Memangkas birokrasi pemerintah bakal dilakukan oleh pemerintahan baru pimpinan Presiden Jokowi pada periode masa jabatan kedua, 2019-2024 ini.
Memangkas birokrasi, istilah populernya melakukan reformasi birokrasi pemerintah. Melakukan reformasi itu suatu upaya yang tak pernah berhenti, upaya yang terus-menerus dilakukan. Melakukan reformasi, tidak pernah lewat dari keinginan setiap rezim untuk mewujudkannya — mulai   dari zaman Bung Karno, era Presiden Soeharto, sampai sekarang ini — tetapi hasilnya  selalu ingin direformasi lagi dan berlanjut pada reformasi-reformasi birokrasi berikutnya.
Kapan reformasi itu bisa dinikmati sebagai suatu sistem pemerintah yang “clean and good governance” (bersih dan mencerminkan tata kelola yang baik)? Sistem yang ada sekarang belum bisa dikatakan excellence. Birokrasi pemerintah ini masih tetap besar dan tidak ramping, cekatan, mudah dan gemar melayani keinginan masyarakat. Dinamika pelayanan publik atau masyarakat bergerak maju mundur. Semenjak dulu, birokrasi pemerintah tugas pokoknya adalah melayani keinginan masyarakat, bukan melayani kemauan pejabat. Akan tetapi tugas pokok pelayanan publik masih harus direformasi.
Pelayanan masyarakat masih jauh dari yang diinginkan. Sistem birokrasi kita justru semakin nampak mengikuti kekuasaan penguasa. Semenjak era reformasi tahun 1999 dan semenjak tata sistem demokrasi dijalankan dengan baik, pertumbuhan partai politik semakin berkembang. Keterlibatan partai politik dalam sistem birokrasi pemerintah semakin intensif. Dalam ciri pemerintahan demokrasi, hadirnya partai politik memimpin sistem birokrasi tidak bisa kita dihindari, sedangkan sistem birokrasi itu sebelumnya dipimpin oleh para pejabat birokrat. Semenjak hadirnya partai politik memimpin birokrasi, belum pernah dipikirkan bagaimana sistem tata kerja antara pejabat politik yang memimpin sistem birokrasi dengan pejabat birokrat yang sehari-hari  melaksanakan sistem birokrasi. Maka dikenal adanya dua nomenklatur jabatan pimpinan. Yang yang satu disebut Penguasa dan satunya dikenal sebagai Administratur.
Penguasa menunjukkan jabatan yang dipimpin oleh partai politik yang disebut political appointee, dan Administratur dijalankan oleh birokrat karier dalam sistem pemerintahan. Dalam reformasi birokrasi, perlu dipikirkan untuk membangun peraturan perundangan — bisa berupa undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah — yang mengatur hubungan kerja antara jabatan politik dan jabatan karier birokrasi pemerintah, sehingga bisa menunjukkan  tidak sebagai hubungan antara atasan dan bawahan  tetapi merupakan  sistem hubungan mitra kerja yang menunjukkan adanya prinsip co equality with the executive.
Potong eselon birokrasi
Dalam reformasi birokrasi yang sekarang ini, pemerintah akan memotong eselon atau susunan dan struktur lembaga birokrasi pemerintah. Ciri sistem birokrasi ciptaan Mac Weber ini memang disusun melalui jalur eselon atau tingkatan dari masing-masing posisi atau jabatan. Dengan demikian eselonisasi birokrasi menjadi ciri karakteristik yang membuat cantiknya birokrasi, tetapi sekaligus juga menjadi masalah pokok yang menjadikan sistem birokrasi menjadi birokratis dan banyak dikecam masyarakat. Apalagi dengan pejabat yang memegang posisi jabatan lebih banyak menggunakan kekuasaan jabatannya bukan untuk melayani masyarakatnya.
Di Indonesia, eselonisasi birokrasi yang kita kenal sekarang mulai dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto dengan susunan lima tingkatan. Masing-masing diberi nomenklatur eselon satu sampai eselon lima. Eselon satu yang tertinggi dan eselon lima yang terendah. Untuk masing-masing tingkatan eselon itu ditetapkan besar kecilnya tunjangan jabatan. Hal ini yang membuat mewahnya jabatan eselon  pada waktu itu karena selain menunjukkan  wibawa kekuasaan, juga menggambarkan fasilitas tunjangannya.
Di dunia internasional, menurut sejarah, eselonisasi birokrasi sudah dilakukan di era Dinasti Qin dan Han di China.  Dinasti ini semula yang mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan. Dalam upaya menjalankan pemerintahan di wilayah kekuasaan kerajaan yang semakin luas, pemerintah Dinasti Qin dan Han  menghadapi ruwetnya jaringan jabatan yang semakin  kompleks.
Prospektif jabatan yang tidak terbatas bisa diisi oleh calon dan  mobilitas pejabat pemerintah. Tingkatan atau ranking jabatan   harus ditetapkan dengan melakukan sistem merit  tersebut. Akhirnya  ditetapkan  sistem Sembilan Tingkatan Jabatan (nine-rank system) yang dibentuk oleh tiga dinasti kerajaan setelah Dinasti Qin dan Han. Dari China ini  konsep sistem merit eselonisasi  jabatan birokrasi kemudian diadopsi negara lain: dipergunakan di British India di abad ke-17 dan kemudian menyebar ke daratan Eropa dan Amerika.
Di Indonesia, semenjak pemerintahan di awal kemerdekaan sampai sekarang, telah dikenal dan dilaksanakan pula eselonisasi jabatan birokrasi. Akan tetapi, pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan oleh disiplin ilmu meritokrasi. Eselonisasi jabatan  membuat lambatnya proses pemberian pelayanan kepada masyarakat. Selain itu eselonisasi birokrasi, semenjak dipimpin oleh pejabat politik (political appointee) yang berasal dari partai politik, lebih banyak menekankan pada kekuatan kekuasaan dari posisi jabatan tersebut, ketimbang pelayanan atau pengabdian kepada masyarakat.
Berdasarkan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), sebenarnya eselonisasi birokrasi sudah tidak dipergunakan lagi. Jabatan birokrasi ASN dibagi atau dikelompok menjadi tiga jabatan. Kelompok pertama, jabatan eksekutif (isinya dulu ditempati mantan eselon I dan 2). Kedua, jabatan administrasi. Ketiga, jabatan fungsional. Tidak dikenal lagi eselonisasi.
Jika nanti akan dipotong menjadi dua eselon saja, perlu diperjelas bagaimana struktur birokrasi bagi tiga kelompok  jabatan tersebut. Sebenarnya menghadapi perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang sarat dengan teknologi informasi digital — di mana sistem pelaksanaan kerja birokrasi sangat ditentukan oleh pertumbuhan kecepatan teknologi informasi  — susunan eselonisasi itu tak lagi diperlukan karena kerja informasi sangat cepat dan  bisa merembes ke semua bidang dan posisi jabatan birokrasi.
Karena itu, untuk mendukung langkah memotong eselon, perlu dilakukan upaya memperkuat sistem birokrasi pemerintah. Caranya, dengan meningkatkan kecakapan pelayanan masyarakat dengan memperkuat sistem digital teknologi  informasi seperti sistem komputerisasi, kecepatan internet, layanan daring, pelayanan WhatsApp. dan sejenisnya
Hambatan pemangkasan
Reformasi birokrasi pemerintah akhir-akhir ini mengalami hambatan karena lembaga birokrasi kita ini terlalu besar. Semenjak dipimpin oleh pejabat politik, tata kelola sistem birokrasi sangat menekankan pada kekuasaan sehingga melupakan sistem pemberian pelayanan masyarakat. Karena partai politik itu menurut Bung Karno adalah kekuatan kelompok orang-orang politik untuk mencapai kekuasaan, melaksanakan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Konsep Bung Karno itu  sampai sekarang masih dipergunakan.
Karena sistem birokrasi pemerintah dipimpin pejabat politik dari partai politik, maka kekuasaan itu sangat menonjol. Pelayanan masyarakat bisa terhalang karena terhambat pendekatan kekuasaan dan belum tertatanya sistem  pembagian kerja antara jabatan politik dan administratur karier birokrasi dalam peraturan perundangan.
Dulu, di sistem pemerintah Soeharto, pejabat eksekutif yang memimpin lembaga negara — baik di kementerian maupun di lembaga negara lain— disebut pejabat negara bukan pejabat politik yang bekerja atau mengabdi kepada negara untuk seluruh rakyat Indonesia. Di Amerika Serikat ada UU tentang lembaga  yang memproteksi pelaksanaan sistem merit. UU ini dikenal dengan sebutan merit system protecting board.
Dalam UU ini dinyatakan bahwa semua pejabat yang berasal dari partai politik, begitu memegang jabatan negara, maka ia tidak boleh membawa  aspirasi dan identitas partai politiknya. Ini merupakan upaya menjamin agar jabatan negara  itu dipakai untuk kepentingan melayani masyarakat luas. Dengan tidak atau belum adanya peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara jabatan politik dan jabatan karier birokrasi, maka bisa dikatakan,  ini hambatan pertama  yang bisa menghalangi pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah.
Hambatan kedua adalah besarnya lembaga birokrasi pemerintah, akibat banyaknya jumlah kementerian negara. Menurut UU Kementerian, jumlah kementerian kita sebanyak 34 kementerian dan kemungkinan bisa ditambah dengan jabatan wakil menteri. Kalau dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN, kementerian di Indonesia terbesar. Malaysia kurang dari 34. Jepang juga tergolong besar, lebih besar dari Indonesia. AS hanya mempunyai 15 kementerian.
Besarnya lembaga kementerian akan membawa dampak pada besarnya birokrasi pemerintah. Besarnya lembaga kementerian ini dikarenakan pembentukan kabinet presidensial telah berubah menjadi kabinet partai politik yang mendukung presiden.  Kalau reformasi birokrasi pemerintahan benar-benar akan dilakukan maka harus dipikirkan untuk merevisi UU Kementerian menuju kabinet presidensial yang ramping, tidak memperbesar kekuasaan partai.
Kabinet yang menekankan zaken kabinet  diisi oleh menteri-menteri yang kompeten ahli dan profesional. Saya teringat dulu ketika  ditunjuk membentuk UU Kementerian di bawah kepemimpinan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kabinet yang kami usulkan itu terdiri dari tiga kelompok kementerian.
Pertama, kementerian yang required atau wajib ada, tidak bisa diubah atau diganti karena keberadaannya disebutkan oleh Konstitusi, seperti Luar Negeri, Dalam Negeri, Pertahanan, Keuangan dan Agama. Kedua, kementerian strategis yang mewadai kebijakan strategis presiden baru yang diwujudkan dalam bentuk kementerian. Jenis kementerian ini bisa diganti, diubah dan dihilangkan kalau presiden baru merasa itu tidak sesuai degan kebijakan strategisnya. Ketiga, kementerian opsional yang sangat tergantung kebutuhan. Kementerian opsional ini bisanya disebut kementerian negara.  Kita dulu mengusulkan jumlah kementerian tak lebih dari 22.
Dengan memerhatikan hambatan-hambatan reformasi birokrasi pemerintah selama ini, semoga reformasi birokrasi yang akan dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua  itu berhasil dengan baik menuju pelayanan masyarakat yang tidak birokratis dan bisa mewujudkan  sistem pemerintahan  yang ramping, cekatan, clean and good governance.
(Miftah Thoha ; Guru Besar ( ret) Universitas Gadjah Mada)