Hari ini, jika kita bertolak dari Sumpah Pemuda 1928, yang salah satunya mencantumkan bahasa Indonesia sebagai identitas negara-bangsa (Indonesia), 91 tahun sudah bahasa Indonesia berusia.

Hampir satu abad ia melekat dalam sejarah bangsa. Dengan itu, sejatinya ia bukan hanya menjadi ”rumah Ada” (being)—meminjam Heidegger (1962)—melainkan menjadi ”darah” yang mengalir dalam tubuh. Bukankah sumpah 91 tahun lalu itu juga merupakan ”sumpah darah”, ikrar yang menumpahkan darah di atas tanah (tanah tumpah darah).
Bahasa Indonesia hadir dalam proses kelahiran sedemikian. Ia adalah salah satu titik awal kita menjadi bangsa. Dengan kata lain, tentang negara bangsa tercinta ini, bolehlah kita berkata: pada mulanya adalah bahasa!
Dalil semiotika politik
Sumpah 28 tersebut sebenarnya bukan bahasa, melainkan tuturan. Setidaknya jika hal ini dirujukkan kepada Barthes (1985) yang membahas konsep bahasa dari Ferdinand de Saussure. Saussure, pelopor teori semiotika itu, membedakan bahasa dari tuturan.
Bahasa adalah sebuah sistem (language), sesuatu yang terletak di dalam kamus, digunakan banyak orang untuk memungkinkan berlangsungnya komunikasi, dan sekaligus meniscayakan para pakar bahasa mempelajarinya sebagai sebuah ilmu.
Adapun tuturan adalah ekspresi (parole), praktik tentang bagaimana bahasa digunakan (Hjemslev dalam Barthes, 1985), sesuatu yang spesifik sekaligus antisistem. Sumpah 28 adalah tuturan perlawanan sekelompok pemuda pada zamannya. Dengan demikian, kala itu mereka justru sekelompok orang yang antibahasa.
Namun, dalam sejarah, faktanya tuturan tersebut membentuk bahasa. Tuturan itu mereka pungut dengan jiwa merdeka dari padang keberanian dan heroisme. Diteriakkan dengan lantang, tuturan itu kemudian membangun sistem. Bukankah, alur sejarah kemudian mengacu kepada tuturan tersebut. Ia mengikat segala pergerakan yang tadinya tercerai-berai, mengikat berbagai suku bangsa menjadi tubuh yang utuh sebagai bangsa, paling tidak, menjadi janin, embrio bagi nasionalisme.
Walhasil, sumpah 28 bukan hanya menciptakan sistem bahasa, melainkan mengonstruksi bangunan yang lebih besar. Sejarah mencatat, sumpah 28 menjadi salah satu tonggak penting ke arah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga ikrar dalam sumpah 28, yakni satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, bermuara pada kesatuan itu. Tiga untuk satu, yakni NKRI. Bahasa, sebagai salah satu poin dalam ikrar tersebut, jelas merupakan satu dari, dalam, dan untuk tiga yang kemudian bermuara pada satu sedemikian.
Pendek kata, sumpah 28 adalah dalil semiotika politik sekaligus kultural tentang satu untuk tiga, tiga untuk satu. Artikulasi lain untuk hal ini kemudian kita temukan dalam dasar negara, pada sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.
Penanda tanpa petanda
Khusus dalam ranah bahasa sebagai sistem, segala hal yang menyangkut tuturan harus bermuara pada kepentingan satu sistem bahasa, yakni bahasa Indonesia. Dari sinilah lahir ”ejaan bahasa”, yakni kaidah tentang bagaimana tuturan harus dirumuskan dengan baik dan benar, baik dalam tulisan maupun lisan.
Dari sini pula tata bahasa baku diformulasi, bahasa mangkus dan sangkil dipolakan, dan seterusnya. Ia bersifat mengikat secara politis sekaligus kultural. Ia wajib dipelajari dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Pada titik itu sudah sangat layak kita menghargai para ahli bahasa Indonesia, menempatkan mereka pada posisi terhormat. Segala hal yang telah diupayakan para ahli bahasa, terlepas dari segala kekurangannya, adalah ikhtiar untuk merawat keberlangsungan negara-bangsa. Mereka terus-menerus memompakan darah segar ke dalam tubuh bangsa ini.
Tuan boleh berbicara pendidikan karakter, tetapi itu tidak akan berarti apa-apa tanpa memperhatikan bahasa Indonesia. Tuan boleh berdiskusi soal keberagaman dan toleransi, tetapi itu hanya isapan jempol jika tanpa menghormati bahasa Indonesia. Tuan boleh berbusa-busa berbincang tentang demokrasi, tetapi itu semua akan jadi omong kosong jika tak mengelola bahasa Indonesia.
Tuan juga boleh membuat lembaga mewah untuk memasyarakatkan dasar negara, tetapi itu akan menjadi nol besar tanpa menempatkan bahasa Indonesia sebagai nyawanya. Akan banyak yang hilang jika bahasa hilang, demikian sering dikatakan Guru Besar Astronomi ITB Bambang Hidayat. Kehilangan terbesar dari pengabaian terhadap bahasa Indonesia adalah lenyapnya kebanggaan menjadi bangsa Indonesia itu sendiri.
Faktanya miris. Sejauh ini nasib bahasa Indonesia justru ditempatkan di ujung tanduk. Kita semua tahu belaka bahwa bahasa Indonesia memang masih ada, masih digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, dalam perspektif semiotika, kehadirannya hanya sebagai penanda tanpa petanda.
Meminjam frasa dari Chairil Anwar, bahasa Indonesia hanya rangka. Konsepnya (petanda) yang telah dirumuskan pada sumpah 28 sebagaimana disinggung di atas, telah tercerabut. Paling banter, konsep tersebut hanya menjadi imajinasi para ahli bahasa dan segelintir pemikir pada ranah itu.
Rapuh sejak di dalam jantung
Sangat mudah mengidentifikasi fakta tersebut. Mari kita periksa ihwal ini pada jantungnya, yakni pada kebijakan pendidikan tentang mata kuliah Bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Di luar fakultas bahasa dan sastra, Bahasa Indonesia—sebagai materi  praktik (pragmatik)—hanya merupakan subyek kecil dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum. ”Kastanya rendah,” demikian dikatakan Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB.
Mata kuliah sumbu nasionalisme ini diadakan hanya ”pelengkap penderita”, sekadar memenuhi syarat formalitas, titipan politik dari negara. Oleh sebab itu, bahasa Indonesia rapuh mulai dari ”rumah” calon cerdik cendekia ini. Silakan periksa karya akademik mahasiswa dari semua strata (skripsi, tesis, disertasi) di semua perguruan tinggi. Saya berani bertaruh, lebih dari 60 persen bahasa Indonesia dalam karya tersebut tidak beres.
Hal ini menjadi persoalan kita bersama. Saya tentu tak akan mengusulkan agar bahasa Indonesia dipelajari di semua perguruan tinggi sebagai sebuah ilmu. Akan tetapi, saya pikir penting untuk mengajak para pengelola kebijakan di perguruan tinggi berpikir tentang bagaimana cara menaikkan martabat bahasa ini.
Untuk itu, saya mengajukan semacam proposal agar mata kuliah Bahasa Indonesia tidak diberikan pada tingkat universitas atau institut, melainkan pada tingkat program studi dalam bentuk yang lebih pragmatik, yakni membaca dan menulis, spesifik membaca kritis dan menulis ilmiah.
Mata kuliah ini sejatinya tidak diberikan pada semester pertama di kelas besar (jumlah mahasiswa di atas 30 orang), tetapi pada semester tengah atau menjelang akhir. Saya pikir, cara ini akan lebih bemanfaat daripada model yang sekarang berlangsung, yang hanya menghambur-hamburkan energi.
Persoalan bahasa Indonesia pada level mahasiswa di perguruan tinggi merupakan cermin dari kegagalan serius pelajaran ini pada jenjang pendidikan dasar menengah. Ini persoalan lama. Dan tampaknya hingga sekarang tidak kunjung teratasi. Ke perguruan tinggi, para calon mahasiswa tidak membawa bahasa Indonesia sebagai ”darah merah segar pencatat sumpah” seperti disinggung di bagian awal tulisan ini. Alih-alih demikian, bahasa mereka justru berlumuran darah hitam.
Oleh sebab itu, mau tidak mau, perguruan tinggi harus berusaha mencucinya. Proposal saya tadi kiranya bisa menjadi pertimbangan.
Itulah bahasa Indonesia
Pada level negara, beberapa waktu lalu, pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Secara politik, baiklah kita sambut peraturan ini dengan positif. Paling tidak, negara punya perhatian. Tapi, seperti undang-undang kebudayaan yang heboh itu, peraturan ini tidak berimplikasi kepada hukum.
Oleh sebab itu, saya pikir, pada level praktis ia tidak akan berpengaruh signifikan. Bukankah, misalnya, imbauan agar tidak menggunakan bahasa asing pada nama-nama kompleks perumahan, nama gedung, tulisan di papan nama, dan lain-lain itu sudah sejak zaman Orde Baru? Tidak ada efek apa pun hingga Peraturan Nomor 63 itu diundangkan.
Undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak berimplikasi kepada hukum sejatinya memang berakibat kepada kesadaran. Namun, di tengah-tengah situasi sosial politik kita yang tidak sehat seperti sekarang ini, target demikian hanya harapan kosong. Imbauan yang disistemkan seperti Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tidak akan banyak digubris.
Oleh sebab itu, sambil menunggu sistem demikian diterima dengan kesadaran, sebaiknya kita mengekspresikan banyak tuturan, sebagaimana dilakukan sekolompok pemuda 91 tahun lalu itu. Tidak ada pasal pada Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 yang mengatur agar pelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi diubah polanya sebagaimana saya usulkan tadi.
Artinya, jika perguruan tinggi melakukannya, ia akan menjadi sebuah tuturan, ungkapan yang muncul dari kesadaran, yakni kesadaran untuk memosisikan kembali bahasa Indonesia sebagai ruh NKRI. NKRI harga mati sejatinya adalah tuturan yang menyembur sebagai darah bangsa. Itulah bahasa Indonesia!
(Acep Iwan Saidi, Pembelajar Semiotika-Dosen ITB)