Saya bercakap-cakap di media sosial dengan seorang pria berstatus ayah dan suami. Percakapan itu dimulai dengan pertanyaan laki-laki itu mengapa saya memutuskan perjalanan asmara yang dulu pernah saya lakoni. Saya membalasnya dengan secepat kilat. ”Saya enggak suka pacaran dan saya enggak percaya dengan cinta. Buat saya, lajang itu surga.”
Cinta
Kemudian, pembicaraan itu terus berlanjut. ”Saya menghormati teman, saudara-saudara saya, tetapi saya tak mau lagi mencintai mereka.” Kemudian, ia membalas ucapan saya itu. ”Mencintai, kan, enggak harus pacaran. Bisa dengan teman atau binatang peliharaan. Dan, berteman, kan, juga pakai rasa.”
Saya menjawab pernyataannya itu. ”Aku kapok hidup dengan rasa. Satu-satunya hal yang pakai rasa kalau pas makan aja.” Dalam hati saya berkata, apalagi kalau menyantap makanan Indonesia yang beraneka rasa itu.
Mengapa saya tak percaya dengan cinta dan berhenti memercayai? Sejujurnya, kata cinta itu saja tak bisa saya mengerti. Bagaimana saya bisa percaya pada sesuatu yang tak saya mengerti? Bagaimana saya bisa menjalani sesuatu berdasarkan ketidakpercayaan?
Pernah beberapa kali diusahakan untuk mengerti seperti belajar akuntansi, tetapi toh hasilnya nihil. Sekarang saya baru ngeh, mengapa dulu kepala sekolah memberi julukan saya seperti ayam tak punya otak.
Sebelum mengenal cinta, saya tak pernah cemburu. Setelah mengenal cinta, saya merasakan tidak enaknya melakoni hidup dengan kecemburuan. Melelahkan. Pakai banget lelahnya. Saya bukan orang yang posesif, tetapi yang awalnya saya tenteram karena tidak cemburu, menjadi sangat tidak tenteram karena perasaan itu.
Cinta itu mampu mempunyai efek yang membuat saya khawatir. Khawatir kalau pacar saya selingkuh, khawatir kalau tak ada kabar beritanya. Apalagi kalau sudah mengirim pesan dan pesannya tak dibalas. Atau dibalas, tetapi setelah matahari berganti menjadi bulan, setelah siang berganti malam.
Sementara itu, sebelum saya mengenal dan memberikan cinta saya kepada seseorang, saya tak pernah khawatir. Tabungan yang hanya tinggal tiga ratus ribu rupiah saja, tak mampu membuat saya khawatir. Dokter ketok palu dengan mengatakan ginjal saya yang berair itu berbahaya pun, saya tak khawatir.
Hidup saya sebelum mencintai dan dicintai itu sungguh lebih tenteram, lebih sejahtera, dan lebih membahagiakan.
Kekasih bukan teman dekat
Kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa saya harus cemburu dan khawatir atas nama cinta? Apakah ada manfaatnya cemburu dan khawatir? Saya mungkin sangat bodoh tak mau cemburu dan khawatir karena mencintai, tetapi saya lebih memilih menjadi sangat bodoh dalam hal ini. Lagian aneh sekali, cinta yang katanya sebuah hal yang baik, kok, mampu menghasilkan kecemburuan dan kekhawatiran. Bukankah itu tidak baik?
Cinta itu juga membuat saya lelah harus berbagi. Saya ini sangat egois. Yang saya pikirkan hanya diri saya sendiri. Saya jarang sekali turut serta dalam kegiatan sosial. Saya berdoa saja di rumah atau di rumah ibadah. Saya terlalu malas mengorbankan waktu dan tenaga untuk orang lain. Buat saya, senangnya berdoa itu karena mampu menembus ruang dan waktu hanya dengan berada di rumah.
Bayangkan saja orang egois seperti saya disuruh berbagi karena cinta. Anda tahu, kan, apa yang akan terjadi? Saya pernah dikuliahi bahwa kalau saya jatuh cinta, maka saya bisa melakukan hal itu untuk orang yang saya cintai. Kenyataannya, setelah saya coba, saya tetap seperti sediakala.
Cinta saya bukan untuk dipakai sebagai alat untuk menjadikan saya tidak egois. Apalagi katanya saya harus menjadi apa adanya dengan pasangan. Dan, kalau saya harus menjadi apa adanya dalam mencintai, mengapa saya harus tidak menjadi diri saya? Nah, mungkin ini satu alasan lagi mengapa saya berhenti mencintai. Sebab, ia mampu membutakan dan saya tak ingin buta.
Saya adalah manusia yang rendah sekali toleransinya. Saya selalu melihat orang itu banyak kekurangannya, yang membuat saya enggan melanjutkan hubungan. Padahal, saya sangat sadar bahwa saya memiliki sejuta kekurangan, bahkan mungkin lebih dari sejuta.
Namun, saya mau menjadi jujur dengan diri sendiri. Berat buat saya untuk bertoleransi. Saya tak pernah bercita-cita membangun sebuah hubungan asmara karena tidak jujur. Selain itu, saya ini orangnya tak suka akan perubahan. Sementara mencintai adalah menciptakan hubungan dengan manusia yang berubah.
Bagaimana saya bisa berharap pada cinta kalau ia tak mampu membuat manusia untuk tidak akan berubah? Di awal perjalanan asmara seperti sepasang kekasih, kemudian semakin lama menjadi seperti teman dekat. Saya tak berteman dekat dengan yang saya cintai.
Saya tak mau dijadikan teman dekat, saya mau dijadikan kekasih selamanya. Anda tahu, kan, bedanya kekasih dan teman dekat? Nah, saya tak pernah bercita-cita mempunyai hubungan yang berakhir dengan menjadi teman dekat.
Saya memang aneh, tetapi harus saya akui setelah saya berhenti mencintai, saya belum pernah merasa sebahagia sekarang, setenteram sekarang. Setelah berhenti mencintai, sekarang saya bisa lebih legawa. Melepaskan keterikatan, membuat saya sejahtera. ***