Polemik mengenai penyelesaian masalah gagal bayar klaim dua perusahaan asuransi, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Asuransi Jiwasraya, belum berakhir.
Bahkan catatan Bank Dunia tentang dampak risiko perekonomian global bagi ekonomi Indonesia beberapa minggu lalu ikut memicu pertukaran pandangan yang kian seru tentang masalah kedua perusahaan asuransi jiwa ini. Sayangnya, silang pendapat ini tidak mengerucut pada upaya penyelesaian masalah dengan jelas.
Para pihak memaparkan beberapa hal pokok antara lain: betapa besar kerugian yang diderita pemegang polis (mencapai triliun rupiah), kesalahan manajemen dalam melakukan investasi, payung hukum mutual company perlu segera didefinisikan dengan jelas, regulator kurang berupaya menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi industri, upaya mencari sumber pembiayaan alternatif (seperti penerbitan Medium Term Notes/MTN), upaya restrukturisasi (seperti penjadwalan pembayaran klaim), pergantian manajemen, dan lain-lain.
Dengan berbagai wacana di atas, kita mendapatkan kesan seolah-olah masalahnya sudah jelas, sehingga yang diperlukan hanyalah kemauan dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk melaksanakan komitmen agar permasalahan dapat lebih cepat selesai. Padahal, yang tersaji sekadar sederetan ‘gagasan bagus’ yang dikomunikasikan secara terserak, sehingga pada gilirannya gagal menemukan titik fokus penyelesaian yang efektif. Masing-masing pihak memang memberikan pandangan dan opini, tapi tanpa keberanian yang sungguh untuk membicarakan masalah yang terjadi dengan terbuka/transparan, tanpa prasangka/tanpa saling menyalahkan, dan kesiapan rela berkorban apabila memang dibutuhkan.
Refleksi: repertoire klasik
Percakapan untuk menyelesaikan masalah gagal bayar klaim ini memang merupakan sebuah percakapan yang sulit (difficult conversation) karena tiga alasan berikut: (1) nilai gagal bayar klaim yang sangat besar; (2) para pihak cenderung berusaha melempar tanggung jawab/kewajiban masing-masing; dan (3) belum ada analisis yang jernih dan tajam guna menemukan opsi penyelesaian yang konstruktif, kreatif dan efektif. Jadi polemik yang terjadi hanyalah upaya para pihak untuk menjadi ‘pahlawan’ bagi para ‘korban’, tanpa sungguh-sungguh bersedia membantu korban dengan ikhlas.
Sebetulnya, peristiwa gagal bayar klaim sudah pernah terjadi beberapa kali dalam tujuh tahun terakhir dan bahkan berakhir dengan pencabutan izin usaha empat perusahaan asuransi jiwa dan dua perusahaan asuransi kerugian (di luar kedua perusahaan yang sekarang sedang kita soroti). Menyebut dua nama perusahaan itu tak akan menolong kita menemukan opsi penyelesaian yang lebih baik. Karena itu, sebaiknya kita merenungkan sejenak apa saja pilihan tindakan yang telah dilakukan para pihak (pemegang polis, pemegang saham, regulator, perusahaan asuransi lain, sumber daya manusia, dan lain-lain) untuk menyelesaikan masalah gagal bayar klaim beserta dampaknya bagi mereka masing-masing.
Kita dengan mudah dapat mengobservasi dan mencatat secara sederhana sederetan repertoire klasik dari para pihak ketika menghadapi kasus gagal bayar klaim perusahaan asuransi. Beberapa di antaranya (dan deretan repertoire ini bukan urutan proses), pertama, pemegang polis ‘mengejar’ tagihan ke perusahaan asuransi, dan perusahaan asuransi mencoba mencari alasan untuk mengelak, bahkan lama-lama mengabaikan tagihan.
Kedua, regulator melakukan pemeriksaan dalam rangka tugas pengawasan, dan sering diikuti dengan sanksi peringatan, dan pembekuan kegiatan usaha, bahkan pencabutan izin usaha.
Ketiga, perusahaan asuransi mencoba melakukan pergantian pengurus, efisiensi operasional, likuidasi aset, negosiasi dengan pemegang polis untuk penjadwalan pembayaran dan/atau haircut klaim, fund raising (dengan menerbitkan surat berharga, atau mencari investor, atau meminta setoran pemegang saham).
Keempat, pemegang polis sebagai korban mencari cara untuk menuntut hak tagihan klaimnya secara lebih agresif (mengadu ke regulator, mengutus pengacara, demonstrasi di jalan, dan lain-lain). Perusahaan asuransi kemudian biasanya menjawab langkah agresif pemegang polis dengan mengutus pengacara untuk berunding atau mengadakan acara tatap muka atau konferensi pers. Kelima, pemegang polis dan perusahaan asuransi melakukan mediasi, sebelum melanjutkan proses hukum ke pengadilan.
Keenam, perusahaan asuransi menyerah ketika izin usaha akhirnya dicabut oleh regulator. Pemegang polis terus berjuang untuk mendapatkan haknya semaksimal mungkin dari pihak kurator. Ketujuh, pengamat berpolemik di media massa dan media sosial, dengan harapan dapat membela kepentingan pemegang polis sebagai korban.
Dari sederetan repertoire klasik ini, biasanya upaya penyelesaian masalah gagal bayar klaim akan berakhir dengan situasi: perusahaan asuransi melunasi tunggakan klaim (baik sebagian mau pun seluruhnya) secara bertahap atau perusahaan asuransi dan pemegang polis sama-sama ‘menyerah’ (yang pertama kehilangan izin usaha, dan yang kedua kehilangan hak atas klaimnya).
Yang selalu terabaikan
Dalam kasus gagal bayar klaim Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Jiwasraya ada beberapa faktor yang secara tidak sadar terabaikan ketika membuat opsi penyelesaian masalah. Pertama, beberapa opsi penyelesaian tidak jelas tujuannya. Sebagai ilustrasi adalah opsi memperbaiki kualitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator. Kita sepakat bahwa peristiwa serupa tidak boleh terulang lagi, dan karena itu OJK perlu belajar dari pengalaman ini serta memperbaiki diri. Namun demikian, sangat jelas langkah ini tidak akan menyelesaikan masalah gagal bayar klaim yang sudah dan sedang terjadi.
Kedua, beberapa opsi penyelesaian tidak realistis. Sebagai ilustrasi adalah opsi mencari investor yang memiliki modal kuat dan kredensial moral yang baik, tapi tanpa kemampuan (atau kemauan) menyediakan informasi statistik pertanggungan yang reliable dan/atau sumber daya organisasi perusahaan secara memadai.
Ketiga, beberapa opsi penyelesaian hanya meminta pihak lain yang bertanggung-jawab. Sebagai ilustrasi adalah opsi meminta pemerintah melakukan tindakan bail-out (penyelamatan), apalagi untuk perusahaan non-BUMN, karena hanya akan memberikan ‘insentif’ kepada para pelaku industri untuk melakukan ‘kecerobohan’ serupa di masa depan dengan hanya berdalih bahwa kondisi ini akan berdampak sistemik kalau tidak ditolong. Pertolongan semacam ini secara tidak langsung hanya akan membebani masyarakat luas melalui mekanisme pajak, termasuk bagi para pemegang polis sendiri.
Keempat, beberapa opsi penyelesaian tidak memuat dokumentasi langkah-langkah secara rinci dan teliti, sehingga menimbulkan potensi masalah salah paham antar para pihak di masa depan. Inilah opsi penyelesaian “ibarat api dalam sekam”.
Kelima, beberapa opsi penyelesaian yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Sebagai ilustrasi adalah opsi menyetor modal tambahan sesuai harapan pengurus, tapi tanpa penjelasan memadai yang dapat dipahami dengan baik oleh semua stakeholders. Biasanya yang terjadi adalah para pihak hanya saling berasumsi (dengan persepsi masing-masing) dan berprasangka (biasanya mulai dengan prasangka baik, tapi tidak tertutup kemungkinan jadi berakhir dengan saling berprasangka buruk penuh emosi).
Mencari solusi
Ada tiga hal yang patut kita cermati untuk memulai upaya mencari solusi bagi kasus gagal bayar klaim perusahaan asuransi. Pertama, membangun kesadaran bahwa ada beberapa difficult conversation yang memang harus dilakukan dan tidak bisa dihindarkan. Percakapan dengan topik ‘berat’ yang berisiko saling melukai perasaan karena situasi negatif, cenderung dihindari atau dibuat dalam bahasa terselubung.
Namun soal, gagal bayar klaim adalah satu contoh difficult conversation yang tidak dapat dan tidak boleh dihindari. Menghindari percakapan terbuka tentang masalah publik sepahit ini memang berpotensi saling menyakiti, tetapi lebih elok kalau kita bisa bersikap dewasa dan menghadapinya dengan sikap perwira.
Kedua, menyamakan/menyelaraskan persepsi tentang hakekat dan kedalaman masalah, serta persepsi tentang peran para pihak dalam bergotong-royong (bukan saling menyalahkan) dalam rangka menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Untuk itu perlu waktu untuk duduk bersama di antara para pihak yang berkepentingan dengan pikiran jernih dan tujuan sangat jelas untuk mencari penyelesaian masalah yang realistis dan dapat dieksekusi.
Ketiga, mengawal emosi dengan saling bersangka baik penuh kedewasaan, di tengah keadaan yang sangat tidak baik. Segala bentuk kecurigaan atau prasangka buruk sepatutnya tetap dapat disampaikan dalam ‘bungkus komunikasi’ (lisan mau pun tulisan) yang tajam dan jelas, tapi santun dan penuh respect di antara para pihak. Sebab dengan emosi negatif yang tidak terkendali, upaya menemukan solusi adalah sebuah keniscayaan belaka. Kita semua berharap agar percakapan yang sulit ini dapat segera kita mulai dengan ketenangan batin dan kejernihan pikiran. Sehingga pada gilirannya, solusi yang kita cari dapat segera temukan.
(Alberto D Hanani ; Dosen Magister Manajemen Universitas Indonesia)