Menjelang pelantikan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), saya teringat kunjungan pertama saya ke Indonesia, 1962-1964. Hubungannya: keprihatinan saya terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Selaku mahasiswa program PhD Ilmu Politik, saya memilih integrasi nasional di negara-negara sedang berkembang dengan kasus Indonesia sebagai topik disertasi.
Saya tertarik mengetahui sejauh mana keterikatan orang pada suku bangsa dan agama mengancam persatuan nasional dalam masyarakat majemuk yang baru merdeka. Dimentori Clifford Geertz, saya menelusuri topik secara antropologis.  Saya tinggal di satu tempat dan berusaha mengikuti kegiatan masyarakat terkait politik.  Tempat yang saya pilih adalah Kabupaten Simalungun dan ibu kotanya, Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Guru Bahasa Indonesia saya menjelaskan, daerah itu mencerminkan kemajemukan Indonesia dari segi agama, suku bangsa dan kelas sosial.  Kegiatan politik yang saya pelajari adalah aktivitas partai politik yang terwakili di DPRD kabupaten dan kota. Untungnya, pembagian kursi di DPRD pada 1962-1964 masih akurat menggambarkan hasil pemilu demokratis pertama pada 1955.
Saya merasa beruntung memperoleh snapshot, potret seketika yang cermat dan andal setelah pengamatan dua tahun di lapangan. Potret itu memungkinkan saya menilai sejauh mana sistem kepartaian saat itu bisa berperan positif dalam suatu negara demokratis.
Saya simpulkan, ada empat ancaman besar kepada keberhasilan demokrasi di Indonesia: radikalisme, komunisme, separatisme, dan korupsi.
Masyumi dan Nahdlatul Ulama adalah dua partai besar—hampir 40 persen dari seluruh suara pada 1955—yang masih memperjuangkan Piagam Jakarta.  Seandainya mereka berkuasa, lembaga dan prosedur demokratis kemungkinan besar harus tunduk pada suatu lembaga syariah yang pasti dikuasai para ulama, kira-kira seperti berlaku kini di Iran.
Komunisme menawarkan sistem pemerintahan sendiri, kediktatoran proletar atau Leninisme.  Contohnya adalah Uni Soviet dan China, apalagi dari segi pandang masyarakat Sumatera Utara.  Pada 1955, dengan 16 persen suara nasional, Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil menjadi satu dari empat partai besar.  Setelah itu PKI berkembang terus.
Di Simalungun, PKI menggalang kekuatan di kalangan buruh perkebunan dan penggarap tanah ilegal.  Dua kelompok itu memang merasa dieksploitasi administrasi perkebunan bersama pemerintah, termasuk tentara.  Mungkin terutama tentara, yang sedang membentuk organisasi buruh sendiri untuk menghadang serikat buruh PKI.
Perihal separatisme, pada 1962-1964 keamanan masyarakat Simalungun dan Siantar baru pulih setelah pemberontakan PRRI yang dicap gerakan separatis oleh pemerintah pusat.  Penderitaan masyarakat waktu itu digambarkan Ashadi Siregar secara mengharukan dalam novel barunya Menolak Ayah.
Ancaman separatisme paling terasa mengenai Aceh, yang beberapa tahun sebelumnya diberi status daerah istimewa oleh Presiden Soekarno.  Namun, banyak pengamat meragukan, apakah hati rakyat Aceh sudah kembali kepada Ibu Pertiwi.  Saya sendiri benar-benar percaya bahwa bangsa Indonesia, seperti bangsa merdeka lain di dunia, bisa memerintah diri sendiri.  Termasuk di tingkat kabupaten dan kota!
Dari empat ancaman demokrasi yang saya temukan waktu itu, yang paling tak terpikirkan sebelumnya adalah korupsi.  Seharusnya saya sadari dari awal, korupsi lama-kelamaan pasti menggerogoti kepercayaan warga pada absahnya negara demokratis.  Di Siantar begini ceritanya.  Pada 1964 wali kota baru dipilih DPRD kota.  Saya gembira sebab bisa menguji kesimpulan awal saya perihal pengaruh loyalitas politisi kota pada suku bangsa, agama, kelas, dan partai.
Malah, saya sempat meramal calon mana yang akan lolos. Ternyata saya salah.  Calon yang menang justru kuda hitam yang tak banyak dibicarakan.  Beberapa orang baru mengaku menerima uang ketika saya tanya di rumah masing-masing.  Pengakuan itu tak dengan kata, melainkan dengan gerakan tangan universal yang menggambarkan uang.
Belum seluruhnya hilang
Pada 2019, sejauh mana empat masalah itu masih mengancam mutu serta awetnya demokrasi di Indonesia?  Ternyata belum ada yang seluruhnya hilang atau sudah teratasi. Mungkin yang paling mengejutkan, bangkitnya radikalisme.
Pada awal reformasi sejumlah pengamat, termasuk saya, menyimpulkan gigi radikalisme sudah tercabut oleh kebijakan Soeharto dan kegiatan politik tokoh seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, serta organisasi seperti NU dan Muhammadiyah. Namun, ternyata kini radikalisme hidup kembali, terbukti terutama pada kampanye 2016-2017 yang menjatuhkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.
Kebijakan apa yang perlu diambil pemerintahan Jokowi ke depan mengatasi ancaman ini?  Anjuran saya, pembantu presiden harap baca dua artikel jurnal yang berbobot.
Di jurnal sosial dan budaya Belanda, Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (2018), Marcus Mietzner, Burhanuddin Muhtadi, dan Rizka Halida mengungkapkan, betapa para wiraswasta religio-politik berhasil mengobarkan sikap radikal di masyarakat. Sikap itu hampir tak ada sebelum kegiatan mobilisasi.
Di Pacific Affairs (Juni 2018), Mietzner mengkritik tajam serentetan kebijakan Jokowi sejak 2016. ”Pemerintahan Jokowi memilih strategi kriminalisasi terhadap kaum populis yang melanggar norma hukum sekaligus melansir kebijakan akomodasi berorientasi patronase yang kurang jelas arahnya.  Akibatnya, usaha pemerintah melindungi status quo demokratis dari serangan populis berbalik dan mengancam demokrasi sendiri.”
Komunisme sudah mati di mana-mana, setidaknya selaku ideologi kediktatoran proletar.  Penyebab kematiannya di Indonesia masih kontroversi.  Menurut saya, kita boleh bersyukur bahwa partai itu tak ada lagi.  Tujuan utamanya memang menggantikan demokrasi dengan kekuasaan tunggal partai.
Selain itu, kemungkinan besar Indonesia pecah andai dulu PKI menang.  Di beberapa daerah ikatan agama masih sangat kental.  Pada waktu yang sama kita harus menyesali pelanggaran kejam atas hak sipil/politik anggota PKI dan simpatisannya yang berlaku sampai kini.  Kehidupan demokratis ternodai terus oleh perilaku itu.
Padahal, menurut sejumlah survei lembaga tepercaya SMRC, persentase masyarakat yang khawatir PKI bangkit kembali rata-rata di bawah 15 persen.  Alangkah baik jika Presiden Jokowi berupaya sekali lagi mencabut Keppres Soeharto Nomor 28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C.
Seandainya tensi ini reda kelak, saya bayangkan akibat samping positif.  Parpol di DPR sekarang cenderung mewakili kepentingan elite belaka.  Salah satu alasannya: kegelisahan pada tuduhan prokomunis jika politisi betul-betul mewakili kelompok bawah.  Mereka perlu dibebaskan dari belenggu ini.
Ancaman separatisme sebagian besar sudah selesai berkat kebijakan beberapa presiden.  BJ Habibie menyatukan demokratisasi dan desentralisasi.  Akibatnya, baik rakyat maupun politisi di kabupaten dan kota umumnya mendukung pola baru.
Melalui pilkada dan pemilu, rakyat bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah lokal dan DPRD, sementara bupati dan wali kota diberi dana dan kewenangan fiskal jauh lebih besar dari Orde Baru. Habibie juga membebaskan Timor Leste, yang sebenarnya bukan masalah separatisme, sebab daerah itu bukan bagian NKRI yang diproklamasikan Soekarno-Hatta.
Lebih penting, pelepasan Timor Leste berarti setiap presiden setelah Habibie akan terhindar keluhan dunia tentang perilaku tentara dan milisi Indonesia pada 1999.  Tuntutan Gerakan Aceh Merdeka, yang benar-benar separatis, selesai tuntas oleh Wapres Jusuf Kalla di bawah kepemimpinan Presiden SBY.
Di zaman Jokowi, kericuhan di Papua mengisyaratkan masalah separatisme paling berat yang belum terselesaikan. Presiden Jokowi dari awal kampanye pertamanya menjanjikan perhatian khusus pada Papua.
Laporan terakhir IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict), yang dikepalai Sidney Jones, Policy Miscalculations on Papua (Oktober 2017), memuji beberapa kebijakan ekonomi yang memang lebih baik daripada presiden-presiden sebelumnya.
Namun, Jones menekankan tiga penghitungan salah: ”bahwa pembangunan ekonomi dengan sendirinya akan menyelesaikan keluhan politik; bahwa pelanggaran hak asasi lama mudah diselesaikan; dan bahwa pilkada curang tak perlu ditangani.”  Lalu, ada beberapa rekomendasi konkret berharga, misalnya perlunya konsensus baru dan kerja sama antara Jaksa Agung dan Komnas HAM.
Akhirulkalam, korupsi termasuk ancaman lama, seperti saya utarakan.  Lagi pula, desentralisasi telah menciptakan ratusan lokasi baru di tingkat provinsi, terutama kabupaten dan kota.  Di pemerintahan lokal kita temukan semacam badai sempurna, tempat sumber daya berlimpah dan kendala berkurang.  Tak sulit meramalkan, banyak pejabat akan terjeblok dalam lahan becek korupsi.
Dua hal penting
Kerumitan masalah ini membuat saya berhati-hati tentang saran saya kepada pemain masa kini.  Namun, ada dua hal penting. Pertama, pejuang antikorupsi yang paling berhasil selama ini adalah KPK.  KPK diciptakan pada masa pemerintahan Megawati dan dilindungi SBY.  Dalam lautan luas korupsi di Indonesia, ia memang tak bisa berbuat banyak.  Namun, ia membuktikan bagaimana cita-cita luhur bisa diterapkan dalam masyarakat kini meski dirintangi terus.
KPK berhasil menakut-nakuti anggota DPR yang ingin memasungnya.  Ternyata pula, Jokowi tunduk pada kemauan itu ketika pemerintah bersama DPR menyetujui revisi UU-nya.  Keputusan itu ditampik pendukung good governance dengan kritik, protes, dan demonstrasi.  Keluh Indonesia Corruption Watch: ”Hal yang pasti, keseluruhan poin UU itu akan melemahkan KPK dan jadi titik mundur pemberantasan korupsi.” Revisi UU KPK baru saja usai.  Kesimpulan sementara saya, kekuatan antikorupsi perlu cari strategi baru tanpa mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintahan Jokowi.
Cara lain menangani korupsi diusulkan Burhanuddin Muhtadi dalam buku barunya yang cemerlang, Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (Palgrave Macmillan 2019). Burhanuddin mengusulkan perubahan kepada desain lembaga pemilu, pelaksanaan hukum, dan pendidikan pemilih.  Ia usulkan perubahan dari perwakilan berimbang dengan daftar calon terbuka ke perwakilan berimbang dengan daftar calon tertutup.
Dampak sistem distrik tempat hanya satu anggota dewan dipilih per distrik juga dinilai positif.  Namun, ”tanpa pelaksanaan hukum, strategi pembelian suara akan meluas tak terkontrol.”  Lagi pula, ”mengingat betapa umum keinginan pemilih menjual suaranya, pendidikan sistematis diperlukan agar mereka jadi kurang toleran atas praktik itu.”
Buku ini diterbitkan dalam bentuk akses terbuka; siapa pun boleh mengunduhnya.  Pembaca budiman, manfaatkan kesempatan ini mendalami analisisnya.  Semakin luas dipelajari, semakin jauh studi ini akan memengaruhi pemberantasan korupsi, khususnya di kabupaten dan kota: tingkat yang saya yakini paling penting dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia!
(R William Liddle, Pemenang Anugerah Kebudayaan 2018)