Jelang peringatan ke-91 Hari Sumpah Pemuda, saya jadi teringat pada satu perjamuan makan yang ”menggelisahkan” jelang Sumpah Pemuda ke-90 tahun lalu.
Kenapa menggelisahkan? Karena saya makan malam dengan sepasang suami-istri ahli kecerdasan buatan asal Indonesia dan ahli linguistik dari luar negeri yang sedang meneliti bahasa-bahasa Dayak. Karena bahasa anak kandung sejarah budaya, kalimat merupakan anak kandung logika dan kata merupakan anak kandung emosi pengucapnya. Saya tiba-tiba mengendus aroma sepanjang makan malam. Aroma sensasional yang lebih dari sekadar sensasi putra-putri cerdas, anak kandung pasangan Homo sapiens (manusia bijak) dan Homo datum (manusia data) ini.
Pertanyaan-pertanyaan pun membuncah. Bagaimana perilaku 1.340 suku yang berdiam di lokasi antara 6 derajat Lintang Utara, 11 derajat Lintang Selatan, 95 derajat Bujur Timur dan 141 derajat Bujur Timur Nusantara, di 416 kabupaten dan 98 kota akan bisa dipetakan dan dibaca oleh kecerdasan buatan? Pengertian apa yang akan lahir dalam benak 63,36 juta anak muda tentang bangsa dan tentang dirinya dalam zaman yang budaya, logika, dan emosinya terpetakan oleh mesin cerdas berdasarkan data kata dalam 652 bahasa daerah kita?
Teks Sumpah Pemuda menegaskan, suku-suku kita terbentuk dan bangsa kita terbentuk karena kita mengakui bertanah air satu dan berbahasa satu. Kalau kita periksa, logika konteksnya akan terbaca begini: klaim batas-batas tanah air merupakan titik awalnya, sementara kebangsaan merupakan kesimpulan akhirnya. Bagaimana tanah air dan bangsa ditetapkan sebagai batas awal dan disimpulkan di akhir? Jawabannya pada bahasa. Ia penyambung tanah air dan bangsa. Bahasa mendefinisikan keduanya. Masalahnya untuk mendefinisikan bahasa dengan akurat kita butuh kecerdasan buatan yang saat itu belum ada..
Teknologi informasi (dalam era Revolusi 4.0 berupa kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin) kembali menentukan cara pandang kita. Akan berujung jadi apa? Ini pertanyaan besar tulisan saya. Linimasa perkembangan konsep negara-bangsa sejak perjanjian Westphalia empat abad lalu sudah melahirkan 193 negara. Ada tiga gelombang pertumbuhan berdasarkan perkembangan teknologi informasi. Google N-gram, yang merekam popularitas kata (sebagai anak kandung emosi) dalam jutaan buku yang pernah terbit sejak abad ke-16, membenarkan keterkaitan tiga gelombang tersebut dengan perubahan medium informasi (surat kabar, radio, televisi, dan internet) yang populer di setiap masa.
Pada awal abad ke-21, Google N-Gram kembali merekam lonjakan popularitas kata ”internet” melampaui medium informasi lain. Internet membentuk jejaring global, di mana tiap-tiap orang dan hal saling terhubung. Virtualisasi informasi membuat interaksi menerabas begitu saja batasan fisik dan geografis. Pada gilirannya, ia membuka ruang bagi munculnya ikatan-ikatan emosi kolektif di luar identitas kolektif sebagai sebuah bangsa. Contohnya, bagi sebagian bangsa Indonesia atau Inggris yang pro-NIIS, propaganda berbahasa Arab bahkan jauh lebih mengaduk-aduk emosi. Emosi diaduk-aduk untuk meletakkan perjuangan NIIS dalam sejarah jatuh bangun khilafah dari masa ke masa, ketimbang sejarah pertempuran 10 November di Surabaya atau pertempuran Agincourt dalam karya Shakespeare. Mereka bergerak lewat internet.
Tantangan
Tatanan politik dalam lingkup negara ditekan dari atas dan bawah sekaligus. Di era digital, medan tempur politik telah bergeser dari penguasaan bentang alam ke penguasaan data dan informasi—yang di era sebelumnya dimonopoli negara. Dua dekade terakhir kita menyaksikan kemunculan entitas-entitas bisnis baru yang kekuasaaannya melampaui negara. Nilai valuasi lima perusahaan teknologi raksasa, Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Microsoft lebih dari 4,1 miliar dollar AS, melampaui PDB Jerman, ekonomi ketiga terbesar dunia.
Hari ini, lebih dari 2 miliar orang merupakan pengguna aktif bulanan Facebook dan terus bertumbuh cepat 17 persen per tahun. Berbeda dengan seniornya, seperti Exxon, Monsanto, dan General Electric, para raksasa teknologi itu tak hanya memiliki kapital, tetapi juga akses dan menguasai teknologi untuk memproses keseluruhan data pribadi dan perilaku pengguna layanan mereka, dan tentu saja dengan motif keuntungan. Data adalah ladang minyak baru.
Korporasi teknologi kecerdasan buatan menjadi kakak sulung (big brother) baru yang ”mengawasi” setiap warga negara dengan baik meski tak dipilih—dengan demikian tak dapat dikontrol—oleh rakyat. Hal ini membuat koordinasi sosial—yang merupakan peran utama dari negara—menjadi lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Sementara itu, globalisasi ekstrem dari kapital, barang, jasa, dan informasi memunculkan efek balik yang menggerus legitimasi negara dari bawah. Di satu sisi, berbagai persoalan akibat kecerobohan pengelolaan yang kita terima dari abad ke-20, seperti ketimpangan yang melebar dan krisis ekonomi, telah melunturkan tingkat kepercayaan kepada lembaga publik yang ada. Medsos nyata-nyata membelah masyarakat dari kepala hingga kaki, memunculkan gelombang populisme kanan di sejumlah negara.
Menurut riset psikometri Departemen Psikiatri Universitas Cambridge pada 2016, sebanyak 40 persen lebih warga yang merasa mayoritas di 36 negara yang akan melakukan pemilu dari 2017 sampai 2020 (misal Muslim di Indonesia, Katolik di Brasil, atau Protestan kulit putih di AS), punya sifat-sifat takut dan benci pada segala yang baru dan berbeda (suku dan agamanya), mudah marah, susah bekerja sama, serta kebutuhan berprestasinya rendah.
Apa pun latar belakang pendidikannya, sekeren apa pun tongkrongannya. Beberapa waktu lalu kita pun jadi saksi kerasnya kontestasi pemilu yang hampir saja mencampakkan bangsa Indonesia ke TPA (tempat pembuangan akhir) sejarah. Akankah semua berujung kepunahan modal sosial? Tentu tidak. Setiap zaman punya obatnya. Tinggal kecerdasan kita untuk tidak meminum obat-obat kedaluwarsa.
Kontrak sosial cerdas
Ikatan warga negara kepada negara dipaparkan dalam rasa percaya bahwa negara mampu menjamin kehidupan dan kebutuhan warganya. Karena dampak transformatif teknologi digital ini ke segala urusan, maka ini waktu terbaik menggagas kembali kontrak sosial antara negara dan warganya.
Tujuan kontrak sosial rakyat Indonesia senantiasa tetap: ”masyarakat yang merdeka, bersatu, adil dan makmur”. Namun, prinsip-prinsip pencapaiannya harus adaptif terhadap perubahan zaman. Tak adaptif, kita punah. Sesederhana itu dulu Darwin mengingatkan kita. Hanya saja sekarang prinsipnya bukan cuma survival of the fittest, melainkan survival of the fastest (kelestarian bagi yang tercepat).
Saya terusik oleh dua isu utama dalam kontrak sosial digital bangsa Indonesia. Pertama, soal data pribadi, mulai dari pengambilan, manajemen, penggunaan, dan perlindungan data. Dalam masyarakat digital, setiap warga negara berhak memiliki kontrol penuh atas identitas digitalnya, bagaimana data itu digunakan, sejauh mana dibagikan dan diuangkan (monetisasi).
Kedua, negara dan komunitas-komunitas di Indonesia masih menghadapi persoalan data yang berserakan dan ditafsirkan berdasarkan kepentingan egois sektoralnya. Komunitas kota dan desa menanggung keterasingan dari data diri dan komunitasnya. Secara vertikal tak berdaulat, secara horizontal tak saling percaya. Data yang terkumpul sungguh-sungguh data ”bloon” karena tak ada protokol untuk berkomunikasi dengan cerdas satu sama lain.
Perlu gerakan sosial digital besar-besaran membangun kontrak sosial baru berbasis data pintar sehingga data antarkomunitas bisa saling bicara. Dengan begitu program pengalian serta distribusi ilmu pengetahuan dan kesejahteaaan, sebagai bekal mutlak menghadapi Revolusi 4.0, bisa sungguh-sungguh berjalan.
Protokol data pintar (blockchain) memungkinkan kita memilih tingkat privasi yang kita maui untuk setiap interaksi dan transaksi digital, menentukan data pribadi dan komunitas apa serta kepada siapa data itu dibagi seturut kesepakatan para pihak, beserta biaya monetisasi datanya. Terutama di perdesaan, data harus diamankan. Data kekayaan alam, perilaku ekonomi, bahasa-bahasa, dan sebagainya tak perlu terbang jauh-jauh ke Silicon Valley, tetapi bertiwikrama saja jadi cerdas di silicon village-nya masing-masing.
Terinspirasi jamuan malam ”menggelisahkan” tadi, berbekalkan Protokol Data Pintar yang dikelola komunitas-komunitas desa, kota, dan negara, harus ada semacam Sumpah Pemuda baru. Sumpah Pemuda yang kata sekjen Inovator 4.0 Indonesia bukan bergantung pada kecerdasan buatan perusahaan teknologi raksasa sebagai big brother (kakak sulung yang mengawasi), tapi berdasarkan data pintar sebagai brotherhood(persaudaraan setara) Indonesia.
Kita harus memulainya dari teks Sumpah Pemuda 4.0 yang bakal ditulis begini: ”Kami 63,36 juta putra dan putri pasangan Manusia Bijak (Homo sapiens) dan Manusia Data (Homo datum) Indonesia yang berdiam di 416 kabupaten dan 98 kota, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia yang terletak di antara 6 derajat Lintang Utara, 11 derajat Lintang Selatan, 95 derajat Bujur Timur dan 141 derajat Bujur Timur Nusantara; kami 63,36 juta putra dan putri pasangan Manusia Bijak dan Manusia Data Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia yang terdiri dari 1.340 suku bangsa yang berasal-usul budaya di 74.958 desa, hutan, nagari, gampong dan semacamnya; kami 63,36 juta putra dan putri pasangan Manusia Bijak dan Manusia Data Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, yang akan terus kami perkaya dengan sejarah budaya, logika, dan emosi dari kosakata 652 bahasa daerah di Nusantara.”
Di mulut 63,36 juta Homo datum yang bersumpah ini, Indonesia nanti bukan sekadar sebuah republik, melainkan juga jadi Superkomputer Indonesia cerdas berbasis protokol data pintar (blockchain). Selamat Hari Sumpah Pemuda, Homo datum-Homo datum muda.…
(Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia)