober menimbulkan masalah serius sebab presiden terpilih tidak bisa segera mewujudkan visi misi dan program yang dijanjikan saat kampanye.
Program presiden
Jika presiden terpilih adalah petahana, maka dia melanjutkan saja program kerja tahun kelimanya. Namun, jika presiden terpilih bukan petahana, sepanjang Oktober, November, dan Desember, dia hanya menjalankan program presiden sebelumnya. Sungguh tak beruntung, presiden baru bukan petahana juga tidak ikut membahas dan menetapkan APBN tahun berikutnya karena menurut siklus anggaran negara, pembahasan dan penetapan APBN dilakukan sepanjang Agustus hingga Oktober.
Situasi inilah yang melatari ”ketegangan politik” antara Presiden SBY dan presiden terpilih Jokowi pada akhir 2014. Di satu pihak, sebagai presiden terpilih, Jokowi menginginkan program-programnya masuk APBN-P 2014 dan APBN 2015; di pihak lain, Presiden SBY yang membahas dan menetapkan APBN-P 2014 dan APBN 2015 bersama DPR masih harus melanjutkan program-program pilihan pemerintahannya.
Situasi tersebut sebetulnya tidak boleh terulang. Oleh karena itu, jalan terbaik agar presiden terpilih bisa segera mewujudkan janji-janji kampanyenya, dia harus dilantik pada awal Agustus, saat di mana menurut siklus anggaran negara, pembahasan RAPBN-P dan RAPBN dimulai.
Jadi, setelah dilantik, agenda utama presiden adalah menyampaikan pidato kenegaraan pengajuan RAPBN dan Nota Keuangan di hadapan DPR pada 16 Agustus. Dengan demikian, APBN-P dan APBN tahun berikutnya sudah sepenuhnya milik presiden.
Apakah konstitusi memungkinkan untuk memajukan jadwal pelantikan presiden terpilih dari 20 Oktober ke awal Agustus? Jika masa jabatan lima tahun dihitung berdasarkan hari, pekan, bulan, memang tidak mungkin memajukan jadwal pelantikan. Namun, jika masa jabatan lima tahun itu dihitung berdasarkan tahun, mengubah jadwal pelantikan masih mungkin. Perubahan berlaku sekali untuk selamanya.
Jika memang ada political will dari Presiden Jokowi, maka masa transisi bisa dilakukan pada 2024 nanti. Pada tahun kelima masa jabatan kedua, masa jabatan Jokowi akan dipotong dua setengah bulan agar presiden terpilih hasil Pemilu 2024 bisa dilantik awal Agustus.
Pemotongan masa jabatan dapat diformat dalam peraturan peralihan yang dituangkan dalam undang-undang pemilu yang baru nanti.
(Didik Supriyanto ; Peminat Ilmu Kepemiluan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar