Setelah pelantikan, Presiden Joko Widodo langsung menyampaikan lima agenda prioritas untuk lima tahun mendatang. Pertama, membangun Sumber Daya Manusia (SDM). Targetnya membentuk SDM yang bekerja keras, dinamis, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Oleh karena itu, presiden mewajibkan semua menteri bekerja keras, cepat, produktif, dan tidak korupsi. Menteri harus kreatif dan inovatif, tidak hanya terjebak rutinitas kerja yang monoton. Performa kerja harus berorientasi pada hasil nyata yang ditargetkan presiden. Jika tidak tercapai akan dicopot.
Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur yang mendorong peningkatan efisiensi bisnis dan konektivitas. Infrastruktur yang mampu menghubungkan sentra-sentra produksi atau kawasan industri dengan jalur distribusi sehingga mampu menekan biaya logistik. Utilisasi infrastuktur harus mampu mendongkrak kegiatan produktif, nilai tambah perekonomian domestik, dan mengakselerasi lapangan kerja baru. Sebab, dalam Indek Daya Saing Global, tingkat utilisasi infrastruktur justru turun dari peringkat 87 (2018) menjadi peringkat 89 (2019). Bahkan infrastruktur dasar yang terkait elektrifikasi dan air bersih masih di peringkat 95 dan 98.
Ketiga, menyederhanakan segala bentuk kendala regulasi. Pemerintah berkomitmen menerbitkan dua undang-undang (UU), yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil, dan Menengah (UMKM). Untuk menghilangkan ketidakpastian regulasi agar ada kepastian berusaha, akan dibentuk omnibus law. Hal itu di antaranya untuk mengharmonisasikan lamanya birokrasi perizinan, tumpang tindih regulasi pusat-daerah dan sektoral, serta masalah ketenagakerjaan.
Keempat, penyederhanaan birokrasi secara besar-besaran. Reformasi birokrasi terbukti masih belum optimal meningkatkan efektivitas kerja pemerintah. Terbukti, peningkatan porsi belanja pegawai belum berkorelasi positif dalam kontribusinya pada peningkatan pendapatan nasional. Investasi masih menghadapi prosedur perizinan yang berbelit. Presiden berkomitmen mereformasi birokrasi secara serius, memangkas birokrasi yang panjang, bahkan memangkas jenjang eselon.
Kelima, transformasi ekonomi. Rendahnya produktivitas nasional disebabkan kegagalan transformasi struktural. Perekonomian masih bergantung pada sektor tradisional, yaitu hanya mengekploitasi sumber daya alam. Sektor pengolahan untuk memberi nilai tambah justru mengalami deindustriasasi secara masif. Daya saing industri manufaktur sebagai tumpuan penciptaan lapangan kerja justru tergeser sektor jasa.
Lima komitmen agenda prioritas tersebut sebenarnya cukup mampu menumbuhkan optimisme publik. Masyarakat betul-betul menunggu kelahiran “the dream team” dari postur kabinet baru. Sesuai janji presiden, karena sudah tanpa beban, maka kabinet Indonesia Maju merupakan zaken kabinet yang bener-bener berisi para ahli di bidangnya masing-masing.
Sayangnya, ketika Rabu (23/10/2019) pagi kabinet diumumkan, justru respons seketika pasar menunjukkan sentimen negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi pertama hari itu memasuki zona merah. Seusai pengumuman susunan kabinet, IHSG melemah hingga level 6.214 pada pukul 11.30. Sekalipun pada penutupan perdagangan IHSG kembali menguat ke level 6.225,49. Di hari berikutnya, IHSG dibuka pada level 6.244,41 atau menguat 18,91 poin atau 0,3 persen akibat kuatnya pembelian dari dalam negeri.
Pertaruhan konsistensi
Respons atau sentimen pasar memang tidak dapat dijadikan acuan terhadap kepercayaan pasar secara fundamen, apalagi dalam jangka panjang. Namun, setidaknya, secara historis hampir semua langkah awal pembentukan kabinet selalu di awali oleh “hope” atau sentimen positif. Sebagai perbandingan, dasyatnya Jokowi Effect pada awal kemenangan dan pembentukan kabinet kerja, ternyata tetap tidak cukup meyakinkan investor ke sektor riil. Apalagi kini, urgensi mengembalikan kepercayaan dunia usaha dan investor semakin berat di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan daya saing Indonesia.
Dengan demikian, konsistensi kebijakan dan komitmen pemerintah benar-benar menjadi acuan dan pertaruhan. Setidaknya ada 5 catatan penting atas komitmen presiden yang harus segera direspons agar tidak sekadar menjadi sentimen positif, namun mampu meyakinkan kepercayaan investor. Pertama, kabinet yang profesional. Proporsi partai dan non partai tidak dapat sepenuhnya sebagai acuan profesionalisme, akan tetapi kompetensinya sesuai the right man on the right place. Artinya, kendati pos ekonomi didominasi partai politik, mestinya tidak memengaruhi aspek profesionalisme. Dengan catatan tidak ada kesan kapling-kapling suatu kementerian oleh partai tertentu. Presiden dapat menempatkan wakil yang disodorkan partai sesuai bidang kompetensinya.
Kedua, birokrasi yang efektif. Presiden telah berkomitmen untuk menciptakan birokrasi yang efisien, bahkan akan memangkas eselon. Nyatanya, tidak hanya menambah kuantitas wakil menteri (wamen), namun urgensi dan proporsionalitas pengangkatan wamen menimbulkan pertanyaan. Mestinya, ada formulasi yang menjadi standar baku ketika sebuah kementerian memerlukan wamen. Misalnya, berdasarkan beban, cakupan kerja, kewenangan, tangung jawab besaran anggaran, atau yang lainnya. Juga harus dibedakan antara kewenangan kementerian teknis dan kementerian negara.
Pada prinsipnya, kementerian negara terutama berperan melakukan sinkronisasi dan koordinasi. Sebagai contoh, Kementerian BUMN sekalipun mengurus lebih dari 140 BUMN, namun tidak melakukan eksekusi teknis. CEO atau direksi dan komisaris BUMN yang akan bertanggung-jawab atas kinerja BUMN. Sepanjang tata kelola berdasarkan merit sistem dan diisi orang-orang profesional, maka BUMN akan kembali berfungsi sebagai agen pembangunan. Keberadaan wamen di kementerian BUMN justru berpotensi membuat intervensi terhadap kinerja BUMN, selain terkesan bagi-bagi jatah jabatan politik.
Ketiga, potensi demotivasi aparatur sipil negara (ASN). Rencana presiden memangkas jenjang eselon harus dilakukan dengan kajian yang mendalam. Jika tidak, berpotensi mendemotivasi ASN. Pasalnya, hampir semua posisi strategis didominasi keputusan politis. Disamping itu, lambannya kinerja birokrasi belum tentu disebabkan jenjang kewenangan. Pengambilan kebijakan dan keputusan yang berjenjang bisa jadi berfungsi cek dan ricek untuk meminimalisasi kesalahan atau penyimpangan. Pendelegasian tugas yang berjenjang juga untuk memastikan pertanggungjawaban kewenangan. Kuncinya, kementerian pendayagunaan aparatur negara harus mampu menyusun tugas yang jelas berdasarkan fungsi. Apalagi jika didukung sistem penggajian tunggal berdasarkan fungsi masing-masing ASN.
Keempat, memperkuat koordinasi. Penegasan bahwa hanya ada visi-misi presiden dan wakil presiden bukan lagi merupakan barang baru. Hal ini berkaca dari seringnya ketidakkompakan antara beberapa menteri di kabinet Indonesia Kerja. Menteri sering berpolemik terkait akurasi dan validitas data. Sekalipun menteri koordinator memiliki hak veto, yakni menko diberi kewenangan mengintervensi kementerian teknis, belum tentu mampu menghilangkan ego sektoral. Apalagi, pada beberapa pos strategis dan “basah”, presiden seolah-olah sengaja memainkan manajemen konflik. Seperti keberadaan menteri dan wakil menteri di Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, dan Kementerian Pariwisata. Sekalipun, manejemen konflik juga bisa terbukti efektif jika mendorong kompetisi program dan gagasan yang kuat. 
Kelima, komitmen pemerintahan yang bersih. Konsekuensi kabinet yang harus akomodatif dan representatif menjadikan kabinet sangat berwarna. Namun, mestinya prasyarat wajib adalah profesional dan integritas. Sebab, mestinya tidak ada toleransi atas rangkap jabatan. Selain itu, sejak awal melibatkan lembaga anti rasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menelisik integritas calon menteri.
Lima keraguan masyarakat tersebut bisa jadi hanya peringatan dini agar kinerja kabinet Indonesia maju sesuai target presiden. Apalagi tantangan ekonomi mendatang semakin berat. Selain peringkat daya saing yang turun, kemudahan berusaha Indonesia 2020 menurut laporan Bank Dunia juga stagnan di peringkat ke-73.
Perlu upaya dan konsistensi yang luar biasa dari pemerintah agar sentimen negatif pasar hanya menjadi sentimen sesaat. Bagaimanapun, 34 menteri dan 12 wakil menteri harus diberi kepercayaan dan kesempatan membuktikan performa terbaiknya. Tidak lupa, presiden harus telah memiliki indikator penilaian yang akurat, transparan dan akuntabel. Selamat menjalankan amanah. ***