MEDIA DAN POLITIK PASCAKEBENARAN
Oleh : ASHADI SIREGAR
KOMPAS, 26 Oktober 2019
Di mana posisi media jurnalisme pada era pascakebenaran?
Pascakebenaran bertumpu pada dunia alam pikiran, khususnya keyakinan emosional,
bukan pada kebenaran yang berasal dari realitas empiris. Dapat disebut juga
pascafakta, merupakan gelombang yang menggempur keberadaan media jurnalisme
yang bergerak pada dan untuk kebenaran faktualias.
Tadinya basis kebenaran faktualitas ini merupakan keadaan
yang tak boleh tidak sebab berada di ruang yang menuntutnya begitu. Bagi media
jurnalisme, jika tak kamu penuhi, kamu mati!
Ekspektasi publik didorong rasionalitas-obyektivitas adalah
sebagai dasar menemukan kebenaran faktualitas. Bahkan, pada saat media pers
Indonesia mendapat represi negara di era Orde Baru sehingga terkendala dalam
kerja obyektivitas jurnalisme, khalayak media rela dengan upaya intelektualnya
”mencari di antara baris” (read between the lines) demi mendapat kebenaran
faktualitas.
Sekarang kebalikannya, tak ada kendala dari represi negara
yang menyebabkan media pers harus bergerilya dan zig-zag bak kepiting dalam
menyampaikan fakta dalam asas kebenaran. Akan tetapi, kecenderungan publiklah
yang berubah.
Tuntutan publik bukan lagi
informasi obyektif yang menuntunnya pada kebenaran dari realitas
empiris, melainkan pada konten media yang hanya berkesesuaian dengan emosi
subyektivitasnya. Istilah informasi, kini diganti dengan konten. Ini membawa
implikasi pada filosofi dari informasi sebagai pesan (message). Karenanya,
orientasi pada kebenaran faktualitas menjadi pilihan etis, bukan lagi
implementasi fungsi institusional media jurnalisme.
Politik pascakebenaran berlangsung saat kontestasi dengan
kompetisi pihak-pihak. Dengan pascakebenaran pada Pilkada DKI dan Pilpres 2014,
kontestasi ternyata tak hanya selesai dengan kompetisi antarkontestan.
Sepanjang masa kampanye, publik di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya
terbelah dengan kubu orientasi emosi yang melekat pada kedua pihak.
Tadinya dikira, setelah berakhir kontestasi, keterbelahan
akan hilang sehingga publik kembali terintegrasi. Namun, ternyata kondisi ini
tetap berkelanjutan hingga Pilpres 2019 dan setelahnya. Masing-masing kubu
tetap memelihara alam pikiran yang mengabaikan kebenaran faktualitas.
Pendompleng
Dalam kondisi ini, kelompok yang berorientasi menegakkan
negara berbasis agama (khilafah) di Indonesia, baik terbuka maupun
berkamuflase, mendapat tempat sebab waham pascakebenaran merupakan ruang yang
sesuai. Pendengungnya (buzzer) berperan sangat giat dari awal sebelum
kontestasi dan memeliharanya setelah pemilu usai melalui medsos dan ceramah di
majelis dan masjid yang berhasil dikuasai.
Tak pelak, kelompok yang berseberangan akan memelihara alam
pikiran pascakebenaran pula sebab hanya dengan itu orientasi pada negara
khilafah diimbangi. Emosi dilawan dengan emosi sebab rasionalitas kebenaran
faktualitas tak berdaya. Artinya, pascakebenaran yang berbasis pada
subyektivitas emosional tidak lagi dapat diatasi dengan obyektivitas kebenaran
faktualitas.
Dengan menyadari keterbelahan dalam iklim pascakebenaran,
setiap pemberitaan menyangkut pihak dari masing-masing kubu akan disikapi lawan
dengan kebenaran subyektif yang didorong emosi. Maka, dalam mengamati kedua
kubu, akan menarik untuk berfokus pada kiprah Prabowo Subianto.
Apakah dia dapat menangkap, dalam keterbelahan
berkepanjangan ini, kubunya didomplengi kelompok yang berorientasi negara
khilafah?
Karenanya, arah politiknya yang mendekat pada Presiden
Jokowi dapat dilihat bukan sebagai ambisi personal pada jabatan. Sebagai
seorang nasionalis dan berasal dari latarbelakang keberagaman, tentu dia tak
dapat menerima Indonesia jadi negara khilafah. Usahanya mendekatkan kubunya ke
Jokowi akan menghentikan keterbelahan publik Indonesia, membuat pendukung
negara khilafah gigit jari.
Masalahnya, apakah pendukung Jokowi menangkap kondisi ini
ataukah akan tetap dengan waham pascakebenaran dengan keterbelahan publik?
Politik pascakebenaran dalam menghadapi keterbelahan macam apa lagi?
Tentu rekonsiliasi yang dapat melebur keterbelahan dunia
publik Indonesia menyebabkan kelompok berorientasi negara khilafah sementara
kehilangan tempat berpijak yang kuat. Mereka harus bertarung sendiri, tak bisa
lagi mendompleng kekuatan besar di kubu Prabowo.
Dengan begitu, nilai pascakebenaran kehilangan ruang
sosialnya. Dan, bagi media pers, akan memudahkan dalam meliput fakta politik
sebab tak perlu khawatir berita negatif, terutama menyangkut rezim Jokowi,
dianggap bertujuan menguntungkan kubu lawan sehingga dibenci kubu pendukung.
Posisi media
Terlepas dari ada atau tidak rekonsiliasi antardua kubu yang
terbelah, masalah bagi media pers tentu berupaya menyampaikan konten yang dapat
diterima semua kubu. Jadi, bukan hanya memenuhi ekspektasi subyektivitas
emosional.
Bagi televisi yang bertumpu pada program untuk mendapatkan
audience share yang tinggi di antara stasiun-stasiun bersaing, tentu tak jadi
soal secara berganti memuaskan masing-masing kubu. Sebab, pengalihan kanal di
ujung jari pada remote control sangat ditentukan emosi dalam menghadapi satu
progam. Dan, audience share ini dilihat dari jumlah penonton di berbagai area
yang didorong preferensi emosional atas satu program, tak mencerminkan
kecenderungan rasionalitas dengan latar sosiologis. Program acara politik yang
mengeksploitasi waham pascakebenaran sangat berpotensi untuk audience share.
Untuk konten, media daring mirip dengan TV sebab
keberadaannya juga ditentukan di ujung jari, yaitu oleh jumlah klik per konten.
Berbeda halnya dengan media cetak, bertumpu pada edisi yang memuat berbagai
konten. Satu konten yang mengulik aspek permusuhan emosi pascakebenaran yang
dimuat pada satu edisi ”merugikan” konten-konten lain di edisi yang sama,
berikutnya membentuk citra untuk beberapa waktu atas brand media.
Memanfaatkan media digital bagi media cetak bukan jalan
keluar jika mengabaikan permasalahan mendasar yang dihadapi media cetak.
Migrasi ini membuatnya terpuruk. Disrupsi digital berbarengan dengan waham
pascakebenaran telah memperburuk kondisi media cetak.
Dari sini, perlu perumusan ulang orientasi media, khususnya
cetak, dalam menghadirkan diri di tengah publik yang berubah di era
pasca-kebenaran. Untuk itu pilihan atas konten dipertajam dengan orientasi pada
kepentingan pragmatis dan psikis atas dunia faktual dan obyektif guna mengatasi
kecenderungan emosional dan subyektif. Untuk itu, kepentingan publik bersifat
otentik akan mengatasi kecenderungan nilai pascakebenaran.
Maka, perlu dipertajam kriteria kelayakan dalam mencari
fakta di ruang publik. Bahwa ruang publik pada dasarnya diisi kegiatan warga
dalam berinteraksi dalam konteks institusi negara, pasar, dan masyarakat sipil.
Artinya, fokus bukan kepada pelaku
institusi negara, pasar, dan masyarakat sipil, melainkan lebih kepada warga
selaku ”konsumen” dari institusi-institusi itu.
Dengan memperbanyak konten yang menggali kepentingan otentik
dari fakta warga, publik pun akan kembali pada kebenaran faktualitas sehingga
menyatukan warga yang tersungkup dalam waham pascakebenaran. Ini jalan
metodologis, melalui jurnalisme dapat mengembalikan fitrah hubungan sosiologis
media pers dan khalayaknya. Bahwa media pers fungsional sebagai sumber
kebenaran faktualitas, bukan untuk pemuasan subyektivitas emosional.
(ASHADI SIREGAR, Pengamat Media)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar