Penyerangan terhadap Menko Polhukam Wiranto oleh tersangka teroris di Pandenglang, Banten, menegaskan sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, bahwa terorisme masih nyata di negeri ini meski usaha pemberantasan sudah terus-menerus dilakukan.
Kedua, penyerangan itu telah menyingkap topeng-topeng kepalsuan begitu banyak wajah. Ada yang selama ini berwajah ksatria, padahal raksasa. Berparas dewi-dewi, padahal sesungguhnya raseksi. Ada yang dikenal santun, saleh, pemaaf, tenyata penjahat, pendendam, dan pengobar permusuhan.
Akan tetapi, tulisan ini tidak hendak membahas hal itu. Tulisan ini lebih mengingatkan sekaligus menegaskan bahwa ancaman terorisme begitu nyata di negeri ini, ada di mana-mana, dalam bentuk beraneka, dan dengan segala macam cara.
Taktik lama
Penyerang Wiranto menggunakan taktik lama. Taktik semacam itu sudah digunakan sejak awal tahun 1948. Ketika itu, sekte Yahudi yang disebut Zealot mengampanyekan aksi terorisme untuk melawan penjajah Romawi di Yudea.
Zealot adalah sekte yang sangat keras menentang dan tidak kenal kompromi terhadap penjajah Romawi yang dianggap kafir. Bahkan, mereka membentuk partai politik yang sangat agresif dan peduli terhadap kehidupan nasional dan keagamaan. Mereka membenci orang-orang Yahudi yang dianggap kurang saleh dan menjalin hubungan dengan pemerintah Romawi.
Saat itulah muncul teror atas nama agama, yang sering disebut teror suci. Terorisme agama oleh para pelakunya dianggap sebagai tindakan transendental. Tindakan itu, mengutip Gerard Chaliand dan Arnaud Blind, ed, (2007) dibenarkan oleh otoritas agama dan diyakini menjadi instrumen ilahi. Bagi mereka, jumlah dan identitas korban tidak penting.
Fenomena historis ini terjadi pada abad pertama yang dilakukan oleh kaum Zealot. Mereka merupakan—yang kemudian disebut kaum Secarii—kelompok teroris pertama yang melakukan teror secara sistematis, seperti dijelaskan sejarawan Flavius Josephus dalam Jewish Antiquities (93-94 Masehi). Di Yudea, para teroris itu mengobarkan perlawanan, antara lain dengan membunuh.
Flavius Josephus inilah yang pertama kali menggunakan kata secarius(secarii, kalau jamak). Kata secarius adalah bahasa Latin yang berarti pembunuh yang bekerja diam-diam dengan bersenjatakan pisau belati. Ini sebenarnya merupakan teror atas nama agama meskipun Josephus menyebut mereka sebagai bandit.
Pada masa itu, Rex A Hudson (1999) dan Robert A Pape (2005) menjelaskan, para Secarii ini menyusup ke kota-kota yang dikuasai Romawi. Mereka membunuh orang-orang Romawi dan mereka yang dianggap berkolaborasi dengan Romawi. Selain membunuh, mereka juga menculik para penjaga tempat ibadah untuk menuntut tebusan atau menggunakan racun dalam jumlah besar dengan tujuan banyak orang yang mati keracunan.
Di zaman lain, menurut Gerard Chaliand dan Arnaud Blind, muncul teroris serupa Secarii dari Sekte Ismaili yang disebut Assassin di Persia dan Suriah pada abad 11-13.
Mereka membunuh para tokoh politik. Sama dengan para Secarii, para Assassin membunuh korbannya dengan pisau belati di pasar-pasar dan masjid-masjid. Para Assassin masih beroperasi zaman Perang Salib.
Menurut Robert A Pape, kaum Zealot dan Secarii ini menerapkan strategi kekerasan untuk memancing pecahnya pergolakan besar di antara penduduk Yahudi melawan pemerintah penjajah Romawi.
Taktik ini berhasil mengobarkan pemberontakan, yakni dengan pecahnya Perang Yahudi (66) yang berujung dengan dihancurkannya Kenizah Jerusalem (70), dan pembuangan orang-orang Yahudi. Sementara sejumlah anggota kaum Zealot dan Secarii di bawah pimpinan Eleazar memilih mati bersama di Benteng Masada (73).
Abad informasi
Di awal abad pertama, sasaran para Secarii adalah para pejabat pemerintah penjajah Romawi dan kaum kolaborator (sasaran kaum Assassin, tak jauh berbeda).
Sejak awal didirikan, menurut Gerard Chaliand dan Arnaud Blind, organisasi Zealot memiliki dua tujuan. Sebagai organisasi keagamaan, mereka berusaha untuk memaksakan praktik beragama yang keras dan kaku. Misalnya, mereka menyerang orang Yahudi lain yang dianggap tidak cukup menunjukkan kesalehan. Sebagai organisasi politik, Zealot berusaha membebaskan Yudea dari penjajahan  Romawi. Namun, tujuan keagamaan partai tidak dapat dipisahkan dari tujuan politik.
Dulu, mudah untuk menjawab pertanyaan mengapa memilih jalan menjadi teroris. Sekarang, tidak mudah menjawab pertanyaan mengapa orang meninggalkan lingkungan masyarakat umum dan memilih menjadi teroris. Kini, terorisme selalu merupakan hasil dari sejumlah faktor. Tidak hanya karena alasan psikologis, tetapi juga ekonomi, politik, agama, dan sosiologis. Terorisme tidak bisa dijelaskan dengan satu sebab.
Namun, praktik para teroris yang paling menonjol adalah—termasuk teroris internasional—berusaha untuk mengirim pesan ideologis atau agama dengan meneror masyarakat umum. Melalui pilihan target mereka, yang sering simbolis atau mewakili negara yang dituju, teroris berusaha menimbulkan dampak yang sangat menonjol, sangat nyata pada target mereka.
Di era informasi dan komunikasi massa sekarang ini, yang sangat penting bukan hanya skala dampak kekerasan teroris bersenjata, korban manusia, dan  materialnya langsung, tetapi juga tindakan mereka akan menimbulkan destabilisasi terhadap keamanan nasional, internasional, dan menebar ketakutan kepada publik sehingga memengaruhi situasi politik.
Kesan itu, sekurang-kurangnya, yang ingin disampaikan kedua penyerang Wiranto di Pandeglang. Mereka ingin menunjukkan bahwa pandangan atau kebijakan korban bertentangan dengan mereka. Pesan itu menyebar cepat terutama lewat media dan media sosial.
(Trias Kuncahyono, Wartawan Kompas 1988-2018)