Dalam kekaburan pengertian tentang buzzer, kita dihadapkan pada kesimpulan yang begitu lugas: buzzertelah menghancurkan demokrasi. Buzzer telah merusak demokrasi!
Kesimpulan ini sering muncul belakangan seiring kontroversi penggunaan hoaks sebagai sarana propaganda dan penggiringan opini masyarakat terkait dengan isu politik tertentu. Enak didengar, tetapi tidak jelas pengertiannya! Demikianlah nasib si buzzer. Begitu sering istilah ini mewarnai percakapan publik dan begitu akrab di telinga banyak orang.
Namun, sesungguhnya belum ada pemahaman yang baku tentang buzzerini. Ada yang menjelaskannya dengan merujuk pada pegiat media sosial dengan pengikut yang banyak dan secara aktif menyebarkan opini dengan maksud memengaruhi orang lain.
Buzzer atau pendengung di sini tak selalu buruk karena ada pegiat medsos yang ujaran-ujarannya bersifat positif atau netral. Buzzer juga didikotomikan dengan influencer untuk membedakan pelaku medsos yang anonim, cenderung apriori dan semena-mena dengan pegiat medsos yang beridentitas jelas sehingga ujarannya dapat dipersoalkan secara terbuka.
Ada juga pembedaan antara buzzer organik sebagai bagian dari operasi digital terorganisasi dengan buzzer non-organik yang beroperasi independen dan swadaya.
Multipolaritas ruang publik
Katakanlah kita persempit pengertian buzzer dengan merujuk pada sekelompok orang yang secara terorganisasi menyebarkan kebohongan dan fitnah tentang pihak tertentu dengan motif politis, apa benar keberadaan mereka telah merusak demokrasi? Sebagai peringatan agar masyarakat senantiasa waspada, kesimpulan tentang daya rusak buzzerterhadap demokrasi di atas tentu sangat relevan. Namun, kesimpulan itu juga dapat menjerumuskan kita dalam kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu hal (buzzer) dan sebaliknya menyepelekan hal yang lain (demokrasi).
Buzzer merusak demokrasi jika yang terjadi adalah keadaan ceterisparibus. Bahwa buzzer adalah satu-satunya determinan dalam arena pertarungan politik; Bahwa medsos adalah satu-satunya lokus komunikasi publik; Bahwa di dunia ini hanya ada satu jenis buzzer, yakni yang berperilaku manipulatif dan merusak; Bahwa publik sepenuhnya terpapar oleh hoaks tanpa kemampuan untuk bersikap kritis. Kenyataan menunjukkan yang sedang terjadi tidaklah sedemikian ekstrem.
Ruang publik politis kita adalah sebuah struktur yang multipolar dan berlapis-lapis. Pada setiap lapis dan di antara lapis-lapis ruang publik itu terjadi dinamika dan dialektika. Dinamika dan dialektika itu secara akumulatif memberikan sumbangan terhadap rupa dan kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Dalam kerangka ini, dapat digambarkan bahwa keberadaan buzzer yang anarkistis sesungguhnya diimbangi oleh keberadaan influencer yang relatif beradab dan bertanggung jawab. Meski belakangan lebih banyak dibicarakan penggunaan medsos untuk maksud-maksud jahat, tak sedikit pula penggunaan medsos untuk berbagai bentuk kebaikan.
Penyebaran hoaks sebagai sarana propaganda juga coba dinetralisasi dengan upaya cek fakta (hoaks fact check) yang marak belakangan. Lebih dari itu, media massa masih berperan memasok informasi dan wacana kepada masyarakat. Beberapa riset menunjukkan, meski sedang ngos-ngosan menghadapi tekanan disrupsi, media massa jurnalistik masih lebih dipercaya masyarakat dibandingkan dengan medsos.
Dalam ruang publik yang kompleks dan majemuk itu, sejatinya semua agen, aspek, dan perkembangan bersama-sama berkontribusi pada kemajuan, kemandekan, atau kemunduran kualitas demokrasi. Sejauh buzzer yang ngawur tak dibiarkan mendominasi panggung politik; sejauh influencer dapat menjaga sikap bertanggung jawab dan kepekaan sosialnya; sejauh media massa mampu menjadi sumber informasi yang lebih baik; dan sejauh literasi digital terus digalakkan, keberadaan buzzertidak akan merusak demokrasi.
Memberi gangguan terhadap iklim demokrasi, iya. Akan tetapi, tidak sampai menghancurkannya. Mengkhawatirkan dampak operasi buzzerdiperlukan, tetapi kekhawatiran yang berlebihan justru seperti meremehkan upaya masyarakat sipil dalam mereservasi ruang publik digital yang sebenarnya sudah menunjukkan hasil positif belakangan.
Keseimbangan baru konsumsi media
Pengalaman Pemilu 2019 memberikan gambaran yang selaras. Hoaks politik mewarnai pemilu kita. Namun, efek optimalisasi hoaks politik itu lebih kurang baru sebatas memperteguh keyakinan politis pemilih loyal pada setiap kubu yang bertarung. Hoaks tersebut membuat pendukung Joko Widodo semakin Jokowi-minded serta pendukung Prabowo Subianto semakin Prabowo-minded. Tidak ada perpindahan orientasi politik yang signifikan di antara kedua kubu.
Kedua kubu berasyik masyuk merayakan hoaks tentang lawan politik dan mereka berinteraksi intensif sebatas pada lingkaran politik masing-masing.
Inilah yang disebut sebagai efek gelembung isolatif (echo chamber effect). Sementara di antara kelompok pendukung loyalis itu terdapat kelompok pemilih yang rasional dan kritis dalam jumlah yang signifikan, sekitar 40 persen dari total pemilih nasional. Mereka adalah gabungan antara pemilih mengambang (undecided voters) dan pemilih yang dapat berubah pilihan politiknya (soft supporter). Beberapa riset mengidentifikasi pemilih ”poros tengah” ini generasi muda, masyarakat urban, dan kaum terdidik.
Mereka terbuka terhadap semua jenis saluran informasi. Sebagian dari mereka aktif mencari informasi dan membandingkannya. Yang terjadi pada pemilih ”poros tengah” ini dapat disebut sebagai keseimbangan baru (new equilibrium) pola konsumsi media.
Mereka mengakses media sesuatu dengan kebutuhan. Jika ingin mengetahui gosip, isu, atau hoaks tentang politik, mereka akan mengakses medsos. Jika membutuhkan informasi atau wacana politik yang lebih layak, mereka akan mengakses media massa jurnalistik. Meskipun sangat mungkin yang terjadi adalah sebaliknya: informasi yang beredar di medsos justru lebih bermutu dibandingkan dengan yang disajikan media massa.
Dalam konteks keseimbangan baru konsumsi media ini, hoaks tetap eksis dan buzzer anarkistis tetap beroperasi. Namun, pengaruh mereka relatif ternetralisasi oleh keberagaman pola konsumsi media dan pilihan informasi masyarakat. Hampir mustahil memberangus hoaks hingga tuntas. Buzzer juga tidak dapat seluruhnya diberadabkan.
Namun, publik memiliki banyak pilihan saluran komunikasi dan semakin cerdas dalam mencerna informasi. Pada akhirnya pengaruh hoaks dan buzzer sangat mungkin dilokalisasi, katakanlah dalam gelembung isolasi politik seperti telah dijelaskan.
Sungguh pun demikian bukan berarti hoaks layak dibiarkan dan operasi buzzer yang anarkistis dapat dibenarkan. Pertama, ada pihak-pihak yang secara langsung dirugikan. Ada orang- orang yang dilecehkan harkat martabat dan hak asasinya. Keadilan mesti diberikan kepada mereka yang menjadi korban hoaks. Kedua, jika disepakati, medsos adalah suatu ruang publik baru, tentu saja ruang publik ini menuntut perilaku beradab semua yang terlibat di dalamnya.
Dalam ruang publik yang beradab, tidak ada tempat untuk sikap sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Dalam ruang publik yang demokratis, kebebasan setiap orang untuk berbicara dan berekspresi dibatasi oleh hak orang lain untuk diperlakukan secara layak serta untuk merasakan ruang bersama tanpa terganggu sumpah serapah dan ketidakpatutan lainnya. Semua orang yang beroperasi di ruang publik dituntut bersikap transparan, tak menyembunyikan diri dan mampu mengendalikan diri.
Pengungkapan propaganda digital
Pihak-pihak yang telah, sedang, atau akan memanfaatkan buzzer sebagai sarana propaganda hitam perlu belajar dari kasus infiltrasi Rusia dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat dan referendum Brexit di Inggris pada  2016.
Penyelidikan resmi menunjukkan, bagaimana ratusan buzzer, ribuan akun medsos yang diorganisasi agen-agen propaganda Rusia berupaya menggiring opini publik dalam Pilpres AS dan referendum Brexit.
Setahun berselang, skandal memalukan ini terungkap ke permukaan. Teknologi informasi memungkinkan Rusia melakukan operasi senyap untuk memengaruhi politik negara lain. Teknologi yang sama pada gilirannya mengungkapkan operasi senyap itu secara terbuka dan sangat detail.
Hal ini merupakan peringatan untuk siapa pun yang ingin memanfaatkan buzzer untuk operasi politik yang manipulatif atau jahat. Ada masanya operasi politik itu akan terungkap dan pengungkapan ini dapat menghasilkan efek delegitimasi yang memukul reputasi politik. Banyak pihak berpikir jagat digital adalah lorong gelap di mana kedurjanaan dapat disembunyikan secara paripurna. Hingga pada akhirnya mereka sadar ada banyak faktor dalam lorong gelap itu yang tidak benar-benar mereka ketahui dan kendalikan. Lalu tiba-tiba kedurjanaan yang disembunyikan itu terungkap ke permukaan.
Ternyata tidak ada yang sungguh-sungguh the invisible hand dalam jagat digital. Tanpa terkecuali perusahaan platform medsos seperti Facebook sekalipun, belakangan juga kedodoran dalam menyembunyikan rahasia-rahasianya dari proses penyelidikan pihak berwenang dan investigasi unsur-unsur publik.
(Agus Sudibyo, Head of  New Media Research Center ATVI Jakarta)