Komitmen pemerintah untuk mereformasi prosedur regulasi dan perizinan usaha tak selalu berjalan mulus. Meski semua tahu bahwa titik masuk krusial dalam memulai usaha adalah mudah dan pastinya mengurus perizinan, respons kementerian/lembaga (K/L) di pusat dan pemda tak berada pada nada dasar yang sama dengan semangat Presiden.
Contoh terbaru soal adopsi platform perizinan Online Single Submission (OSS) atau Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Setahun berjalan, berlapis tantangan menghadang di lapangan.
Jika Presiden Jokowi geram lantaran 33 perusahaan China merelokasi usaha ke sejumlah negara Asia namun tak satu pun ke Indonesia, tentu biangnya tak lepas dari masalah ekosistem investasi kita.
Tak diragukan, negeri ini punya daya tarik tinggi, kerap berperingkat layak investasi. Namun, hanya 40 persen peminat berlanjut ke fase realisasi. Sisa terbesar lain sebatas berstatus investor “akan”, entah sampai kapan, atau malah berujung batal. Mungkin saja mereka tetap berinvestasi, namun tidak di Indonesia.
Daya kinetik tubuh Indonesia meresonansi sinyal amat lemah untuk bisa menjamin kemudahan (efisiensi) dan kepastian (risiko) bisnis mereka. OSS yang diharapkan sebagai–menyitir frasa kuat Presiden Jokowi dalam pidato “Visi Indonesia” (14/7/2019)—“model baru, cara baru dan nilai-nilai baru” dalam mengundang investasi, serasa masih jauh panggang dari api.
Untuk memperoleh selembar izin usaha industri (IUI), pelaku usaha masih harus mengalokasikan waktu kerja tiga tahun. Tanpa legalitas berpredikat “izin efektif” ini, kegiatan operasional/komersial tak bisa dimulai. Sama kejadiannya saat mengurus Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) untuk jalankan usaha resor atau hotel. Banyak kasus serupa lainnya.
Guna menilai lebih jauh setahun penerapan OSS, selama Juni-Juli 2019 KPPOD melakukan evaluasi di daerah (6 provinsi dan 10 kabupaten/kota). Sejumlah tipologi masalah ditelusuri akar penyebabnya, sebagai basis usulan perbaikan kebijakan dan penguatan kapasitas pelaksanaan ke depan. Artikel ini bertolak dari sebagian temuan studi dan berurun rembuk guna mendorong lanjutan reformasi yang lebih robust lagi.
Evolusi perubahan
Hadirnya OSS, sebagaimana diatur di PP No 24/2018, diniatkan sebagai standar baru dalam arah kebijakan (new regime) dan tata kelola (new fashion) perizinan di negeri ini. Aneka jenis izin yang hari ini menyebar-berserakan di berbagai lini dan pusat layanan hendak diintegrasikan ke dalam satu platform nasional bernama OSS. Integrasi horizontal (antar K/L di pusat) maupun vertikal (pusat dengan daerah) jadi titik masuk bagi upaya-upaya lanjutan, termasuk berbagi-data, standarisasi proses bisnis hingga pengendalian terpusat.
Sepanjang era desentralisasi, arena perizinan memang mulai mengalami sentuhan perbaikan. Sebelumnya, pada masa sentralistik Orde Baru, pelaku usaha dan masyarakat mengurus izin ke beraneka instansi yang terpisah, fragmented dan berbelit dalam model kelembagaan konvensional. Warga mengurus izin di tiap Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD (dinas/badan) menurut portofolio yang kongruen dengan pembagian kerja rezim sektoral di pusat.
Naasnya lagi, sentralisasi Jakarta ditiru daerah berupa sentralisasi otoritas perizinan pada tangan gubernur dan bupati/walikota. Izin-izin berbasis lahan luas dan sumber daya alam digenggam kepala daerah sendiri. Adapun SKPD teknis hanya menjadi biro-biro administrasi yang cukup efektif menyulap ranah perizinan serupa pasar gelap kekuasaan sehingga memaksa orang mencari jalan pintas dengan “menaikkan” urusan ke level kepala daerah.
Upaya koreksi dilakukan awal otonomi. Seiring banyaknya urusan mengalir ke daerah, termasuk perizinan yang melekat, diduga berbahaya jika kewenangannya menggumpal lagi di tangan kepala daerah ataupun sebaliknya memencar ke tiap meja para kepala dinas. Sentralisasi kuasa pada satu tangan akan gampang tergelincir ke kubangan korupsi perizinan; namun menyebar ke berbagai SKPD sektoral juga bisa berujung inefisiensi birokrasi.
Maka, lewat Permendagri No 24/2006, disusun pembagian kerja: layanan perizinan berpusat ke satu pintu (Pelayanan Terpadu Satu Pintu/PTSP), sementara pembinaan dilakukan kepala daerah dan pengawasan jadi wewenang SKPD teknis terkait.
Sepanjang 12 tahun masa operasional PTSP, semua pemda menerapkan perizinan terpadu, baik yang masih satu atap (one roof service) maupun satu pintu (one stop service). Sejumlah kisah sukses di Kabupaten Siak (Riau), Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Denpasar (Bali) hingga Provinsi Sulawesi Selatan jadi inspirasi dan kerap direplikasi di tempat lain.
Mereka mampu hadirkan proses bisnis yang lebih efisien, meraih trust publik atas komitmen birokrasi menjamin kemudahan dan kepastian berusaha, serta menjadi langganan juara (champions) dalam berbagai kontestasi inovasi di level nasional bahkan global.
Namun, lazimnya setiap agenda perubahan, selalu tersisa banyak ruang perbaikan yang mesti diisi. Belum terintegrasinya tata laksana, macetnya deregulasi (jumlah izin), lemahnya standarisasi (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria/NSPK), inefisiensi layanan dan korupsi perizinan tetap saja jadi tantangan utama berusaha.
Peringkat kemudahan investasi memang membaik, namun fase memulai usaha dan mendirikan bangunan justru nyaris tak berubah lantaran inefisiensi prosedur, waktu dan biaya pengurusan izin. Demikian pula, perizinan jadi area rawan korupsi kepala daerah dan aparat birokrasi yang berwenang atas izin lokasi, peruntukan lahan hingga izin-izin administratif.
Tak pelak, berhasil atau gagalnya pelaksanaan PTSP sangat ditentukan faktor kepemimpinan kepala daerah. Kekuatan personal lebih determinan ketimbang reformasi berbasis sistem yang didesain kokoh dan berkelanjutan. Kaburnya standarisasi nasional kian memperumit situasi lantaran memunculkan variasi lokal ekstrem dalam praktik. Pelaku usaha tergiring ke titik serba tak pasti.
Mereka mengalami cara kerja berbeda antardaerah karena lemahnya acuan standar layanan, kesinambungan reformasi tak terjamin lantaran bergantinya kepemimpinan, jeratan hukum terus mengintai saat terpaksa mencari jalan pintas “membeli” karcis perizinan ke kepala daerah, dan seterusnya
Dalam semesta persoalan itu, paruh kedua 2018 muncul OSS sebagai platform main baru. Target meringkas prosedur regulasi dan perizinan pada fase memulai usaha terbilang cukup berhasil. Sejumlah 463 (termasuk 16 lokasi studi KPPOD) dari 542 daerah di Indonesia telah menerbitkan Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai output pertama lembaga OSS.
Dalam hitungan jam saja, TDP hingga akses kepabeanan diperoleh sekaligus. Saban hari OSS juga melayani ribuan permintaan registrasi, aktivasi akun, izin usaha dan izin operasional/komersial. Dalam kurun setahun, capaian elementer itu menjadi prestasi utama.
Namun, tampaknya, itu pula satu-satunya. Selebihnya adalah tantangan dan segala perkara teknis hingga politis. Pada level pusat, integrasi layanan perizinan kementerian/lembaga sektor dengan sistem OSS belum optimal. Integrasi horizontal izin industri (IUI) hingga izin pariwisata (TDUP) sulit berjalan penuh. Integrasi dengan sistem OSS sebatas saat awal mengurus izin, selanjutnya tetap mengikuti aturan main rezim sektoral. Juga muncul izin tambahan baru yang justru ingin dihapus sistem OSS: SIMBG (Kementerian PUPR), SIINas (Kementerian Peridustrian), KKP (BPN), dll.
Terobosan fundamental
Fragmentasi di pusat mengalir ke daerah. Selain pemda bingung namun wajib mengikuti K/L, mereka juga memiliki aturan main sendiri mewarisi tata kerja lama (pra-OSS), termasuk aplikasi digital yang amat berbeda dari aplikasi tunggal (SiCANTIK) sebagai prasyarat mewujudnya “Satu Sistem, Satu Data”. Selain Sidoarjo, tak satupun daerah tuntas bergabung ke dalam platform nasional itu. Di luar pengurusan SIUP, Provinsi DKI Jakarta tetap sepenuhnya menggunakan JakEvo. Jika kota-kota bisnis utama seperti Surabaya (SSW), Medan, Pontianak, Mataram hingga Makassar juga nyaris tak bergerak maju, gampang ditebak kejadian di kabupaten seperti Toba Samosir, Deli Serdang, Kubu raya, Lombok Tengah, Maros, dan lainnya.
Lebih serius lagi, pemda menguasai sejumlah peizinan kunci. Jika mereka mengunci izin lokasi, bangunan dan izin lingkungan maka pelaku usaha sulit memproses pemenuhan komitmen dan memperoleh “izin efektif” untuk beroperasi sah. Pengusaha tidak saja lalu dibuat bingung tapi merasa terperangkap dalam jebakan perizinan. Mereka didorong masuk secara gampang saat mengurus NIB, namun setelah ada dalam lapangan permainan, aturan mainnya berbeda antara sistem OSS dengan rezim sektoral dan pemda. Frustrasi dan resistensi atas OSS bermunculan.
Dengan sketsa masalah di atas, solusi fundamentalnya jelas: Tata ulang strategi perubahan. Jika deregulasi, debirokrasi dan digitalisasi diterima sebagai paket lengkap reformasi perizinan, prioritas dan sekuens haruslah tepat.
Saat ini intervensi pemerintah itu menyasar ke arena debirokrasi dan digitalisasi. Yang terjadi, integrasi tata laksana (OSS) dan platform digital (SiCANTIK) sulit efektif lantaran substansi perizinan masih menyebar dan dikuasai rezim sektoral dan pemda. Sebagai pemangku otoritas, kementerian (memiliki UU bidang/sektor hingga NSPK) dan pemda (memiliki perda hingga prosedur standar operasional/SoP) sangat berkuasa membelokkan aturan main atas dasar alasan apa saja.
Mestinya yang diintegrasikan adalah isi kebijakan, sementara cara pelaksanaan (administrasi) dilakukan secara terpusat atau diserahkan ke pemda. Di sini, suatu UU sapu jagat (omnibus law) jelas urgen kehadirannya. Pertama, level produknya adalah UU lantaran hampir semua izin di negeri ini dipayungi UU.
Kedua, kedudukannya sebagai UU pokok, bahkan sebagai satu-satunya yang mengatur perizinan. Ketiga, subtansinya mengatur jumlah/jenis izin dalam menu daftar tertutup (closed list system) sehingga segala diskresi di luar daftar tersebut, entah di kementerian maupun pemda, wajib dinilai bukan izin atau izin liar. Keempat, yang diatur jumlah/jenis izin, sementara pemberian izin diserahkan kepada level pemerintahan sesuai jenjang kewenangannya.
Usulan pembuatan omnibus law ini sekaligus jadi momentum integrasi (rekodifkasi) dan rasionalisasi berbagai jenis izin yang menyebar di 70 UU sektor yang menghambat investasi (Kompas, 13-14/9/2019). Implikasinya jelas, UU tersebut nanti bertujuan memberi kepastian soal jenis izin dan mengurangi jumlahnya ke ukuran proporsional.
Jangan sekali-kali menarik otoritas penyelenggaraan yang mesti tetap dimiliki daerah otonom. Sulit diabaikan, kesan resentralisasi ini menjadi salah satu alasan pemda bersikap setengah hati menerapkan OSS lantaran urusan yang menjadi induk dari perizinan justru sudah diserahkan ke provinsi dan kabupaten/kota (UU No 23/2014). Presedennya bisa merujuk pengalaman membenah pajak/retribusi daerah.
Selama dekade pertama otonomi, menjamur pungutan yang membuat ekonomi berbiaya tinggi (transaction cost). Munculnya omnibus law perpajakan daerah (UU No 28/2009) menghilangkan aneka jenis pungutan yang ada di UU sektoral, menutup ruang pungutan baru, serta lewat pemakaian closed list system terjamin kepastian bagi pembayar pajak ihwal jumlah pajak/retribusi, obyek pungutan dan struktur tarif.
Kini, di dekade kedua ini, kita jarang dengar munculnya pungutan aneh-aneh, sementara pemda tetap otonom melaksanakan administrasi pungutan berdasar kebijakan perpajakan yang diatur UU tunggal itu.
Pada koin yang sama, agenda fundamental lain ialah jaminan kepastian lahan sebagai basis lokasional perizinan. Fitur peruntukan (location tagging) dalam sistem OSS tidak berfungsi optimal lantaran hanya 43 daerah yang memiliki Rencana Detil Tata Ruang (RDTR); lebih sedikit lagi yang memiliki RDTR digital.
Ketidakpastian menghantui pihak penyelenggara layanan dan penerima izin lantaran tiadanya kejelasan blok/persil peruntukan sebagai acuan izin lokasi. Sebagian pengusaha, pemda, perbankan atau notaris masih belum yakin akan kedudukan hukum dari produk OSS, khususnya izin usaha hingga produki/komersial. Maka, dalam UU Perizinan baru nanti, tata ruang harus berstatus clear-and-clean, sebagai syarat mutlak dalam setiap izin berbasis lahan atau memiliki ekternalitas lingkungan.
Pada awal periode kedua nanti, Presiden mesti menata ulang arah reformasi struktural. Jelas, tak cukup lagi langkah inkremental, apalagi tambal sulam. Kita butuh terobosan fundamental dan menyeluruh bagi Indonesia yang tangkas dan unggul. Hal itu mulai dari merajut fragmentasi dan disharmoni semua lini ekosistem investasi hari ini.
Sosok pemimpin perubahan, presiden tanpa beban, mesti hadir dalam aksentuasi lebih kuat lagi. Selebihnya teknokrasi dan strategi reformasi yang tepat prioritas, dijalankan konsisten, diawasi ketat.
(Robert Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Jakarta)