Kamis, 31 Oktober 2019

MEDIA DAN POLITIK PASCAKEBENARAN

MEDIA DAN POLITIK PASCAKEBENARAN

Oleh :  ASHADI SIREGAR

KOMPAS, 26 Oktober 2019



Di mana posisi media jurnalisme pada era pascakebenaran? Pascakebenaran bertumpu pada dunia alam pikiran, khususnya keyakinan emosional, bukan pada kebenaran yang berasal dari realitas empiris. Dapat disebut juga pascafakta, merupakan gelombang yang menggempur keberadaan media jurnalisme yang bergerak pada dan untuk kebenaran faktualias.

Dalam konteks jurnalisme, fakta selamanya berkaitan dengan pihak-pihak yang punya kepentingan berbeda. Karenanya kebenaran faktualitas harus didukung dengan epistem obyektivitas, keberimbangan/tak berpihak dan netralitas.

Tadinya basis kebenaran faktualitas ini merupakan keadaan yang tak boleh tidak sebab berada di ruang yang menuntutnya begitu. Bagi media jurnalisme, jika tak kamu penuhi, kamu mati!

Ekspektasi publik didorong rasionalitas-obyektivitas adalah sebagai dasar menemukan kebenaran faktualitas. Bahkan, pada saat media pers Indonesia mendapat represi negara di era Orde Baru sehingga terkendala dalam kerja obyektivitas jurnalisme, khalayak media rela dengan upaya intelektualnya ”mencari di antara baris” (read between the lines) demi mendapat kebenaran faktualitas.

Sekarang kebalikannya, tak ada kendala dari represi negara yang menyebabkan media pers harus bergerilya dan zig-zag bak kepiting dalam menyampaikan fakta dalam asas kebenaran. Akan tetapi, kecenderungan publiklah yang berubah.

Tuntutan publik bukan lagi  informasi obyektif yang menuntunnya pada kebenaran dari realitas empiris, melainkan pada konten media yang hanya berkesesuaian dengan emosi subyektivitasnya. Istilah informasi, kini diganti dengan konten. Ini membawa implikasi pada filosofi dari informasi sebagai pesan (message). Karenanya, orientasi pada kebenaran faktualitas menjadi pilihan etis, bukan lagi implementasi fungsi institusional media jurnalisme.

Politik pascakebenaran berlangsung saat kontestasi dengan kompetisi pihak-pihak. Dengan pascakebenaran pada Pilkada DKI dan Pilpres 2014, kontestasi ternyata tak hanya selesai dengan kompetisi antarkontestan. Sepanjang masa kampanye, publik di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya terbelah dengan kubu orientasi emosi yang melekat pada kedua pihak.

Tadinya dikira, setelah berakhir kontestasi, keterbelahan akan hilang sehingga publik kembali terintegrasi. Namun, ternyata kondisi ini tetap berkelanjutan hingga Pilpres 2019 dan setelahnya. Masing-masing kubu tetap memelihara alam pikiran yang mengabaikan kebenaran faktualitas.

Pendompleng

Dalam kondisi ini, kelompok yang berorientasi menegakkan negara berbasis agama (khilafah) di Indonesia, baik terbuka maupun berkamuflase, mendapat tempat sebab waham pascakebenaran merupakan ruang yang sesuai. Pendengungnya (buzzer) berperan sangat giat dari awal sebelum kontestasi dan memeliharanya setelah pemilu usai melalui medsos dan ceramah di majelis dan masjid yang berhasil dikuasai.

Tak pelak, kelompok yang berseberangan akan memelihara alam pikiran pascakebenaran pula sebab hanya dengan itu orientasi pada negara khilafah diimbangi. Emosi dilawan dengan emosi sebab rasionalitas kebenaran faktualitas tak berdaya. Artinya, pascakebenaran yang berbasis pada subyektivitas emosional tidak lagi dapat diatasi dengan obyektivitas kebenaran faktualitas.

Dengan menyadari keterbelahan dalam iklim pascakebenaran, setiap pemberitaan menyangkut pihak dari masing-masing kubu akan disikapi lawan dengan kebenaran subyektif yang didorong emosi. Maka, dalam mengamati kedua kubu, akan menarik untuk berfokus pada kiprah Prabowo Subianto.

Apakah dia dapat menangkap, dalam keterbelahan berkepanjangan ini, kubunya didomplengi kelompok yang berorientasi negara khilafah?

Karenanya, arah politiknya yang mendekat pada Presiden Jokowi dapat dilihat bukan sebagai ambisi personal pada jabatan. Sebagai seorang nasionalis dan berasal dari latarbelakang keberagaman, tentu dia tak dapat menerima Indonesia jadi negara khilafah. Usahanya mendekatkan kubunya ke Jokowi akan menghentikan keterbelahan publik Indonesia, membuat pendukung negara khilafah gigit jari.

Masalahnya, apakah pendukung Jokowi menangkap kondisi ini ataukah akan tetap dengan waham pascakebenaran dengan keterbelahan publik? Politik pascakebenaran dalam menghadapi keterbelahan macam apa lagi?

Tentu rekonsiliasi yang dapat melebur keterbelahan dunia publik Indonesia menyebabkan kelompok berorientasi negara khilafah sementara kehilangan tempat berpijak yang kuat. Mereka harus bertarung sendiri, tak bisa lagi mendompleng kekuatan besar di kubu Prabowo.

Dengan begitu, nilai pascakebenaran kehilangan ruang sosialnya. Dan, bagi media pers, akan memudahkan dalam meliput fakta politik sebab tak perlu khawatir berita negatif, terutama menyangkut rezim Jokowi, dianggap bertujuan menguntungkan kubu lawan sehingga dibenci kubu pendukung.

Posisi media

Terlepas dari ada atau tidak rekonsiliasi antardua kubu yang terbelah, masalah bagi media pers tentu berupaya menyampaikan konten yang dapat diterima semua kubu. Jadi, bukan hanya memenuhi ekspektasi subyektivitas emosional.

Bagi televisi yang bertumpu pada program untuk mendapatkan audience share yang tinggi di antara stasiun-stasiun bersaing, tentu tak jadi soal secara berganti memuaskan masing-masing kubu. Sebab, pengalihan kanal di ujung jari pada remote control sangat ditentukan emosi dalam menghadapi satu progam. Dan, audience share ini dilihat dari jumlah penonton di berbagai area yang didorong preferensi emosional atas satu program, tak mencerminkan kecenderungan rasionalitas dengan latar sosiologis. Program acara politik yang mengeksploitasi waham pascakebenaran sangat berpotensi untuk audience share.

Untuk konten, media daring mirip dengan TV sebab keberadaannya juga ditentukan di ujung jari, yaitu oleh jumlah klik per konten. Berbeda halnya dengan media cetak, bertumpu pada edisi yang memuat berbagai konten. Satu konten yang mengulik aspek permusuhan emosi pascakebenaran yang dimuat pada satu edisi ”merugikan” konten-konten lain di edisi yang sama, berikutnya membentuk citra untuk beberapa waktu atas brand media.

Memanfaatkan media digital bagi media cetak bukan jalan keluar jika mengabaikan permasalahan mendasar yang dihadapi media cetak. Migrasi ini membuatnya terpuruk. Disrupsi digital berbarengan dengan waham pascakebenaran telah memperburuk kondisi media cetak.

Dari sini, perlu perumusan ulang orientasi media, khususnya cetak, dalam menghadirkan diri di tengah publik yang berubah di era pasca-kebenaran. Untuk itu pilihan atas konten dipertajam dengan orientasi pada kepentingan pragmatis dan psikis atas dunia faktual dan obyektif guna mengatasi kecenderungan emosional dan subyektif. Untuk itu, kepentingan publik bersifat otentik akan mengatasi kecenderungan nilai pascakebenaran.

Maka, perlu dipertajam kriteria kelayakan dalam mencari fakta di ruang publik. Bahwa ruang publik pada dasarnya diisi kegiatan warga dalam berinteraksi dalam konteks institusi negara, pasar, dan masyarakat sipil. Artinya, fokus bukan kepada  pelaku institusi negara, pasar, dan masyarakat sipil, melainkan lebih kepada warga selaku ”konsumen” dari institusi-institusi itu.

Dengan memperbanyak konten yang menggali kepentingan otentik dari fakta warga, publik pun akan kembali pada kebenaran faktualitas sehingga menyatukan warga yang tersungkup dalam waham pascakebenaran. Ini jalan metodologis, melalui jurnalisme dapat mengembalikan fitrah hubungan sosiologis media pers dan khalayaknya. Bahwa media pers fungsional sebagai sumber kebenaran faktualitas, bukan untuk pemuasan subyektivitas emosional.


(ASHADI SIREGAR, Pengamat Media)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar