Sudah lama Bu Eha melupakan buku catatan utang di warungnya. Padahal, buku itu mencatat utang-utang para mahasiswa di Bandung sejak tahun 1960-an. Namun, ia masih ingat pada zaman itu hampir semua mahasiswa cuma mencatatkan harga makanan yang mereka habiskan untuk kemudian dibayar nanti saat mendapat kiriman dari orangtua mereka.
Ringan saja, ia katakan, kalau toh utang-utangnya tidak dibayar, tidak jadi masalah toh warungnya sampai sekarang masih tetap buka. Meski begitu, Bu Eha masih ingat juga ada beberapa pejabat yang datang  khusus bersama keluarganya sambil membawa amplop berisi uang.
”Katanya, dulu dia punya utang, sayanya mah udah lupa,” tutur Bu Eha berderai-derai di warungnya yang sampai kini masih terjepit di Pasar Cihapit, Bandung.
Cerita itu saya rekam beberapa tahun lalu ketika mengunjungi Warung Nasi Bu Eha yang legendaris. Warung ini dulu dibuka oleh Ibu Nok, ibu kandung Bu Eha, pada 1947 di sebuah lapangan tempat orang-orang Belanda menjemur pakaian. Menunya istimewa, ada ongklok, sejenis kentang rebus yang dikocok dalam setangkup piring lalu disiram dengan susu murni.
Ada pula kastrol, kacang merah yang diracik dengan daging sapi. Tentu saja menu-menu ini sekarang sudah tidak ada lagi seiring kepulangan orang-orang Belanda ke negerinya. Warung Bu Eha kini menyediakan berjenis-jenis makanan Sunda, dari pepes jamur sampai gepuk daging.
Utang-utang yang (mungkin) terlupakan itu, kata Bu Eha, bagian dari dinamika kehidupan di pasar tradisional. Sudah lumrah, jika transaksi di pasar tradisional bisa berlangsung, walau calon pembeli tidak memiliki uang. Ia hanya cukup bilang, ”utang dulu, nanti bayarnya kalau dapat kiriman”. Transaksi pun bisa berlangsung.
Fragmen ini menjadi bukti bahwa pasar tak sekadar medium transaksi secara ekonomi, yang bertumpu pada keuntungan, tetapi juga tempat menjalin relasi sosial dan kekerabatan. Relasi-relasi perniagaan pada pasar tradisional, menyediakan ruang terbuka bagi terjalinnya satu hubungan yang lebih intim.
Seseorang datang dengan membawa hasil bumi, lalu seseorang lain datang membelinya untuk dikonsumsi atau diperdagangkan kembali di pasar atau warung-warung yang lebih kecil. Di pasar atau warung-warung kecil itu kemudian datang lagi para konsumen. Struktur perniagaan semacam ini bersifat sangat terbuka karena bertumpu sepenuhnya pada kepercayaan, yang sebelumnya telah direkatkan oleh hubungan kekeluargaan.
Warung Bu Eha adalah artefak kebudayaan dan oleh karena itu tidak bisa semata-mata dilihat sebagai simpul penggerak ekonomi. Ia justru menumbuhkan relasi-relasi sosial berupa ikatan kekerabatan yang menggunakan warung dan kuliner sebagai medium kebersamaan.
Bahwa kemudian secara transaksional ada utang para mahasiswa, pemilik warung menaruh kepercayaan untuk mereka mencatatkan sendiri jumlahnya dan kapan dilunasi tidak benar-benar menjadi persoalan. Bukankah di dalamnya terselipkan nilai-nilai kejujuran, yang hari-hari belakangan ini sangat sulit diperoleh di negeri kita?
Bukti paling aktual tentu saja, kasus tercabik-cabiknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat rancangan undang-undang yang dinilai mengekang keleluasaan kerja menegakkan kejujuran. Seperti kita tahu, kasus itu kemudian memicu gelombang aksi demonstrasi para mahasiswa di Jakarta dan berbagai kota di Tanah Air. Bau gas air mata dan onggokan motor serta bangunan yang dibakar massa masih tercium di jalan-jalan.
Sesungguhnya ajaran tentang kejujuran telah diturunkan lewat pasar-pasar tradisional yang berkembang sejak zaman monarki pada masa lalu. Upaya berkata jujur itu pulalah yang membuat biarawan dan filsuf Giordano Bruno pada 1600 dieksekusi dengan dibakar hidup-hidup di sebuah lapangan bernama Campo de Fiori. Pada abad pertengahan, nama ini kemudian berkembang menjadi pasar terindah dan ternama di Roma, Italia.
Giordano Bruno dikenal sebagai penganut heliosentris Copernicus, yang menggaungkan pendapat bahwa Bumi bergerak mengorbit Matahari. Mungkin pendapat itu kini terbukti kebenarannya, tetapi pada abad pertengahan Giordano dicap menentang gereja. Ia kemudian harus menjalani eksekusi publik di sebuah tiang pancang. Patung sosoknya berdiri di sebuah lapangan di kawasan pasar Campo de Fiori seolah memandang Vatikan dari kejauhan.
Akan tetapi, Campo de Fiori terus bersolek dengan anggun. Ketika senja tiba, pasar ini berubah menjadi kerumunan muda-mudi yang memenuhi bar-bar di sekitarnya. Siang harinya, selain hasil bumi, di kios-kiosnya dijajakan bebungaan yang mekar dan harum semerbak. Seolah-olah itulah cara Campo de Fiori melunasi utang nyawanya kepada Giordano Bruno. Ada dukacita yang diucapkan lewat keharuman kehidupan.
Sudah pasti sejarah Campo de Fiori tidak berkait langsung dengan keberadaan pasar tradisional di Nusantara. Namun, setidaknya momentum itu telah memantik kesadaran kita bahwa pasar tradisional menjadi benteng rakyat pedesaan untuk terus-menerus memupuk kekerabatan, menyirami kebersamaan, dan merawat kejujuran. Ia seperti KPK yang terlembagakan berdasarkan konvensi lisan, dengan struktur pengontrolan berdasarkan ”nasihat” hati nurani.
Bu Eha memang memiliki catatan dalam buku utang, tetapi ia tidak pernah benar-benar mempertanyakan besaran utang yang dimiliki para mahasiswa yang makan di warungnya. Barangkali juga tidak semua mahasiswa benar-benar diingatnya. Lewat buku utang, Bu Eha sesungguhnya sekadar melakukan rekonstruksi sebuah kesadaran yang melekat dalam naluri dasar manusia: kejujuran!
Kejujuran tak cukup diajarkan secara verbal, tetapi diamalkan dalam perilaku keseharian. Rasa-rasanya itulah yang kini menjadi problem besar bangsa ini. Kejujuran sebatas dikumandangkan dalam forum-forum moral formal, tetapi tidak pernah benar-benar diamalkan sebagai etika yang estetik.
Dengan demikian, pasar tradisional tidak sekadar jadi pengundang kerumunan lalu berpraktik jual dan beli, tetapi lebih-lebih adalah pengemban moral etik rakyat yang telah melintasi waktu dari zaman ke zaman. Kalau belakangan ada yang suka blusukan ke pasar-pasar, semoga selalu bekerja dalam ikatan moral etik kerakyatan, yang tujuannya menegakkan kejujuran! Kalau cuma sekadar selfie, sayang sekali…. ***