Kamis, 31 Oktober 2019

Integralis

Integralis

Oleh :  RIANT NUGROHO

KOMPAS, 29 Oktober 2019 15:35 WIB


Gerindra masuk kabinet. Projo bubar. Demikian pesan pendek yang bertebaran sehari setelah pelantikan kabinet. Tidak ada penjelasan resmi yang menjelaskan kekecewaan itu. Malah muncul meme Projo menjadi Projowo–pro Jokowi Prabowo. Bisik-bisik bermunculan. Ada versi: Pak Jokowi itu bagaimana, sih? Ada yang versi: “tidak tahu malu, sudah kalah, minta bagian lagi”. Ada lagi versi: “salah sendiri dikasih, kan dia cuma minta doang“.

Ini adalah puncak kecil dari gunung es yang besar, sehingga kita tidak dapat serta merta saling menyalahkan. Gunung es itu bernama “integralis”. Sebuah konsep lama, yang dapat dilacak sejak era kemerdekaan, bahkan hingga Panembahan Senopati, bahkan sampai era Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan, seumur bangsa ini, dan mungkin akan seumur-umur.

Belajar sejarah

Pada 31 Mei 1945, di Gedung Chuo Sangi In, Pejambon 6, Jakarta, Mr Soepomo memperkenalkan konsep “negara integralistik”. Bahwa negara menyatukan semuanya. Tidak ada lagi individu atau golongan. Bangsa Indonesia sesuai dengan itu. Gotong royong, manunggaling kawula-gusti, rakyat-raja/pemimpin, makrokosmos-mikrokosmos. Pemikir andal seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ismail Suny, Yusril Ihza Mahendra, dan Marsilam Simanjuntak berdiri di seberangnya.

Untuk apa demokrasi jika akhirnya harus kompromi? Untuk apa kemerdekaan warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat seperti pasal 28 UUD 1945 jika akhirnya harus tunduk pada kompromi. Pendapat penyanggahnya: demokrasi pada akhirnya harus kompromi, bukan?

Integralis adalah pemikiran yang “menyatukan semuanya” dalam “kesatuan, kebersamaan”, kalau perlu “kesamaan” atau “keseragaman”. Pertanyaan pentingnya adalah, siapa yang mengintegrasikan? Dalam sistem politik presidensiil seperti Indonesia, figur tersebut adalah presiden. Artinya sejak Bung Karno hingga Pak Jokowi, bukan?

Demokrasi dengan integralis adalah sebuah perspektif yang berbeda. Demokrasi adalah kompetisi dan fairness. Pemenang memperoleh piala dan menduduki panggung nomor satu sendirian. Integralis dekat dengan perspektif feodal, pemenang boleh melakukan apa saja, termasuk menarik semua pemenang kedua dan ketiga naik ke podium nomor satu, agar tidak ada konflik di masa sekarang, besok, dan masa depan.

Pada jaman feodal, raja mengawinkan anak-anaknya dengan pesaing-pesaingnya agar mereka tunduk dan menjadi “anak”nya. Kalau perlu, setelah itu disingkirkan, setelah tunduk menjadi anaknya. Seperti kisah Ki Ageng Mangir yang konon dibunuh oleh Panembahan Senopati saat menghadap sang mertua bersama istrinya, yang putri Senopati.

Politik demokrasi dan feodal berjalan seiring di Indonesia masa lalu hingga masa kini, bahkan masa depan. Apa pun sistem politiknya, integralistik jalan terus. Tidak mengherankan jika Presiden Soekarno memadukan antara Nasakom untuk memastikan sistem politik dalam keseimbangan. Juga pada era Presiden Soeharto, integralis menjadi patron utama yang menyatukan keseimbangan kekuatan politik bangsa yang begitu berbeda-beda.

Presiden Abdurrahman Wahid memilih cara yang sama: integralis, dengan Kabinet Pelangi. Meski pada prakteknya, antar menteri dengan latar belakang masing-masing, saling bersilang sengketa. Demikian pula Presiden Megawati dengan Kabinet Gotong Royong. Tampaknya, sistem politik pasca reformasi tetap berlanjut dengan faham intergalis-nya.

Pun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menjamin stabilitas politik, maka kabinet kepartaian dibangun. Meski dengan perbedaan, isinya koalisi pemenang pemilu presiden. Namun demikian, belakangan Partai Golkar yang tidak masuk dalam koalisi pemenangan, masuk di kabinet.

Ini terulang pada periode kedua SBY. Integralis nampaknya menjadi satu-satunya pilihan yang masuk akal bagi para Presiden Indonesia.

Berlanjut ke era Presiden Jokowi: integralis tetap jalan terus. Pada periode pertama, Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, didukung PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta yang didukung Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB. Pada Kabinet Kerja masuk Golkar dan PAN. Pada kabinet periode kedua Presiden Jokowi, Kabinet Indonesia Maju, lebih ekstrem: capres Gerindra dan Ketum Gerindra, pesaing tunggal dalam pilpres masuk kabinet.

Mengapa integralis?

Ada dua alasan mengapa semua pimpinan Indonesia memilih integralis. Pertama, integralis adalah pilihan kultural. Suka atau tidak, budaya politik Indonesia tetaplah budaya paternalistik, salah satu turunan feodal. Raja, pemimpin, adalah segalanya.

Dengan demikian, preferensi kultural yang built in di dalam budaya feodal untuk menggaransi stabilitas politik adalah cara feodal: integralis. Dalam dunia digital pun, anak-anak masih berbudaya feodal, apalagi yang lebih tua. Uniknya, feodalisme muncul di negara modern dengan presentasi yang sedikit berbeda.

Kedua, alasan kepraktisan politik, what works. Integralis adalah cara yang mudah, murah, cepat, dan efektif untuk menundukkan para pihak yang berkonflik. Insentif dibagi ke semua, tanpa membedakan. Insentif adalah cara yang paling mudah dalam politik, jika sulit baru lakukan disinsentif.

Jika NKRI adalah harga mati untuk keberadaan Indonesia, stabilitas politik adalah harga mati untuk keberlanjutan pembangunan nasional. Setiap presiden mengetahui masalah ini. Jika NKRI diperjuangkan habis-habisan oleh bangsa, stabilitas politik diperjuangkan habis-habusan oleh setiap presiden. Integralis menjadi senjata pamungkas.

Dan, integralis menyakitkan politik demokrasi. Pertarungan antar dua atau lebih kandidat dalam pilpres, bahkan pilkada, berakhir ketika salah satu menjadi pemenang, dan mengajak lawannya masuk ke kabinetnya. Sementara para pendukung di bawah sudah terlanjur berdarah-darah, bahkan darah itu “tidak kembali”. Demokrasi ditelikung para pelakunya sendiri.

Salah? Ini bukan masalah salah benar. Tidak etis? Apalagi, ini bukan masalah etis atau tidak. Ini adalah masalah praktis dan pragmatis. Bagaimana agar bangsa ini terus maju mencapai tujuan pembangunannya? Tujuan menghalalkan cara? Jangan gundah, karena teleologi lebih penting daripada deontologi.

Pembelajaran

Ada tiga pelajaran politik untuk bangsa ini. Pertama, menyadari bahwa apa pun sistem politik yang kita bangun dan miliki, budaya politik kita terus belanjut, paternalisme, bahkan feodalisme dengan kemasan modern. Era digital memperkuat budaya tersebut. Demokrasi nampaknya bukan budaya kita. Demokrasi diperlukan hanya sebagai cara, bukan sebagai nilai.

Tidak heran, jika dalam iklim kompetisi dunia kita sering tergagap-gagap, karena kita berkompetisi di dalam lindungan kekuasaan. Saat kekuasaan tidak dapat menjadi tulang punggung, rontok pula daya saing kita. Simak saja BUMN-BUMN kita yang kurang siap bertanding, bahkan dengan sesama BUMN dari Singapura, Malaysia, dan China.

Kedua, stabilitas politik adalah harga mati. Ia menjadi tujuan dari setiap sistem politik, karena menentukan kesinambungan dan keberhasilan pembangunan nasional, dan sebagai imbalannya, kesinambunga serta keberhasilan pembangunan itu adalah jaminan kesinambungan kekuasaan. Dari pengalaman kultural bangsa, maka stabilitas politik dalam bangsa dan pemimpin paternalis-feodalis secara efektif dicapai dengan cara integralis. Meski integralis adalah model integrasi yang primitif dan mudah pecah (fragile).

Ketiga, bangsa dan pemimpin Indonesia dalam 10 tahun ke depan tampaknya masih belum beranjak dari keberadaannya hari ini sebagai bangsa integralis. Sebuah pertaruhan yang besar, karena sepanjang ada insentif yang cukup, maka kesatuan itu dapat dicapai.

Di sisi lain, selama negara lain dapat mengambil manfaat dari model integralis yang dipakai Indonesia, mereka pun tetap menyarankan hal yang sama, sampai model ini tidak lagi menguntungkan kepentingan mereka di Indonesia.


(Dr Riant Nugroho adalah Direktur Institute for Policy Reform)

1 komentar:

  1. ||Satu Akun semua jenis Game ||

    Game Populer:
    =>>Sabung Ayam S1288, SV388
    =>>Sportsbook,
    =>>Casino Online,
    =>>Togel Online,
    =>>Bola Tangkas
    =>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
    || Online Membantu 24 Jam
    || 100% Bebas dari BOT
    || Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA

    Pakai Pulsa Tanpa Potongan
    Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
    Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia

    WhastApp : 0852-2255-5128

    BalasHapus