”Jangan matikan keadilan! Matikan saja mantanku,” begitu tulisan pada salah satu poster yang diusung dalam unjuk rasa mahasiswa menolak sejumlah rancangan undang-undang kontroversial, termasuk UU KPK yang telah disahkan DPR, beberapa waktu lalu. Protes disampaikan dalam bahasa anak muda yang ringan dan menghibur, tetapi tetap mengandung substansi kritik yang mengena. Itulah demonstrasi ala kaum milenial.
Publik cenderung menganggap remeh kaum milenial sebagai kelompok usia yang belum cukup matang, masih bergantung pada bantuan orangtua dan apolitis, atau mengesankan jauh dari ingar bingar dunia politik. Unjuk rasa mahasiswa di beberapa daerah belakangan ini membalikkan persepsi awam tentang kaum milenial.
Kaum milenial ternyata mampu menunjukkan sikap politik serta daya kritisnya saat kebijakan pemerintah dan wakil rakyat berseberangan jauh dengan harapan publik. Mengapa kaum milenial turun ke jalan?
Awalnya, istilah ”milenial” disematkan oleh ahli demografi William Strauss dan Neil Howe. Dalam buku Millennials Rising (2000), keduanya menulis empat siklus generasi dalam 80 tahun sejarah demografi Amerika Serikat. Keempatnya, yakni generasi baby boomers (lahir setelah Perang Dunia II 1945-1964), generasi X (1965-1980), generasi Y yang kemudian disebut milenial (1981-1996), serta generasi Z (1996-2005).
Berbeda dengan generasi sebelumnya, kaum milenial secara umum merupakan hasil parenting oleh orangtua dari kalangan generasi X, yang cukup mapan secara ekonomi dan paling banyak memberikan pengawasan kepada anak-anaknya. Hasil parenting orangtua mereka membentuk kaum milenial menjadi golongan berkepribadian kolaboratif, optimistis, dan percaya pada otoritas lembaga serta aturan.
Jauh berbeda dengan orangtua mereka sendiri (generasi X), yang pada masa kecilnya sering terabaikan akibat ditinggal bekerja oleh orangtuanya (baby boomers), demi pemenuhan materi. Pendek kata, generasi milenial merupakan penyempurnaan tatanan, kebiasaan, dan gaya hidup secara positif dari orang tua mereka yang menyimpan genetika sosial pemarah dan pendendam.
Pendidikan yang jauh memadai menempa kaum milenial menjadi manusia-manusia tanpa beban masa lalu dan mampu berfokus diri pada pencapaian, kelakuan yang baik dan kerendahan hati. Akan tetapi, kaum milenial secara bersamaan juga berada dalam tegangan antara dunia idealisnya dan tatanan ekonomi yang mengancam.
Ancaman terhadap kaum milenial datang dari pergeseran mode dan struktur ekonomi akibat resesi. Resesi atau pelambatan ekonomi memicu stagnasi dalam karier dan taraf hidup kaum milenial dan menempatkan mereka pada standar hidup di bawah taraf hidup orangtua mereka. Gejala ini mengemuka di banyak kota besar di Indonesia. Banyak kaum milenial yang telah bekerja kesulitan membeli rumah karena jurang antara pendapatan dan mahalnya harga properti atau fasilitas pendukung lain.
Dalam konteks sosial ekonomi inilah, kaum milenial merasa wajib untuk mengoreksi ketimpangan tatanan. Di sektor ekonomi dan bisnis, kaum milenial sejak lima tahun terakhir telah hadir mendominasi kancah dunia usaha rintisan (start-up) sebagai bentuk kemandirian dari struktur sosial ekonomi yang kurang menjanjikan kesetaraan untuk mereka. Secara nyata, kaum milenial telah mendeklarasikan diri untuk tidak menjadi karyawan seperti kebanyakan orangtua mereka dan memilih mendirikan perusahaan sendiri.
Terobosan juga muncul di ranah sosiopolitik. Di Indonesia, misalnya, kaum milenial bangkit menyuarakan keadilan dengan menolak sejumlah rancangan undang-undang yang berpotensi memberangus kebebasan dan memasung keadilan, baik politik maupun hukum. Mereka kebanyakan merupakan mahasiswa yang mungkin untuk pertama kalinya terjun ke jalanan.
Ketika pengesahan revisi UU KPK yang dianggap digerogoti kaum elite oligarkis, kaum milenial kemudian berunjuk rasa dalam skala masif di seluruh penjuru Tanah Air. Bagi mereka, keadilan politik dan hukum akan sulit mereka dapatkan pada masa mendatang jika tatanan yang sudah dibangun oleh pendahulu mereka sejak era reformasi digergaji oleh kepentingan elite.
Karena karakter milenialnya, rupa cara unjuk rasanya pun khas milenial, tetapi tetap terjaga substansi dalam kritikannya. Sikap politik kaum milenial yang tegas dengan turun ke jalan mencerminkan koreksi mereka atas tatanan yang melukai rasa keadilan akibat kegagalan prinsip check and balances yang seharusnya dijalankan oleh lembaga demokrasi.
Kaum milenial mengisi kekosongan peran oposisi tepat ketika para tokoh politik dan partai, yang seharusnya bersikap sebagai oposisi, justru mandul dalam pembahasan RKUHP dan pengesahan UU KPK hasil revisi. Sebagai gerakan mahasiswa, kaum milenial telah menunjukkan kehadirannya sebagai kekuatan moral utama penjaga tatanan antikorupsi selain kelompok masyarakat sipil lainnya.
Dengan kebangkitan milenial berkualitas semacam ini, kita tak perlu ragu dengan masa depan negara ini. Pada kaum milenial ini pula terletak harapan setinggi-tingginya sebagai tulang punggung Indonesia.
(Julius SumantJurnalis Kompas TV)