Reformasi hukum berupa revisi atau perumusan legislasi dan kebijakan baru adalah suatu keniscayaan mengingat masyarakat yang berubah dan selalu butuh hukum baru. Namun, gerakan protes masyarakat sipil terhadap sejumlah produk legislasi belakangan ini mengingatkan kita, hukum tak berada di ruang steril parlemen saja.
Fenomena ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat—kabar baik bagi demokrasi Indonesia—terlepas dari ekses munculnya penumpang gelap. Atau menunjukkan adanya perlawanan akibat ketidakpercayaan terhadap lembaga legislatif.
Proses perumusan hukum tak hanya butuh legalitas formal, tetapi juga legitimasi sosial. Bagaimanakah suatu perumusan hukum seharusnya dibuat agar memenuhi prinsip legalitas formal dan legitimasi sosial sekaligus?
Hukum dan masyarakat
Mahasiswa hukum tingkat awal percaya bahwa hukum dibuat untuk melindungi masyarakat dari perbuatan jahat dan serakah serta mendistribusi keadilan. Ketika sudah dapat kuliah Filsafat Hukum dan Sosio-legal, berkenalan dengan Teori Hukum Kritis barulah ia mengerti hukum bisa disalahgunakan untuk mendefinisikan kekuasaan sekelompok pemilik kuasa atau uang, dengan cara menguasai mayoritas orang yang tak punya kuasa (Hunt, 1986; Unger, 2015).
Caranya, dengan membangun kesadaran palsu, misalnya mengatakan semua prosedur legal formal sudah tepat. Celakanya, banyak realitas hukum di Indonesia bisa jadi contoh jitu untuk membenarkan asumsi dasar teori itu.
Tak heran jika produk legislasi yang kental nuansa politiknya kehilangan legitimasi sosial. Padahal, jika suatu produk undang-undang disahkan, ia langsung mengikat setiap warga negara dan berdampak luas terhadap hidup mereka.
Di antaranya adalah RUU yang berpotensi mengancam hilangnya ruang hidup berupa sumber daya alam (tanah, air, mineral); intervensi negara pada ruang privat dan relasi sosial; dan yang terheboh adalah revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga paling dipercaya rakyat hari ini. Contoh produk legislasi di bawah undang-undang adalah 421 perda yang mendomestikasi perempuan, dan tak bisa dibekukan oleh Mendagri sekalipun (Komnas Perempuan, 2018).
Dalam perspektif kritikal juga disoroti prioritas isu hukum. Mengapa berbagai RUU bisa disegerakan pengesahannya sekaligus? Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) harus dikecualikan di sini. Sementara UU yang ditunggu masyarakat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sudah tiga tahun hanya membahas soal judul saja, padahal menurut data setiap 30 menit ada dua korban kekerasan seksual di Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah hukum memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman dan realitas masyarakat; apakah hukum menguntungkan atau merugikan, dengan cara apa, dan berdampak terhadap kelompok yang mana?
Berbagai peraturan mengamanatkan pembuatan hukum di tingkat mana pun harus didasarkan naskah akademik. Pertanyaan metodologisnya, apakah penelitian atau assessment dasar naskah akademik dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kualitasnya?
Atau sekadar formalitas, karena sudah jadi rahasia umum penelitian sosial di instansi pemerintah tak boleh melebihi batasan administratif lima hari. Padahal, penelitian masalah sosial dan kemanusiaan tak bisa ”kilat”, apalagi studi kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Studi harus sampai menghasilkan narasi pengalaman, realitas, dan world view warga masyarakat terkait isu yang ditanyakan. Selanjutnya apakah sudah diadakan analisis dampak kebijakan atau regulation impact analysis (RIA) pada RUU agar produk UU tak bertentangan dengan rasa keadilan.
Buruknya kualitas produk legislasi dan kebijakan juga terlihat dari banyaknya temuan sains dan teknologi dalam bidang pangan, energi, kesehatan, otomotif, kelautan yang tak bisa dikembangkan untuk dinikmati masyarakat karena terkendala regulasi. Demikian pula ada berbagai hasil inovasi dan kreativitas ilmuwan yang kelanjutannya dibatasi regulasi.
”Rule of law” (RoL)
Penting menguji apakah suatu perumusan hukum sudah memenuhi RoL, suatu konsep payung yang dibutuhkan untuk melindungi warga negara terhadap kekuasaan negara. RoL diartikan sebagai negara hukum (Indonesia), rechstaat (Jerman, Belanda), atau état de droit (Perancis).
Pemahaman RoL terus berkembang karena berbagai perdebatan terutama tentang fungsinya, apakah RoL hanya bertujuan melindungi warga negara terhadap negara, atau juga meliputi perlindungan antarwarga terkait hak dan kepemilikan. Substansi RoL dikelompokkan dalam tiga kategori (1) prosedural, (2) substantif, (3) mekanisme kontrol, yang masing-masing elemennya merupakan hasil perdebatan panjang (Bedner, 2010).
Dalam kategori prosedural dipersyaratkan negara harus diatur oleh hukum, bukan oleh perseorangan, dan pemerintah harus patuh pada hukum. Di sini ada elemen legalitas formal yang mensyaratkan hukum harus jelas, berkepastian, dapat diakses, diprediksi, dan dapat diterapkan luas. Elemen terakhir adalah demokrasi, yang diartikan tak harus suara terbanyak yang dimenangkan apabila menyangkut isu keadilan dan kemanusiaan.
Sejumlah syarat ini harus dipenuhi agar hukum efektif melindungi warga negara dari kekuasaan negara yang berlebihan. Kategori substantif mensyaratkan hukum dan interpretasinya harus mengacu pada prinsip keadilan, fairness dan due process of law.
Berdasarkan perdebatan teoretis, elemen berikutnya hukum harus mengandung (1) perlindungan hak individual, hak dasar politik dan hak atas kepemilikan; (2) perlindungan hak asasi kelompok. Terakhir, kategori mekanisme kontrol mensyaratkan akses bagi pihak yang bersengketa terhadap independensi peradilan. Hari ini kontrol kekuasaan tak hanya terbatas Trias Politica, tetapi sudah berkembang melahirkan Ombudsman, Tribunal, berbagai komisi termasuk Komnas HAM dan KPK.
Berdasar tiga kategori RoL ini bisa diperiksa apakah suatu produk legislasi memenuhi persyaratan. Jika sampai menimbulkan protes (keras) warga, berarti ada yang salah dengan penerapan RoL. Hari ini konsep RoL dilanjutkan kajian dan penerapannya melalui konsep akses keadilan, khususnya bagi kelompok terpinggirkan.
Hukum mengatur apa yang boleh dan tak boleh dalam relasi antarmanusia. Melalui teks hukum diformulasi cita-cita, filsafat, dan ruh keadilan yang dibutuhkan sebagai pedoman hidup bermasyarakat atau penyelesaian sengketa.
Namun, ada jarak antara norma hukum sebagai cita-cita dan keadilan substansial dalam praktik. Padahal, hukum adalah determinan faktor bagi hampir semua persoalan yang luas. Untuk mendekatkan jarak itu, kajian hukum butuh perspektif lintas disiplin. Ilmuwan hukum bidang tertentu harus berkolaborasi dengan ahli bidang hukum lain, atau ilmuwan sosial humaniora.
Gerakan masyarakat sipil menolak produk legislasi memperlihatkan bahwa persoalan hukum tak bisa didekati secara tekstual dan dogmatik saja. Kata-kata dalam pasal tak bisa diperdebatkan secara black lettersaja, seolah tak ada ruang untuk berkontemplasi dan mempertanyakan hukum itu untuk siapa?
Padahal, hampir mustahil memisahkan hukum dari masyarakat, kebudayaan, politik, dan ekonomi karena di dalamya terdapat berbagai sektor tumpuan hajat hidup orang banyak. Hukum tidak dapat dikaji dalam ruang kosong, terlebih ketika masyarakat berkembang sangat cepat berkat teknologi digital, maka bantuan sains dan teknologi menjadi penting bagi studi hukum.
Reformasi hukum adalah soal pembangunan hukum yang bertujuan memberi keadilan secara afirmatif bagi kelompok marjinal pencari keadilan. Sejarah pembangunan hukum di Indonesia, sebagaimana di negara lain, memperlihatkan kegagalannya (Caroters, 2006; Golub, 2006).
Desain pembangunan hukum dibuat top down, didesain oleh para elite, tanpa pengetahuan yang memadai tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat. Proses pembuatan hukum yang mengabaikan realitas masyarakat, bahkan merugikannya, bertentangan dengan prinsip negara hukum, rule of law. Tentu saja membahayakan masa depan Indonesia, negara demokrasi Islam terbesar yang selama ini dikagumi dunia karena dianggap mampu merawat keragaman; yang ternyata lemah dalam mengimplementasi rule of law.
(Sulistyowati Irianto ; Guru Besar Fakultas Hukum UI)