RESESI EKONOMI
Antibodi Resesi Global
Kita sering mendengar peribahasa ”hidup ini bagaikan roda pedati, kadang di atas kadang di bawah”. Istilah ini dalam ekonomi disebut siklus bisnis, yang menggambarkan pasang-surutnya atau turun-naiknya perekonomian dunia.
Yang jelas, tak ada yang bisa memastikan kapan akan terjadi resesi ekonomi di AS dan seberapa dahsyat merambat ke perekonomian dunia? Resesi ekonomi datang seperti pencuri yang datang pada malam hari, persisnya kita tak pernah tahu. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada dan bijak dalam menyikapi situasi perekonomian global dan domestik akhir-akhir ini. Kekhawatiran yang berlebihan bisa menimbulkan kepanikan dan reaksi yang tak semestinya serta bisa mempercepat terjadinya resesi.
Fakta yang cukup jelas pada tahun ini, perekonomian global terbukti sudah melambat, bahkan pelambatannya lebih cepat daripada perkiraan semula. Salah satu pemicunya perang dagang AS-China yang tak kunjung padam, bahkan diperkirakan akan masih panjang pergulatannya. Kebijakan perang dagang Trump yang on-off menyulut ketidakpastian perekonomian dunia. Dampaknya kian nyata menurunkan aktivitas perdagangan dunia, tecermin dari turunnya harga komoditas dunia. Hal itu terkonfirmasi dari prediksi ekonomi dunia yang selalu direvisi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Pemandangan biasa dan tak aneh lagi, lembaga sekaliber IMF dan lembaga internasional lain melakukan revisi prediksi pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia dalam setiap rilis laporan kuartalannya.
Kian sulit diprediksi dan diatasi
Beberapa tahun terakhir, metode ilmiah proyeksi variabel makroekonomi seperti ekonometrika dibuat tak berdaya dan tak berkutik karena gagal menangkap perilaku dinamika perekonomian dunia secara akurat. Dengan kata lain, unsur error (kesalahan) yang bersumber dari ketidakpastian ekonomi dunia cenderung mendominasi berbagai prediksi.
Sejak 2018, beberapa negara sudah mulai bertumbangan dan terjebak dalam resesi, seperti Venezuela, Turki, Argentina, dan Italia. Sedangkan negara maju dan berkembang lain dalam tren melambat dan berjuang untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi ke depannya. Melihat kondisi ini, sangat wajar muncul kekhawatiran akan ada resesi ekonomi seperti 10 tahun lalu. Ada baiknya kita lihat kembali situasi resesi ekonomi global 2008/2009 yang cukup besar dan mengejutkan. Resesi ini dimulai dari negara maju AS, merambat ke Jepang, Uni Eropa (UE), Rusia, dan negara-negara lain. Resesi ekonomi global 2008/2009 bisa lebih buruk dan dalam, tetapi untungnya masih ada China, yang waktu itu menjadi penyangga perekonomian global.
Ada satu hal yang menarik disimak, bagaimana solusi negara-negara maju itu melakukan pemulihan ekonominya? AS, UE, dan Jepang memberikan suntikan doping melalui suku bunga sangat rendah dan kebijakan moneter nonkonvensional, yaitu Quantitative Easing (QE), di mana bank sentral membeli aset keuangan bank komersial dan institusi swasta lain sehingga menambah suplai uang dalam perekonomian. Mengapa ini doping atau obat perangsang?
Dalam memulihkan perekonomian AS, The Fed (bank sentral AS) terpaksa menurunkan suku bunga acuannya secara agresif dari 5,25 persen menjadi 0,25 persen hanya dalam tempo 16 bulan. Tak cukup menurunkan bunga acuan, The Fed juga menggunakan QE sehingga aset The Fed meningkat sangat signifikan dari 0,89 triliun dollar AS tahun 2007 menjadi 4,5 triliun pada 2014. Ini artinya, ada tambahan suplai dollar AS yang fantastis ke perekonomian, yaitu 3,61 triliun dollar AS (naik 400 persen).
Doping yang sama juga diikuti Eropa dan Jepang. Eropa menurunkan bunga acuan dari 4 persen tahun 2007 menjadi nol persen sampai sekarang, ditambah QE 3,1 triliun euro (naik 200 persen). Sedangkan Jepang suku bunga acuannya malahan negatif 0,011 persen per Oktober 2019 dari 0,459 persen tahun 2007, ditambah dengan QE 458,5 triliun yen (naik 412 persen). Ke depannya, bukan tak mungkin bank sentral AS dan Eropa akan mengikuti Jepang yang negatif suku bunganya. Melengkapi kebijakan moneter, negara-negara maju ini juga melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
Namun, apa yang kita lihat di AS, ternyata pertumbuhan ekonominya tak berkesinambungan dan mencapai puncaknya pada 2018. Eropa dan Jepang, kondisinya juga tak sebaik AS dan cenderung berkutat di zona sulit. Suku bunga rendah dan QE menyebabkan perekonomian negara-negara maju ini tumbuh bukan dengan ototnya sendiri, melainkan asupan steroid yang sifatnya merusak dalam jangka panjang. Maka, tidaklah mengagetkan negara-negara maju itu kemudian mengalami pelambatan kembali dan menimbulkan kekhawatiran terjadinya resesi.
Tanda-tanda resesi ekonomi akan terjadi di AS sudah mulai terlihat dari inverted yield curve, di mana imbal hasil obligasi jangka panjang lebih rendah ketimbang obligasi jangka pendek. Pasar obligasi AS (UST) sudah abnormal karena imbal hasil UST tiga bulan lebih tinggi dari tenor 10 tahun, lima tahun, dan dua tahun, serta berbeda tipis dengan tenor yang sangat panjang 30 tahun. Pengalaman menunjukkan ketika terjadi inverted yield curve UST selama periode 1980-2009, maka peluang AS resesi 80 persen (empat kali dari lima kejadian). Hal yang mengejutkan lagi, setiap The Fed menurunkan bunga acuan selama periode 1970-2009, ternyata berujung resesi dengan probabilitas 83 persen (lima kali dari enam kejadian).
Belajar dari kejadian-kejadian itu dan sesuai teori siklus bisnis, resesi ekonomi global diperkirakan akan datang kembali. Satu hal yang harus diwaspadai adalah kalau AS mengalami resesi, begitu juga Eropa dan Jepang. Resesi kali ini, agaknya akan lebih sulit diatasi karena ruang kebijakan moneter dan fiskal sangat terbatas. Saat ini, suku bunga The Fed 2,00 persen per September 2019, berpotensi turun lagi pada Oktober ini ke 1,75 persen. Artinya, penurunan suku bunga acuan The Fed maksimal tinggal 2,00 persen lagi, separuh dari resesi ekonomi AS 2008/2009, yang saat itu 5 persen. Keterbatasan ruang kebijakan moneter lebih sempit lagi di Eropa karena suku bunga acuan sudah nol persen dan Jepang bahkan sudah negatif.
Respons Indonesia
Dunia makin terekspos dengan resesi ekonomi, dengan probabilitas resesi di AS meningkat signifikan ke 35 persen pada Oktober 2019 dari 20 persen tahun lalu. Begitu juga di Jerman 35 persen dari 10 persen, Jepang lebih tinggi lagi dari 32 persen ke 40 persen per Oktober 2019. Dengan kondisi ekonomi global seperti ini, sebaiknya apa respons Indonesia menghadapi tekanan perekonomian global itu? Indonesia harus konsisten membenahi masalah struktural ekonominya. Indonesia harus antisipatif dan adaptif menghadapi gejolak eksternal yang sudah makin terpapar.
Indonesia sudah mulai merasakan dampak pelambatan ekonomi dunia. Aktivitas perekonomian nasional mulai terasa lambat. Hal ini tecermin dari melambatnya pendapatan negara sampai 31 Agustus 2019. Data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hanya tumbuh 1,4 persen, turun signifikan dibandingkan dengan 2018 yang tumbuh 16,5 persen. Begitu juga penerimaan negara bukan pajak hanya tumbuh 11,6 persen dari 24,3 persen pada tahun sebelumnya.
Di saat perekonomian domestik dalam tekanan melambat, kita butuh kebijakan fiskal yang kontra siklus (counter cyclical) sehingga pertumbuhan tetap robust dari terpaan gejolak eksternal. Ruang fiskal memang terasa terbatas karena pendapatan negara hanya tumbuh 3,2 persen pada delapan bulan pertama 2019. Akibatnya, defisit fiskal sedikit melebar menjadi 1,24 persen dari PDB dibandingkan dengan 2018 yang 1,02 persen. Hal ini jadi tantangan tersendiri bagi pemerintah agar fungsi fiskal tetap bertenaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi moneter, BI sudah melakukan antisipasi dini agar momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Suku bunga acuan BI sudah diturunkan tiga kali berturut-turut pada Juli-September 2019 menjadi 5,25 persen dari 6,00 persen. Diperkirakan, ruang penurunan bunga acuan BI masih berlanjut selama rupiah dapat dijaga stabil dan inflasi yang rendah. BI juga melakukan relaksasi kebijakan makroprudensial untuk meningkatkan kapasitas penyaluran kredit perbankan dan mendorong permintaan kredit pelaku usaha melalui pengaturan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Selain itu, BI melonggarkan rasio loan to value untuk kredit properti sebesar 5 persen dan uang muka kendaraan bermotor pada kisaran 5-10 persen, plus 5 persen lagi untuk kendaraan bermotor berwawasan lingkungan.
Kebijakan fiskal yang ekspansif dan moneter yang longgar adalah syarat perlu untuk menjaga momentum ekonomi. Namun, ada target yang lebih besar dan utama, bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat, mendorong ekspor dan investasi. Yang pada gilirannya mendorong daya beli dan kemampuan menabung masyarakat ke tingkat yang lebih tinggi sehingga terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia butuh vaksinasi yang menciptakan antibodi terhadap gejolak eksternal.
Perubahan struktural ekonomi harus dilakukan secara berkesinambungan dan konsisten. Pembangunan infrastruktur yang sudah bertambah signifikan harus dilakukan dengan efektif sehingga efek penggandanya segera terasa ke dalam sendi perekonomian. Produktivitas tenaga kerja harus didorong lebih lagi melalui pendidikan vokasi yang dicanangkan pemerintah, bekerja sama dengan pihak swasta. Birokrasi, regulasi, dan legal harus mampu mendorong investasi, begitu juga insentif kebijakan fiskal yang menarik. Saya sangat mengerti kemasygulan Presiden Jokowi karena dari 33 investasi yang keluar dari China, tak satu pun mampir ke Indonesia.
Infrastruktur yang terbatas jadi kendala besar, tetapi masalah utamanya adalah harmonisasi regulasi, legal, serta institusi antara pemerintah pusat dan daerah yang harus diselesaikan segera. Jika ini bisa diatasi segera dan komprehensif, antibodi perekonomian Indonesia akan terbentuk dengan sendirinya secara natural. Saya percaya, suatu saat Indonesia akan lebih imun menghadapi gejolak eksternal dan bisa jadi penyelamat perekonomian dunia ketika terjadi resesi.
(Anton Hendranata ; Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar