UU
Pesantren, Rekognisi atau Kooptasi?
Oleh : Fathor Rahman Jm
KOMPAS, 9 Oktober 2019
Rancangan
Undang-Undang Pesantren akhirnya disahkan DPR menjadi Undang-Undang Pesantren
pada 24 September 2019.
Sebelumnya,
sejumlah ormas, yaitu Muhammadiyah, Aisyiyah, Al-Wasliyah, Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti), Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI),
Nahdlatul Wathan (NW), Mathla’ul Anwar, Badan Kerja Sama Pondok Pesantren
Indonesia (BKsPPI) dan Pondok Pesantren Darunnajah, meminta DPR untuk menunda
pengesahan RUU Pesantren itu (Detik.com, 24/9/2019).
Pengesahan
RUU Pesantren itu dapat dianggap sebagai upaya memupuk dan melindungi ”pohon”
itu agar tambah subur dan kuat. Namun, di tengah sambutan bahagia banyak pihak
atas disahkannya RUU itu, masih saja terdengar suara sumbang dan riuh rendah
sebagian masyarakat terkait dengan UU Pesantren tersebut.
Mereka
mengkhawatirkan independensi dan kebersahajaan pesantren yang tampak pada
pesantren selama ini dirampas oleh negara. Mereka merisaukan nantinya pesantren
menjadi clien dan
subordinat vis a vis negara.
Ketakutan itu tentu beralasan. Karena itu, kerisauan tersebut perlu menjadi
bahan renungan dan kewaspadaan masyarakat santri untuk terus mengawal regulasi
pesantren agar tetap menjaga marwah dan eksistensi sejati pesantren.
Rekognisi
Terlepas
dari itu, kita perlu mengapresiasi pihak-pihak yang berupaya mewujudkan UU
Pesantren ini. Penulis membaca, ada itikad baik dari negara untuk melakukan rekognisi
terhadap eksistensi pesantren. Rekognisi sendiri merupakan upaya mengenal
kembali, mengakui, dan memberikan apresiasi.
Dengan rekognisi ini, posisi
pesantren kemudian setara dengan lembaga pendidikan formal lain yang ijazahnya
diakui secara resmi di tengah-tengah masyarakat dan dunia kerja. Tentu ini akan
memberikan efek sosial dan ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat santri.
Mengapa
pesantren laik direkognisi? Secara historis, pesantren adalah lembaga
pendidikan asli dan tertua dalam relung kultur masyarakat Indonesia. Dalam
perjalanannya, pesantren banyak berperan mencerdaskan kehidupan bangsa, jadi
agen perubahan sosial dan politik, serta mengabdi untuk mewujudkan kemaslahatan
bagi masyarakat.
Kedua,
tradisi intelektual dan etika pesantren dapat menjadi salah satu variabel yang
dapat memberikan ketahanan bagi warga negara Indonesia untuk terus cinta NKRI.
Orang-orang pesantren mampu mengintegrasikan keislaman dan keindonesiaan, serta
memadukan nasionalisme dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ketiga,
dalam tradisi intelektual pesantren juga diakui terdapat sistem ”imun” yang
bisa memberikan bekal bagi masyarakat Indonesia dalam menangkal segala macam
disinformasi yang sangat merusak pada era disrupsi saat ini. Dalam tradisi
transmisi keilmuan di pesantren dikenal sistem sanad, yaitu ketersambungan
sumber transmisi informasi melalui sumber-sumber yang tepercaya hingga Nabi
Muhammad SAW. Ada tradisi klarifikasi (tabayyun),
verifikasi (takharruj), dan
triangulasi (tawathur).
Keempat,
pesantren juga memiliki etos jiwa santri, yaitu keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian, kebebasan, dan persaudaraan. Konsep persaudaraan yang dicetuskan
oleh tokoh pesantren pun sangat menopang penguatan perdamaian dan kohesivitas
sosial masyarakat Indonesia; persaudaraan sesama Islam, persaudaraan sesama
warga negara, dan persaudaraan sesama manusia tentu menjadi landasan etik dan
paradigmatik dalam kerangka membangun kebersamaan dalam keberagaman.
Selain
itu, masyarakat santri juga memiliki prinsip keseimbangan dalam merespons
perkembangan zaman demi kemajuan dan keteguhan memelihara tradisi untuk
mempertahankan jati diri. Prinsip al-muhafadatu
ala qadimi al-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah (memelihara
hal yang lama yang baik dan mengadopsi sesuatu yang baru yang lebih baik)
merupakan rumusan sikap kemodernan yang sangat bijak: santri didorong terus
maju dan berkembang menjulang tinggi dengan akar yang menancap kuat dalam
relung tradisi.
Menolak kooptasi
Selain
itu, UU Pesantren dapat dilihat sebagai upaya bersama melindungi pesantren yang
selama ini telah berkontribusi bagi bangsa. Pengaturan pesantren saat ini
penting lantaran saat ini sudah kian banyak kelompok yang ingin menggerogoti
eksistensi NKRI mendirikan pesantren. Pihak yang disebut terakhir ini mendirikan
pesantren untuk menyemai ideologi radikal, antinegara, dan terorisme.
Pengaturan pendirian pesantren diharapkan dapat menertibkan dan mengantisipasi
munculnya banyak pesantren yang menggerogoti persatuan, kesatuan, dan kedamaian
di bumi Nusantara ini. Pesantren seperti ini tentu sangat mencoreng nama baik
pesantren sejati pada umumnya.
Pekerjaan
rumah bersama setelah ini ke depan adalah mengawal regulasi di bawah UU
Pesantren ini. Jangan sampai PP, perpres, permen, dan peraturan lainnya
kemudian mengebiri independensi pesantren. Aturan-aturan itu juga tak boleh
mengooptasi dan membelenggu pesantren dengan kewajiban-kewajiban formalitas dan
administratif yang tak perlu dan menguras energi. Sudah saatnya pesantren kian
kuat dan berdikari untuk membangun negeri!
Fathor Rahman Jm, Dosen Fakultas Syariah dan Direktur Ma’had Al-Jami’ah IAIN
Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar