Laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) mencatat, peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke-50. Kendati tetap lebih tinggi dari Filipina (64)), Vietnam (67), India (68), dan ( Laos (113), Indonesia di bawah Malaysia (27) dan Thailand (40). Jika ditelusuri lebih lanjut, penyebab penurunan tersebut cukup kompleks karena ada beberapa indikator yang maju, tetapi ada yang stagnan dan ada yang menurun.
Dinamika kemajuan peringkat dari negara-negara lain juga turut memengaruhi sehingga Indonesia mendapat peringkat 50 dengan skor total 65 dari kemungkinan 100, menurun 0,3 poin dari tahun sebelumnya. Setiap indikator yang memperoleh peringkat rendah membawa peringkat keseluruhan Indonesia ke bawah. Di sisi plus, barangkali yang sukar ditandingi negara-negara lain adalah besarnya pasar dalam negeri yang menduduki peringkat ke-7. Namun, yang paling menarik adalah inflasi yang masuk dalam pilar stabilitas makro yang menduduki tempat ke-1.
Pilar ke-3, yaitu infrastruktur transportasi, mendongkrak posisi Indonesia karena membaik dan menduduki peringkat 28. Komponennya adalah konektivitas jalan (meningkat dibandingkan 2018, tapi masih peringkat 72), kualitas jalan (peringkat 48), densitas jalan kereta api (peringkat 39), dan konektivitas bandara (peringkat 5 yang mencatat nilai sempurna 100). Konektivitas pengiriman lewat laut cukup baik (peringkat 25) walaupun efisiensi pelabuhan belum begitu menggembirakan (peringkat 61). Namun, peringkat infrastruktur pengangkutan yang sudah baik ini tidak dapat dibantu infrastruktur yang berkaitan dengan listrik, gas, air minum, dan sanitasi (LGA) yang menduduki peringkat 103, misalnya akses listrik (skor 87,5) dan kualitas listrik (85,8), dengan peringkat masing-masing 105 dan 108. Untuk dapat memperbaiki peringkat, Indonesia harus mencetak skor hampir sempurna untuk LGA (utilitas).
Yang juga membuat peringkat Indonesia menurun adalah stagnasi dan penurunan indikator-indikator yang menyangkut kualitas sumber daya manusia (SDM). Secara keseluruhan, pilar kesehatan menempati peringkat ke-96 dari 141 negara, terutama karena angka harapan hidup menempati posisi ke-95. Tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar masih sekolah dasar menyebabkan Indonesia menempati peringkat ke-92 untuk lama sekolah. Hal ini dikompensasi sebagian oleh kecakapan tenaga kerja yang menduduki peringkat ke-36 walaupun skornya cenderung menurun, terutama karena kemampuan digital yang masih rendah. Pasar tenaga kerja mendapat penilaian rendah karena terlalu kaku sehingga hanya menempati posisi ke-119. Kelemahan yang lain adalah kemampuan inovasi yang menempati posisi ke-74, ditambah penelitian dan pengembangan (peringkat 83). Beruntung, budaya wirausaha masih dapat mengimbanginya (peringkat 26).
Implikasi 
Kelemahan kualitas SDM dan inovasi turut menjelaskan mengapa basis ekspor Indonesia sangat sempit dan sangat tergantung pada komoditas dan hanya beberapa produk manufaktur. Tanpa SDM bertaraf internasional dan inovasi, sulit untuk menembus rantai pasokan internasional sehingga terkunci sebagai penghasil barang mentah atau bernilai tambah rendah. Hasilnya, defisit transaksi berjalan. Pada saat yang sama, stabilitas makro menarik arus modal portepel untuk masuk membiayai defisit tersebut. Ilustrasi menarik adalah sejak April sampai Agustus 2019 tidak sekadar transaksi berjalan, tetapi juga neraca dagang yang kerap kali defisit.
Namun, nilai tukar rupiah masih tetap bertahan berfluktuasi sekitar Rp 14.000 per dollar AS. Hal ini terjadi karena aliran modal jangka pendek yang secara neto masih masuk sejak September 2018 akibat stabilitas makro dan prospek pertumbuhan ekonomi relatif terhadap negara-negara emerging market yang lain. Ekuilibrium yang merupakan kombinasi dari stabilitas makro, defisit transaksi berjalan yang dibiayai arus modal portepel masuk, merupakan suatu model yang nyaman, tetapi sekaligus perangkap yang meninabobokan untuk tetap di zona nyaman tanpa melakukan transformasi struktural. Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun di Indonesia, bahkan sebelum krisis moneter Indonesia pada 1998-1999.
Prosedur perizinan yang berbelit-belit tecermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103. Sementara itu, biaya memulai bisnis mendapat peringkat ke-67. Memang, keduanya sudah menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan 2018. Akan tetapi, hal ini juga menjelaskan mengapa rezeki dari bonanza komoditas lebih banyak diputar menjadi proyek-proyek properti, mal, dan apartemen di kota-kota ketimbang menjadi pabrik-pabrik yang menghasilkan produk-produk antara dan akhir, untuk industri hilir, masyarakat konsumen dalam negeri, dan pasar ekspor.
Pada periode 2002 dan 2012, pertumbuhan triwulanan sektor konstruksi 7,3 persen per tahun (secara tahunan), yang jauh di atas pertumbuhan produk domestik bruto (5,7 persen secara tahunan). Sektor perdagangan, hotel, dan restoran pun mendapatkan spillover dengan pertumbuhan 6,9 persen secara tahunan. Boleh jadi, hasil amnesti pajak, walaupun jumlahnya cukup signifikan, tetap berputar-putar di investasi finansial. Kalaupun menjadi investasi fisik, akan terjadi di sektor yang tidak dapat diperdagangkan, seperti properti dan jasa.
Model pembangunan Indonesia selama berpuluh-puluh tahun cukup unik karena mengandalkan stabilitas makroekonomi, minim kenaikan produktivitas, dan jumlah penduduk yang besar. Walaupun dapat mengangkat dari negara berpendapatan rendah ke berpendapatan menengah atas pemula, untuk mencapai kelompok negara maju berpendapatan tinggi diperlukan lonjakan produktivitas. Indikator daya saing dari WEF terbaru di atas menunjukkan, tahap pertama peningkatan infrastruktur transportasi sudah memberikan sumbangan pada daya saing Indonesia dan perlu ditingkatkan untuk jalan raya, kereta api, dan infrastruktur sekunder pendukung transportasi. Tahap selanjutnya adalah mendorong infrastruktur utilitas (listrik, gas, air minum, dan sanitasi) yang akan meningkatkan kesehatan dasar.
Untuk berlomba dengan negara-negara lain dan mengubah ekulibrium menuju perekonomian yang lebih maju diperlukan kualitas SDM yang lebih baik untuk inovasi dan berpartisipasi dalam rantai pasokan internasional. Untuk itu, diperlukan peningkatan literasi dasar (membaca, matematika, dan sains), literasi teknologi dan dalam zaman digital seperti sekarang ditambah dengan literasi data, serta literasi kemanusiaan. ***