Saat Presiden Joko Widodo bicara SDM unggul, penelitian saya justru mengatakan, remaja sebagai SDM Indonesia rentan untuk bunuh diri. Bahkan, bunuh diri ini dapat menular.
Proses penularannya tentu berbeda dengan transmisi penyakit infeksi. Bunuh diri sebagai sebuah keputusan yang sangat personal tetap dapat dipengaruhi oleh dorongan-dorongan sosial, termasuk imitasi. Proses penularan ditunjukkan oleh adanya gelombang imitasi. Karya sastra romantis, misalnya, sering menampilkan banyak contoh bunuh diri untuk alasan romantis.
Contoh sangat terkenal adalah karya novel dari Goethe tahun 1974. Werther, yang merupakan tokoh pahlawan dalam novel ini, membunuh dirinya sendiri setelah mendapat penolakan dari seorang perempuan yang ia cintai. Kematian fiktif Werther ditiru banyak pemuda dalam kehidupan nyata sehingga akhirnya muncul istilah ”werther effect” untuk menggambarkan bunuh diri karena imitasi romantis.
Imitasi bunuh diri menimbulkan kekhawatiran. Studi National Institute of Mental Health (NIMH) di AS tahun 2017 menunjukkan, serial televisi Thirteen Reasons Why yang tayang di Netflix menyebabkan peningkatan 28,9 persen tingkat bunuh diri di kalangan remaja AS usia 10-17 tahun. Hasil ini menunjukkan, remaja sangat rentan terhadap media.
Ilustrasi ini tak berarti bunuh diri hanya jadi masalah di negara maju seperti AS. Menurut WHO Global Health Estimates 2017, kematian global tertinggi akibat bunuh diri di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah adalah pada umur 20 tahun. Jika puncaknya terjadi pada usia 20 tahun, maka upaya pencegahan bunuh diri harus dilakukan pada usia remaja sebagai kelompok rentan.
Komitmen penanggulangan
Menyikapi beratnya masalah bunuh diri, maka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober 2019 mengambil tema ”Promosi Kesehatan Jiwa dan Pencegahan Bunuh Diri”. Dalam Rencana Aksi Kesehatan Mental WHO 2013-2020, negara-negara anggota WHO telah berkomitmen untuk bekerja menuju target global guna mengurangi tingkat bunuh diri di negara-negara sebesar 10 persen pada 2020.
Pada indikator target 3.4 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ditegaskan, pada 2030 terdapat pengurangan sepertiga kematian prematur akibat penyakit tak menular melalui pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan. Indikator 3.4.2 adalah suicide mortality rate berdasarkan jenis kelamin (kematian per 100.000 populasi). Bagaimana dengan persiapan Indonesia dalam pencapaian target penurunan angka bunuh diri, terutama sikap terhadap kelompok rentan remaja?
Komponen-komponen Human Capital Index (HCI) berkaitan erat dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain isu regulasi dan institusi, penghambat pertumbuhan ekonomi jangka menengah panjang adalah aspek SDM dengan kualitas pendidikan rendah dan berbagai problem kesehatan, di antaranya prevalensi penyakit tak menular tinggi.
Menurut World Economic Forum 2016, kontribusi setiap penyakit tak menular terhadap overall loss of GDP outputIndonesia 2012-2030 adalah 1) penyakit kardiovaskuler (39,6 persen), 2) gangguan jiwa (21,9 persen), 3) penyakit pernapasan (18,4 persen), 4) kanker (15,7 persen), dan 5) diabetes (4,5 persen).
Urgensi menyikapi kegawatdaruratan masalah kejiwaan di Indonesia tak tecermin dalam peta jalan SDGs Indonesia. Penurunan suicide mortality rate sebagai target 3.4.2, tak diprioritaskan. Sampai saat ini, Indonesia belum punya sistem registri kasus bunuh diri nasional, bahkan skema Jaminan Kesehatan Nasional menolak klaim akibat bunuh diri.
Data nasional yang dipakai adalah angka kematian akibat bunuh diri yang dikeluarkan WHO, yaitu 3,4/100.000 populasi yang dianggap terlalu sedikit karena tak dilaporkan (underreported). Untuk melengkapi kekurangan data dan urgensi, saya melakukan beberapa penelitian pendukung untuk memahami fenomena bunuh diri kelompok usia rentan.
Deteksi dini faktor risiko
Penelitian bersama Kementerian Kesehatan yang dilakukan pada 2015 dengan responden 941 pelajar SMA dan SMK berusia 13-18 tahun di DKI Jakarta mendapatkan hasil berupa problem emosional 20,51 persen, gejala-gejala depresi 30,39 persen, dan ide bunuh diri 18,6 persen. Sekolah-sekolah dipilih secara purposif  sering bermasalah, seperti terlibat tawuran.
Dengan berlandaskan data ini, tahun 2018 saya mengembangkan sebuah penelitian pengembangan instrumen deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri pada remaja di SLTA/sederajat berakreditasi A di DKI. Dari 910 sampel, ditemukan bahwa remaja yang memiliki faktor risiko ide bunuh diri tinggi adalah 125 (13,8 persen) dan tak berisiko 779 (86,2 persen). Jumlah remaja yang punya ide bunuh diri serius satu bulan terakhir adalah 5 persen.
Dihasilkan sebuah instrumen yang dinamai instrumen ketahanan jiwa remaja yang punya kemampuan sebagai prediktor ide bunuh diri remaja. Instrumen terdiri dari dimensi belongingnesslonelinesshopelessness, dan burdensomeness, sebagai faktor-faktor risiko kuat terjadinya ide bunuh diri di remaja.
Pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39 kali lebih besar untuk punya ide bunuh diri dibandingkan dengan pelajar yang tak terdeteksi berisiko bunuh diri, setelah dikontrol oleh variabel umur, sekolah, jender, pendidikan dan pekerjaan ayah, pendidikan dan pekerjaan ibu, status cerai orangtua, etnis, keberadaan ayah, keberadaan ibu, kepercayaan agama, depresi, dan stresor.
Depresi dan stresor psikososial tak signifikan sebagai prediktor ide bunuh diri remaja dalam analisis multivariat. Namun, didapatkan serangkaian stresor psikososial dari frekuensi tertinggi sampai terendah, di antaranya keaktifan menggunakan medsos, prestasi lebih rendah dari harapan, teman sebaya mengatakan hal yang buruk, teman sebaya mengejek, sering bermain game online, putus cinta dengan pacar, orangtua bertengkar, masalah keuangan keluarga, berkelahi fisik dengan teman sebaya, idola meninggal bunuh diri, perokok, mengalami pelecehan seksual, teman meninggal bunuh diri, konsumsi alkohol, anggota keluarga meninggal bunuh diri, dan penggunaan narkoba.
Berkaca pada temuan-temuan ini, maka visi kesehatan Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk menghasilkan SDM unggul dan Generasi Emas 2045 dapat menemui jalan buntu jika pembangunan kesehatan jiwa tak diarusutamakan. Kalaupun indikator kesehatan jiwa mau dipaksa masuk peta jalan SDGs Indonesia, dapat dilekatkan pada target empat pendidikan berkualitas yang menengarai tingginya angka putus sekolah pada tingkat SMP dan SMA. Drop out adalah salah satu output problem kesehatan jiwa remaja yang tak terdeteksi.
Program kesehatan jiwa remaja
Sedikit titik terang bahwa program kesehatan jiwa remaja telah ada pada level sekolah dan FKTP. Di sekolah telah diterapkan kebijakan Sekolah Ramah Anak oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta seharusnya dengan koordinasi lintas sektor dapat diperluas secara nasional.
Program di sekolah di antaranya usaha kesehatan sekolah dengan toolsberupa Rapor Kesehatanku dan pelatihan keterampilan hidup. Rapor Kesehatanku berisi laporan data kesehatan fisik dan mental pelajar secara berkala yang jika dibuat dashboard secara nasional akan menjadi sumber informasi big data yang sejalan dengan perkembangan dunia telah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Instrumen ketahanan jiwa remaja untuk deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri remaja juga dapat dimanfaatkan secara upscaling berupa inovasi teknologi yang akan menyentuh lebih banyak wilayah Indonesia, terutama urban yang lebih rentan terhadap bunuh diri.
Pada level FKTP terdapat kebijakan Standar Pelayanan Minimal. Program khusus remaja di FKTP adalah Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dengan konselor sebaya. Hal ini sesuai arah kebijakan RPJMN (2020- 2024), meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar.
Peningkatan upaya promotif dan preventif harus didukung inovasi dan pemanfaatan teknologi. Mempersiapkan Indonesia dari disrupsi teknologi kesehatan, UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa telah mengatur pada Pasal 65 Ayat (3) bahwa menteri menunjuk Pusat Penelitian, Pengembangan, dan Pemanfaatan Teknologi Kesehatan Jiwa. Namun, sampai kini pusat belum didirikan setelah lima tahun UU berlaku. Pengabaian implementasi ini seolah menantang gravitasi disrupsi.
Sudah cukup jelas, ketahanan jiwa remaja sangat membutuhkan kesehatan fisik dan mental sehingga remaja akan mampu memaksimalkan talenta yang dimiliki. Pemerintah berjanji membangun Lembaga Manajemen Talenta Indonesia dengan mengidentifikasi, memfasilitasi, serta memberikan dukungan pendidikan dan pengembangan diri bagi talenta-talenta Indonesia sehingga dapat bersaing secara global. Namun, Indonesia menghadapi tantangan disparitas akses pengembangan diri dalam genangan kekayaan budaya Indonesia.
Model pengembangan talenta tak bisa hanya didirikan di kota besar dan harus mampu menyelesaikan problem karakter bangsa yang dikatakan menyebabkan lemahnya ketahanan budaya akibat globalisasi dan belum optimalnya pemajuan kebudayaan Indonesia. Sejauh ini karakter bangsa tergerus pada remaja dan disrupsi teknologi telah jadi stresor psikososial.
Ramuan-ramuan di atas sangat penting untuk ketahanan jiwa remaja Indonesia, tetapi pola asuh keluarga tetap jadi landasan dari upaya promotif kesehatan jiwa anak. Pola asuh (parenting) merupakan proses yang mencakup memelihara/mengasuh, melindungi, dan mengarahkan pada sebuah kehidupan yang baru seiring proses tumbuh kembang anak; dan menyediakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar, cinta, perhatian, dan nilai-nilai.
Bahkan, pola asuh ataupun pola komunikasi keluarga telah diatur dalam UU No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa jauh sebelum Presiden Jokowi bicara tentang SDM unggul. Sayangnya, pengabaian tindak lanjut berupa formulasi peraturan turunan dilakukan oleh kementerian-kementerian terkait lima tahun ini.
(Nova Riyanti Yusuf, Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Associations, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta)