Ada sebuah akun media sosial yang mengunggah coretan-coretan berupa tulisan di dinding. Unggahan itu berupa kalimat dan pesan yang kocak, menyinggung perasaan, dan ada yang bermakna dalam. Satu yang menarik buat saya adalah seperti ini. ”Hidup jangan pelit amat, duit nggak dibawa mati, goblok!!!”
Selesai membaca itu saya tertawa. Saya sebagai pembaca unggahan itu sama sekali tak tersinggung walau “dikatakan” goblok. Saya malah akan tersinggung sekali kalau saya dikatakan pandai, apalagi oleh mereka yang tahu saya ini jelas-jelas gobloknya setengah mati.
Saya tak tahu apakah mereka yang tergolong pandai dan sangat pandai, bahkan mereka yang lulus dengan predikat summa cum laude, akan tersinggung ketika membaca coretan itu dan dikatai goblok.
Saya merasa masuk dalam kategori manusia berpredikat goblok itu karena menyadari saya tak pandai matematika, berhitung, atau juga akuntansi. Pokoknya yang berhubungan dengan angka-angka yang rumit yang bikin sakit kepala, saya menyerah kalah.
Kalimat dalam coretan itu juga memaparkan kata pelit. Sebuah kata sifat yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang tak suka memberi sedekah. Saya punya teman dan klien yang termasuk dalam kelompok manusia yang punya sifat pelit.
Akibatnya, mereka saya beri predikat ”si pelit”. Dengan predikat itu, saya tak akan pernah meminta sumbangan atau apa pun juga. Saya bahkan tak mau berurusan dengan orang pelit. Melelahkan.
Salah satu teman yang cukup dekat pernah saya tanya mengapa ia begitu pelit. Awal pertama ia membantah dengan halus dengan kalimat, ”Masak, sih?” Akan tetapi, setelah saya memberi beberapa contoh perilaku pelitnya itu, baru ia kemudian mengakui bahwa takut jatuh miskin. Jadi, ia menabung dan mengirit karena dengan membagi, ia merasa hanya membuang uang.
Di kalangan sopir taksi di apartemen tempat tingal, saya dijuluki ”Mas 50.000”. Mengenai predikat tersebut, saya diberi tahu oleh salah seorang sopir taksi yang selalu mangkal di apartemen. Sebutan itu karena saya selalu memberi minimal 50.000 rupiah untuk argo yang bernilai maksimal 30.000 rupiah.
Saya itu bukan kaya, bahkan jauh dari itu. Bukan juga mau memamerkan dalam tulisan ini bahwa saya orang baik. Saya itu hanya berpikir, siapa tahu uang lebihan itu dapat membantu mereka untuk mengisi perut atau keperluan lain pada hari itu, apalagi kalau target tampaknya tak akan tercapai setelah seharian bekerja.
Ilmunya padi, berasnya impor
Saya melakukan itu karena saya pernah berkekurangan, bukan karena saya kelebihan. Mungkin seseorang itu pelit karena mereka tak pernah kekurangan dan mereka menjadi takut kalau kekurangan menimpa mereka. Mungkin, agar ketakutan itu tak menjadi kenyataan, salah satu caranya adalah menjadi pelit.
Ada ungkapan yang pernah saya dengar, kalau kita makin banyak memberi, maka akan makin banyak menerima. Saya tak tahu apa yang dipikirkan orang pelit membaca ungkapan itu. Sebab, ketika saya menceritakan kegiatan memberi lebih kepada sopir taksi, teman saya yang kikir mulai berhitung.
”Seandainya kamu memberi kelebihan Rp 20.000 setiap hari, itu dikalikan 5 dalam seminggu, dikalikan 4 dalam sebulan, dan dikalikan 12 dalam setahun, maka kamu sudah rugi sekian juta. Itu kalau hanya menghitung penggunaan taksi dari apartemenmu ke kantor. Nah, kamu itu, kan, ke mana-mana naik taksi?”
Mungkin karena saya bodoh berhitung, jadi saya tak pernah merasa rugi. Mungkin untuk pertama kalinya saya ini merasa perlu bersyukur kalau saya bodoh berhitung. Mungkin juga, saya harus bersyukur kalau saya ini pernah berkekurangan.
Dengan demikian, saya bisa mengerti apa arti kelebihan dan apa itu kekurangan yang sesungguhnya. Jadi, ucapan syukur itu bukan sekadar karena memperoleh kesembuhan dari sakit, atau dapat rezeki nomplok, atau mendapat kenaikan jabatan. Ucapan syukur itu bisa juga muncul karena goblok angka-angka dan pernah berkekurangan.
Nah, berbicara soal kelebihan, saya punya teman yang nyaris dalam setiap percakapan kami selalu mengatakan kalau teman-temannya atau
klien-kliennya itu tajir alias kaya banget. Biasanya, ia melanjutkan dengan cerita yang lebih detail.
Si tajir punya tanah sekian hektar. Baju-bajunya semua bermerek. Mobil mewahnya ada sekian banyak. Setiap kali ia selesai menjelaskan soal predikat manusia tajir itu, saya jadi berpikir mengapa seseorang sampai perlu membeberkan kekayaannya?
Bukankah katanya, kalau padi itu makin berisi, ia akan makin merunduk? Kemudian saya teringat akan salah satu kalimat dalam coretan di dinding di akun media sosial yang saya sebut di atas. Begini. ”Ilmunya padi, berasnya impor.”
Nah, di hari Minggu ini, saya mau bertanya kepada Anda. Predikat macam apa yang diberikan orang lain kepada Anda? Mengapa mereka sampai memberikan predikat itu kepada Anda? Seberapa pentingkah predikat itu buat Anda? Apakah Anda merasa terganggu atau justru senang dengan predikat itu? ***