Di akhir pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, sejumlah evaluasi kebijakan pembangunan dilakukan sebagai dasar menyusun strategi pembangunan ke depan. Salah satunya kebijakan pembangunan desa.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa setidaknya menghasilkan dua implikasi penting. Pertama, desa memiliki kewenangan penuh untuk membangun karena keberadaannya diakui dan diberi kewenangan untuk memutuskan serta mengurus kebutuhan lokalnya sendiri.
Kedua, desa memiliki sumber dana yang besar dan berhak mengurus dananya sendiri untuk pemenuhan kebutuhannya. Jargon desa membangun merefleksikan bahwa desa sendiri yang merencanakan dan melaksanakan pembangunannya dalam koridor kewenangan yang dimilikinya.
Sejak pertama kali dana desa disalurkan pemerintah tahun 2015, ditambah alokasi dana desa (ADD) sebesar minimal 10 persen dari dana transfer umum pemerintah pusat ke daerah, kapasitas fiskal desa meningkat drastis. Sebelum adanya dana desa, banyak desa hanya mengelola uang tak lebih dari Rp 30 juta per tahun. Namun, sejak 2015, setiap desa menerima dana desa rata-rata Rp 280 juta.
Anggaran dana desa pun meningkat terus. Tahun 2019, secara rata-rata per desa menerima Rp 934 juta. Selama periode 2015-2019 jumlah desa bertambah, dari 74.093 menjadi 74.953 desa. Secara akumulasi lima tahun terakhir, pemerintah menyalurkan lebih dari Rp 257 triliun dana desa ke desa. Jika ditambah akumulasi ADD yang Rp 176 triliun, lebih dari Rp 433 triliun uang mengalir ke desa selama 2015-2019.
Capaian dan tantangan
Kemendesa PDTT telah menyampaikan sejumlah capaian pembangunan desa lima tahun terakhir. Hingga akhir Juli 2019, lebih dari 201.000 kilometer jalan desa terbangun. Setiap desa rata-rata membangun 2,6 km jalan desa. Masih banyak infrastruktur lain dibangun, seperti 260.000 MCK, 10.000 polindes, 26.000 posyandu, dan 49.000 sumur.
RPJMN 2015-2019 menargetkan penanggulangan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang dan peningkatan 2.000 desa berkembang menjadi mandiri.
Berdasarkan data Potensi Desa Badan Pusat Statistik (Podes BPS) 2018, sudah 6.518 desa tertinggal naik kelas menjadi berkembang dan 2.665 desa naik kelas dari desa berkembang menjadi mandiri. Artinya, target sudah terlampaui sejak 2018.
Data BPS menunjukkan angka kemiskinan di perdesaan turun dari 14,21 persen (2015) menjadi 12,85 persen (2019). Angka pengangguran juga turun dari 4,93 persen (2015) menjadi 3,45 persen (2019). Secara rata-rata tingkat pengeluaran per kapita masyarakat desa naik dari Rp 572.000 (2014) menjadi Rp 852.000 (2018) per bulan.
Data Podes 2018 memperlihatkan sejumlah perbaikan kondisi di desa. Persentase keluarga di desa yang menggunakan listrik naik dari 94,78 persen (2014) ke 96,85 persen (2018).
Sebanyak 82,37 persen keluarga sudah memiliki jamban sendiri (2018), naik dibandingkan dengan 2014 (67 persen). Jumlah keluarga yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak turun drastis, dari 47 persen (2014) ke 28 persen (2018).
Capaian di atas tak serta-merta menghilangkan tantangan pembangunan desa. Data Podes 2018 menunjukkan, hanya 55,91 persen desa memiliki peta desa. Padahal, salah satu indikator perhitungan dana desa ialah luas wilayah desa.
Tanpa peta desa, bagaimana mungkin kita mengukur luas desa secara akurat. Secara geografis, lebih dari 1.300 desa memiliki wilayah di dua pulau atau lebih. Tentu sulit menyediakan layanan dasar dengan kondisi geografis berpulau-pulau.
Secara topografi, 6.253 desa berada pada ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Setidaknya 27,41 persen desa bersinggungan langsung dengan kawasan hutan. Sekitar 1.500 desa hanya bisa diakses melalui air dan 100 desa yang hanya mampu dijangkau melalui udara.
Kepala desa tentu menjadi faktor penting pembangunan desa di Indonesia. Data Podes 2018 menunjukkan, sekitar 3.700 kepala desa berpendidikan SD ke bawah. Lebih dari 11.200 kepala desa berpendidikan maksimal SLTP. Kepemimpinan di desa memang tak sepenuhnya ditentukan oleh jenjang pendidikan.
Namun, kemampuan mengembangkan pengetahuan dan beradaptasi dengan teknologi cenderung lebih baik pada mereka yang berpendidikan tinggi.
Walaupun sudah 89,63 persen desa memiliki akses jalan darat, 5,3 persen di antaranya tak terjangkau saat musim hujan. Dalam konteks hubungan sosial kemasyarakatan, lebih dari 2.500 desa memiliki masalah konflik sosial, kejadian terbanyak perkelahian massal antarkelompok masyarakat.
Meski demikian, masyarakat desa kita sebenarnya kian terbiasa hidup dalam keberagaman. Sebanyak 71,26 persen desa di Indonesia memiliki penduduk lebih dari satu etnis pada 2018, naik dibandingkan dengan 2014 (68,94 persen desa).
Masih banyak masyarakat desa yang memiliki kebiasaan membakar kebun dan ladang untuk penyiapan lahan. Tak kurang dari 37,72 persen desa yang masyarakatnya memiliki kebiasaan itu. Upaya perbaikan kebiasaan di tingkat desa tentu dapat mengurangi potensi bencana karhutla.
Desa yang mengalami kejadian bencana dalam setahun terakhir naik, dari 39,27 persen (2014) menjadi 48,24 persen (2018). Namun, baru 8,90 persen desa memiliki sistem peringatan dini bencana alam. Sedangkan 68.000 desa tak memiliki sistem peringatan dini, rentan mengalami dampak buruk kejadian bencana alam. Upaya penurunan risiko bencana di tingkat desa sangat dibutuhkan untuk hindari kehancuran seketika akibat fenomena alam.
Strategi ke depan
Setidaknya ada empat pokok kebijakan penting dalam pembangunan desa ke depan.
Pertama, memperjelas visi pembangunan desa. Membangun desa bukan berarti mengubah desa menjadi kota. Visi desa membangun ialah menciptakan kesejahteraan dan standar hidup penduduk desa yang lebih tinggi dengan tetap menempatkan peran sentral desa sebagai basis ketahanan pangan dan konservasi lingkungan.
Faktanya, 92,89 persen penduduk desa sumber penghasilan utamanya dari pertanian. Pembangunan desa harus sinkron dengan pembangunan pertanian. Selain itu, fungsi desa untuk konservasi lingkungan juga sangat vital. Jangan lupakan peran desa dalam menjaga ekosistem untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Data Podes 2018 menunjukkan, desa yang mengalami kejadian pencemaran air naik dari 10,33 persen (2014) ke 18,92 persen (2018). Sedangkan desa yang mengalami pencemaran tanah juga sedikit naik dari 1,59 persen (2014) ke 2,64 persen (2018).
Kedua, perlunya menyusun menu kegiatan pembangunan desa yang lebih banyak. Terdapat pengulangan kegiatan pembangunan yang dibiayai dana desa sehingga berpotensi menimbulkan kejenuhan.
Tak sedikit desa yang berulang kali melakukan ”pavingisasi” (contoh) karena alasan pertanggungjawaban yang mudah atau tak ada ide kegiatan lain. Sebagai ilustrasi, keputusan apa yang kita makan di restoran tak terlepas dari pilihan menu yang diberikan.
Ketiga, mekanisme pengawasan berbasis masyarakat. Dana yang dikelola desa begitu besar, harus diawasi dengan baik agar tak menyimpang dan memberikan efek besar bagi kemajuan desa.
Namun, sebaik apa pun sistem pengawasan yang kita rancang, tetap tidak mudah mengawasi penggunaan dana desa di 74.953 desa. Masyarakat desalah yang paling efektif mengawasi penggunaan dana desa. Oleh karena itu, ke depan perlu dibangun mekanisme pengawasan pembangunan desa berbasis masyarakat.
Keempat, perbaikan pencatatan desa dinas. Jumlah desa yang tercatat belum tentu sama dengan kenyataan di lapangan. Padahal, dana desa dialokasikan sesuai dengan daftar desa. BPS pada 2018 mencatat ada sejumlah desa yang telah berubah status sebagai kelurahan ataupun yang tak ditemukan di lapangan.
Meski jumlahnya sedikit, tentu perlu upaya penyempurnaan ke depan. Masih ada sejumlah hal teknis yang dapat diperbaiki ke depan. Meski demikian, capaian pembangunan desa lima tahun terakhir patut diapresiasi. Tugas kabinet mendatanglah untuk menyempurnakan capaian desa membangun Indonesia.
(Sonny Harry B Harmadi, Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa, dan Kawasan Kemenko PMK)