Integralis
Oleh : RIANT NUGROHO
KOMPAS, 29 Oktober 2019 15:35 WIB
Gerindra
masuk kabinet. Projo bubar. Demikian pesan pendek yang bertebaran sehari
setelah pelantikan kabinet. Tidak ada penjelasan resmi yang menjelaskan
kekecewaan itu. Malah muncul meme Projo menjadi Projowo–pro Jokowi Prabowo. Bisik-bisik
bermunculan. Ada versi: Pak Jokowi itu bagaimana, sih? Ada yang versi: “tidak
tahu malu, sudah kalah, minta bagian lagi”. Ada lagi versi: “salah sendiri
dikasih, kan dia cuma minta doang“.
Belajar sejarah
Pada 31 Mei
1945, di Gedung Chuo Sangi In, Pejambon 6, Jakarta, Mr Soepomo memperkenalkan
konsep “negara integralistik”. Bahwa negara menyatukan semuanya. Tidak ada lagi
individu atau golongan. Bangsa Indonesia sesuai dengan itu. Gotong royong,
manunggaling kawula-gusti, rakyat-raja/pemimpin, makrokosmos-mikrokosmos.
Pemikir andal seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ismail Suny, Yusril Ihza
Mahendra, dan Marsilam Simanjuntak berdiri di seberangnya.
Untuk apa
demokrasi jika akhirnya harus kompromi? Untuk apa kemerdekaan warga negara
untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat seperti pasal 28 UUD 1945
jika akhirnya harus tunduk pada kompromi. Pendapat penyanggahnya: demokrasi
pada akhirnya harus kompromi, bukan?
Integralis
adalah pemikiran yang “menyatukan semuanya” dalam “kesatuan, kebersamaan”,
kalau perlu “kesamaan” atau “keseragaman”. Pertanyaan pentingnya adalah, siapa
yang mengintegrasikan? Dalam sistem politik presidensiil seperti Indonesia,
figur tersebut adalah presiden. Artinya sejak Bung Karno hingga Pak Jokowi,
bukan?
Demokrasi
dengan integralis adalah sebuah perspektif yang berbeda. Demokrasi adalah
kompetisi dan fairness. Pemenang memperoleh piala dan menduduki panggung nomor
satu sendirian. Integralis dekat dengan perspektif feodal, pemenang boleh
melakukan apa saja, termasuk menarik semua pemenang kedua dan ketiga naik ke
podium nomor satu, agar tidak ada konflik di masa sekarang, besok, dan masa
depan.
Pada jaman
feodal, raja mengawinkan anak-anaknya dengan pesaing-pesaingnya agar mereka
tunduk dan menjadi “anak”nya. Kalau perlu, setelah itu disingkirkan, setelah
tunduk menjadi anaknya. Seperti kisah Ki Ageng Mangir yang konon dibunuh oleh
Panembahan Senopati saat menghadap sang mertua bersama istrinya, yang putri
Senopati.
Politik
demokrasi dan feodal berjalan seiring di Indonesia masa lalu hingga masa kini,
bahkan masa depan. Apa pun sistem politiknya, integralistik jalan terus. Tidak
mengherankan jika Presiden Soekarno memadukan antara Nasakom untuk memastikan
sistem politik dalam keseimbangan. Juga pada era Presiden Soeharto, integralis
menjadi patron utama yang menyatukan keseimbangan kekuatan politik bangsa yang
begitu berbeda-beda.
Presiden
Abdurrahman Wahid memilih cara yang sama: integralis, dengan Kabinet Pelangi.
Meski pada prakteknya, antar menteri dengan latar belakang masing-masing,
saling bersilang sengketa. Demikian pula Presiden Megawati dengan Kabinet Gotong
Royong. Tampaknya, sistem politik pasca reformasi tetap berlanjut dengan faham
intergalis-nya.
Pun Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menjamin stabilitas politik, maka kabinet
kepartaian dibangun. Meski dengan perbedaan, isinya koalisi pemenang pemilu
presiden. Namun demikian, belakangan Partai Golkar yang tidak masuk dalam
koalisi pemenangan, masuk di kabinet.
Ini terulang
pada periode kedua SBY. Integralis nampaknya menjadi satu-satunya pilihan yang
masuk akal bagi para Presiden Indonesia.
Berlanjut ke
era Presiden Jokowi: integralis tetap jalan terus. Pada periode pertama,
Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, didukung PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura mengalahkan
pasangan Prabowo-Hatta yang didukung Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB.
Pada Kabinet Kerja masuk Golkar dan PAN. Pada kabinet periode kedua Presiden
Jokowi, Kabinet Indonesia Maju, lebih ekstrem: capres Gerindra dan Ketum
Gerindra, pesaing tunggal dalam pilpres masuk kabinet.
Mengapa integralis?
Ada dua
alasan mengapa semua pimpinan Indonesia memilih integralis. Pertama, integralis
adalah pilihan kultural. Suka atau tidak, budaya politik Indonesia tetaplah
budaya paternalistik, salah satu turunan feodal. Raja, pemimpin, adalah
segalanya.
Dengan
demikian, preferensi kultural yang built in di dalam budaya feodal untuk
menggaransi stabilitas politik adalah cara feodal: integralis. Dalam dunia
digital pun, anak-anak masih berbudaya feodal, apalagi yang lebih tua. Uniknya,
feodalisme muncul di negara modern dengan presentasi yang sedikit berbeda.
Kedua,
alasan kepraktisan politik, what works. Integralis adalah cara yang mudah,
murah, cepat, dan efektif untuk menundukkan para pihak yang berkonflik.
Insentif dibagi ke semua, tanpa membedakan. Insentif adalah cara yang paling
mudah dalam politik, jika sulit baru lakukan disinsentif.
Jika NKRI
adalah harga mati untuk keberadaan Indonesia, stabilitas politik adalah harga
mati untuk keberlanjutan pembangunan nasional. Setiap presiden mengetahui masalah
ini. Jika NKRI diperjuangkan habis-habisan oleh bangsa, stabilitas politik
diperjuangkan habis-habusan oleh setiap presiden. Integralis menjadi senjata
pamungkas.
Dan,
integralis menyakitkan politik demokrasi. Pertarungan antar dua atau lebih
kandidat dalam pilpres, bahkan pilkada, berakhir ketika salah satu menjadi
pemenang, dan mengajak lawannya masuk ke kabinetnya. Sementara para pendukung
di bawah sudah terlanjur berdarah-darah, bahkan darah itu “tidak kembali”.
Demokrasi ditelikung para pelakunya sendiri.
Salah? Ini
bukan masalah salah benar. Tidak etis? Apalagi, ini bukan masalah etis atau
tidak. Ini adalah masalah praktis dan pragmatis. Bagaimana agar bangsa ini
terus maju mencapai tujuan pembangunannya? Tujuan menghalalkan cara? Jangan
gundah, karena teleologi lebih penting daripada deontologi.
Pembelajaran
Ada tiga
pelajaran politik untuk bangsa ini. Pertama, menyadari bahwa apa pun sistem
politik yang kita bangun dan miliki, budaya politik kita terus belanjut,
paternalisme, bahkan feodalisme dengan kemasan modern. Era digital memperkuat
budaya tersebut. Demokrasi nampaknya bukan budaya kita. Demokrasi diperlukan
hanya sebagai cara, bukan sebagai nilai.
Tidak heran,
jika dalam iklim kompetisi dunia kita sering tergagap-gagap, karena kita
berkompetisi di dalam lindungan kekuasaan. Saat kekuasaan tidak dapat menjadi
tulang punggung, rontok pula daya saing kita. Simak saja BUMN-BUMN kita yang
kurang siap bertanding, bahkan dengan sesama BUMN dari Singapura, Malaysia, dan
China.
Kedua,
stabilitas politik adalah harga mati. Ia menjadi tujuan dari setiap sistem
politik, karena menentukan kesinambungan dan keberhasilan pembangunan nasional,
dan sebagai imbalannya, kesinambunga serta keberhasilan pembangunan itu adalah
jaminan kesinambungan kekuasaan. Dari pengalaman kultural bangsa, maka
stabilitas politik dalam bangsa dan pemimpin paternalis-feodalis secara efektif
dicapai dengan cara integralis. Meski integralis adalah model integrasi yang
primitif dan mudah pecah (fragile).
Ketiga,
bangsa dan pemimpin Indonesia dalam 10 tahun ke depan tampaknya masih belum
beranjak dari keberadaannya hari ini sebagai bangsa integralis. Sebuah pertaruhan
yang besar, karena sepanjang ada insentif yang cukup, maka kesatuan itu dapat
dicapai.
Di sisi
lain, selama negara lain dapat mengambil manfaat dari model integralis yang
dipakai Indonesia, mereka pun tetap menyarankan hal yang sama, sampai model ini
tidak lagi menguntungkan kepentingan mereka di Indonesia.
(Dr Riant Nugroho adalah Direktur Institute
for Policy Reform)
||Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128