Saya bercakap-cakap dengan seorang ibu muda, tetangga saya di apartemen. Dua bulan lalu ia melahirkan anaknya yang kedua, seorang putri yang menurut dia sangat berbeda dengan putranya, anaknya yang pertama.
Kakak dan adik
”Yang kecil ini enggak bisa diem. Senangnya kalau main yang kasar-kasar, beda sama kakaknya. Kalau kakaknya nurut banget. Yang ini keras kepala.” Begitu sang ibu menceritakan di suatu pagi di lobi apartemen yang sepi.
Setelah percakapan itu berakhir, kami kembali ke tempat masing-masing. Setelah mandi, saya berencana membuat tulisan ini dan seperti biasa tak tahu apa yang harus saya tulis. Setelah bengong beberapa menit, saya terinspirasi menulis tentang cerita tetangga saya itu.
Saya melayangkan ingatan pada masa saya, kakak, dan adik masih kecil dahulu. Membayangkan sifat-sifat kami bertiga. Kakak dan adik saya memiliki banyak kemiripan. Mereka memiliki bawaan yang tenang, tidak gradak-gruduk atau emosian. Sementara saya sangat berlawanan.
Waktu ibu meninggal dan ayah menikah lagi beberapa tahun kemudian, kakak dan adik saya menyambut dua kejadian itu dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Adik saya bahkan tak menangis saat ibu meninggal dunia.
Sementara saya menghadapi dua kejadian itu dengan sangat emosional. Ayah sampai harus membayar seorang psikolog senior untuk menangani ketidakstabilan emosi saya khususnya saat ayah berniat menikah lagi.
Kakak dan adik saya menjalani masa dewasa dan menikah dengan kondisi yang stabil. Meski selalu saja ada badai dalam perjalanan hidup mereka, mereka menghadapinya dengan biasa-biasa saja. Saya tak tahu kalau mungkin gejolak terjadi di dalam batin mereka.
Tetapi, dari penampakan luar, mereka menjalani hidup seperti gempa yang hanya 3 skala Richter. Berbeda dengan saya. Saya menjalani hidup seperti gempa berkekuatan 7 skala Richter dan berpotensi tsunami.
Kakak dan adik saya jarang memprotes keadaan. Sementara saya, kalau semua bisa diprotes, saya protes. Mereka melihat bahwa kehidupan itu harus diterima apa pun keadaan dan bentuknya.
Kalau saya, semua keadaan dipertanyakan sampai acap kali saya kelelahan sendiri. Kata ”mengapa” selalu saja berkeliaran di kepala. Itu mengapa perjalanan hidup saya sudah mirip gempa berpotensi tsunami.
Diam vs berteriak
Jadi, gambaran saya dan saudara-saudara sekandung itu mirip dengan cerita dua anak dari tetangga saya di atas. Anak pertama diam, nurut, tak melawan meski menurut sang ibu, ia pemarah, sedangkan adiknya keras kepala dan lebih berani.
Kemudian ingatan saya melayang pada berita di media sosial. Saya membaca ada manusia yang senang memberontak, senang menciptakan keonaran, senang menunjukkan sikap bahkan auratnya tanpa malu-malu, menunjukkan isi pembicaraannya yang bahkan jauh dari santun. Saya melihat ada murid berani memukul gurunya, menurunkan gambar presiden tanpa merasa bersalah meski sudah ada kejadian serupa.
Ada manusia yang sengaja mencari gara-gara untuk diperhatikan. Ada yang hidupya didedikasikan untuk membantu sesamanya dalam berbagai bentuk. Ada yang tanpa segan menunjukkan kekayaannya dan sejuta berita lainnya.
Saya kemudian bertanya apakah bakat menjadi pemberontak, menjadi pemecah belah, menjadi tukang pukul, menjadi murah hati, menjadi penyelingkuh, menjadi pengadu domba, menjadi pemutar balik fakta sudah terjadi sejak kecil?
Apakah mereka yang menjadi pemberontak atau pengadu domba dan pemecah belah justru datang dari mereka yang masa kecilnya diam, tenang, nurut, tetapi di dalamnya pemarah, pendendam karena tak mampu menyuarakan keberanian melawan orang yang merisaknya.
Akibatnya, di masa dewasa mereka menyalurkannya itu dalam sikap mereka dan berkelompok dalam satu badan yang memiliki visi dan misi yang sama. Sebaliknya, apakah mereka yang menolong sesamanya justru datang dari mereka yang dari sejak muda dulu sudah keras kepala, sudah berani menyuarakan suara hatinya dan melawan?
Oleh karena itu, alasan menolong sesamanya itu karena mereka telah mengerti bagaimana tak enaknya menjadi korban dari ketidakmampuan melawan. Sama seperti ada orang yang banyak memberi bukan karena ia berlebihan, melainkan ia telah mengerti apa kekurangan itu.
Sungguh saya tak tahu. Saya hanya menebak-nebak saja sebuah perjalanan anak manusia. Di hari Minggu ini, saya ingin bertanya kepada Anda semua, para pembaca.
Apakah saat masih bayi, Anda adalah bayi yang pendiam, penurut, tetapi pemarah? Atau seorang bayi yang keras kepala, yang senangnya bermain yang keras-keras, yang melawan dengan beraninya.
Kemudian setelah Anda dewasa sekarang menjadi pejabat, menjadi penjahat, menjadi bawahan, menjadi atasan, menjadi pendeta, menjadi pendosa, apakah itu semua karena Anda masih seorang ”bayi” yang sama? ***